QOYYIDUL'ILMA BIL-KITABI
Hari
:
Jumat, 20 Juni 2020
Pukul
:
19.00 WIB – 21.00 WIB
Pemateri : Siska Distiana, S.Pd
Materi : Ragam Tulisan Non-Fiksi
Ada nuansa yang berbeda pelatihan menulis malam ini. Kali ini
pemateri memaparkan materinya melalui voice note. Saya sangat menyambut
dengan gembira karena cara seperti ini akan lebih memudahkan peserta dalam
memahami materi. Khususnya bagi saya yang bermasalah dalam hal membaca. Seiring
bertabahnya usia membaca teks pada layar monitor di malam hari memang agak
kurang nyaman.
Paparan diawali dari sabda Rasulullah “Qoyyidul’ilma bil-kitabi”
ikatlah ilmu dengan tulisan. Sebelum paparan tentang ragam tulisan nonfiksi dibahas
lebih jauh, berikut adalah 3 alasan mengapa kita harus menulis.
1.
Knowledge
management / pengelolaan pengetahuan
2.
Copyright
milestone / jejak langkah karya
3.
Paten
/ legalisasi gagasan
Pengertian
Nonfiksi yaitu yang
tidak bersifat fksi tetapi berdasarkan kenyataan (KBBI). Dalam konteks karya
atau tulisan, fiksi berarti karya informatif dimana penulis bertanggung jawab penuh atas
kebenaran dan akurasi informasi yang disajikannya
Ragam Tulisan Nonfiksi
1.
Berita.
Berita adalah cerita atau keterangan mengenai kejadian
peristiwa hangat (KBBI).
Teknis menulis
berita ada 2 yakni: hard news, penyampaiannya to the point, tidak
bertele-tele, lugas, dan singkat. Feature
yakni artikel kreatif yang bersifat informative dan menghibur
2.
Esai
Esai adalah
karangan prosa yang membahas masalah sepintas lalu dari sudut pandang pribadi
penulisnya. Sering juga disebut sebagai opini
Contoh esai
STOP Jadi Orang
Tua Egois!
Siska Distiana
Belajar dari
“Taare Zameen Par” Beberapa waktu lalu, untuk kesekian kalinya, saya nonton
“Taare Zameen Par”. Sudah berkali-kali saya tonton film itu, tapi belum bosan
juga. Bukan karena ada Aamir Khan, aktor India favorit saya, tapi karena kisah
di film itu yang demikian memikat saya.
Taare Zameen
Par bercerita tentang seorang anak disleksia yang tidak mendapat pertolongan
yang tepat. Di sekolah pertama, si anak dianggap anak bodoh hingga guru dan
Kepala Sekolah-nya menyerah. Pindah ke sekolah kedua, jangankan mendapat
perawatan yang baik terhadap disleksia-nya, si anak justru depresi karena
dipindahkan ke sekolah berasrama yang jauh dari keluarganya. Ditambah lagi pola
studi di sekolah kedua yang menuntut setiap anak tampil brilian dan sempurna,
membuat si anak tak lagi mempunyai semangat bahkan untuk melakukan hobinya :
menggambar.
Keadaan
berangsur membaik ketika ada seorang guru baru yang bersedia merepotkan dirinya
sendiri untuk mencari tahu permasalahan si anak dan membantunya sembuh dari
disleksia. Tidak hanya itu, tapi si guru juga mengembalikan kepercayaan diri si
anak dengan mendesain perlombaan gambar yang melibatkan seluruh warga sekolah.
Si guru mengetahui bahwa si anak memiliki bakat melukis, sehingga keluarlah si
anak menjadi juara dan karya lukisnya dijadikan sampul buku tahunan sekolah.
Ah, bahagianya memiliki guru seperti ini. Tapi kali ini saya tidak membahas
mengenai guru dan sekolah, jadi mari kembali pada orangtua si anak.
Diceritakan
dalam film tersebut, orangtua si anak, terutama ayah, juga adalah sosok
orangtua yang perfeksionis. Ia selalu mengharapkan anaknya menjadi juara dan
tidak memberikan toleransi pada kegagalan. Dapat ditebak betapa kecewanya ia
saat menemui kenyataan anak bungsunya tidak bisa membaca dan menulis dengan
benar, sedangkan kakaknya (si sulung) adalah anak dengan prestasi cemerlang. Si
bungsu selalu dianggap anak bodoh, bandel dan nakal oleh ayahnya, sehingga si
ayah mengasuhnya dengan bentakan, teriakan, makian, bahkan tamparan.
Pertama kali
saya nonton film itu, saya masih single kala itu, komentar saya datar saja
“Kasihan ya..”. Tapi kemarin, saya nonton kembali film tersebut saat saya sudah
menikah dan memiliki seorang putri. Saya jadi tercenung, dalam hati bergumam
“Alangkah egoisnya kita orangtua..”
Egoisnya
Orangtua Sebelum membahas lebih lanjut,
meski sudah menjadi istilah umum, tidak ada salahnya kita samakan persepsi dulu
mengenai “egois”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, egois
berarti orang yang selalu mementingkan diri sendiri. Masih menurut KBBI online,
egois juga adalah definisi untuk mereka penganut teori egoisme.
Egoisme sendiri
didefinisikan Wikipedia sebagai motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan
pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan
diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain,
termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Well, ‘gawat’
juga ya ‘paham’ egoisme ini
Kembali ke film
“Taare Zameen Par” yang sudah saya ulas di atas. Ya, saya katakan orangtua si
anak disleksia adalah orangtua yang egois. Kenapa demikian? Ada beberapa
pemikiran yang membuat saya menyimpulkan seperti itu :
Ego mencari
kepuasan dan kenyamanan diri. Saat mengetahui anaknya bermasalah dengan
aktivitas membaca dan menulis sehingga mengakibatkan nilainya selalu jelek, si
orangtua langsung menggunakan standar kepuasan dan kenyamanannya, bahwa anak
yang baik adalah anak yang berprestasi. Dan orangtua akan puas dan nyaman jika
si anak menurut dan berprestasi di sekolahnya. Jika anak tidak memenuhi standar
tersebut apa yang terjadi? Orangtua memberikan label anak bodoh dan bebas
memarahi anak jika tak juga memenuhi standar orangtua, tanpa pernah bertanya
“Nak, sebenarnya apa yang kamu inginkan?”
Ego memecahkan
masalah anak. Setelah memutuskan si anak bodoh (karena tidak juga bisa baca
tulis dengan benar), si orangtua cepat-cepat mencarikan sekolah baru karena
sekolah lama menyerah. Sekolah baru ini terkenal sebagai sekolah favorit yang
menghasilkan banyak orang sukses. Sayangnya, orangtua si anak tersebut tidak
pernah bertanya “Nak, kenapa kamu belum bisa menulis dengan benar? Ada
masalahkah?” atau mencoba mencari tahu dengan berkonsultasi pada ahlinya. Si
orangtua langsung mengambil keputusan bahwa untuk anak seperti ini ‘obatnya’
adalah disekolahkan di tempat seperti ini. Akibatnya apa? Depresi
Ego sumber
masalah ada pada anak. Pada film tersebut, si orangtua membebankan permasalahan
pada diri anak. Orangtua menganggap anaklah sumber permasalahan, tanpa pernah
sedikitpun mengevaluasi dirinya. Si orangtua menganggap dirinya selalu benar
dan tak sedikitpun punya andil kesalahan penyebab masalah yang menimpa si anak
Saat menulis
artikel ini, saya menemukan artikel menarik dari website-nya Sekolah Orangtua
(www.sekolahorangtua.com), judulnya “Ada 3 Tipe Orangtua : Anda tipe yang
mana?”. Pada artikel tersebut diulas mengenai tiga tipe orangtua, yaitu
orangtua pencegah masalah, orangtua pencari solusi, dan orangtua tahu beres.
Nah, si orangtua pada film Taare Zameen Par adalah tipe orangtua ketiga.
Menurut Sekolah
Orangtua, orangtua tahu beres adalah mereka yang menyerahkan kepada orang lain
permasalahan anak mereka untuk diselesaikan, tanpa mereka mau terlibat
menyelesaikannya. Orangtua tipe ketiga sering tidak menyadari bahwa
permasalahan anaknya bersumber dari pendekatan yang salah yang mereka lakukan
sejak anak tersebut menjalani proses tumbuh kembangnya. Orangtua tipe ketiga
sering menganggap bahwa anaklah yang sepenuhnya bertanggung jawab atas
masalahnya. Mereka benar-benar susah untuk menerima kenyataan bahwa merekalah
pemicu utama dari tindakan anakanaknya.
Mengapa bisa
begitu? Karena pada awal mulanya anak-anak hanya merespon sikap dan tindakan
orangtuanya. Ketika orangtua mengulangi sikap dan tindakannya maka si anak juga
mengulang respon yang sama. Dan akhirnya karena sering diulang maka hal ini
menjadi kebiasaan dan karakter si anak. Demikian jelas Sekolah Orangtua.
Oke, Taare
Zameen Par angkat permasalahan anak yang ‘agak’ berat mengenai disleksia yang
membutuhkan penanganan khusus. Lalu, bagaimana dengan praktik dalam keseharian
kita para orangtua awam yang tidak menemui masalah seperti itu? Egois jugakah
kita?
Tulisan ini
juga merupakan hasil perenungan saya dalam praktik pengasuhan yang saya lakukan
pada putri kecil saya. Selebihnya juga adalah hasil observasi terhadap para
orangtua yang saya temui, baik di lingkungan rumah, kantor, maupun di
tempat-tempat umum yang hanya selintas bertemu.
Dan, hasil
perenungan juga observasi yang saya lakukan adalah, sorry to say, kebanyakan
orangtua yang saya jumpai adalah orangtua yang (masih) egois. Tiga parameter
ke-egois-an yang saya buat untuk menganalisa orangtua di film Taare Zameen Par
di atas dapat kita jadikan parameter juga untuk menganalisa diri kita para
orangtua :
1. Ego mencari
kepuasan dan kenyamanan diri Apakah kita masih sering mengatakan hal-hal
berikut : “Adek, diem dooong, Bunda lagi capek nih!” “Kakak, jangan ganggu
ah, Ayah lagi jawab whatsapp penting nih!” atau “Kakak, aduuh jangan mainin hp
ayah doong, mahal itu, nanti rusak!” “Awas, jangan lari-larian, jangan
teriak-teriak, berisik!” atau “Awas, pelan-pelan nanti jatuh, rewel lagi
nanti!” 2. Ego memecahkan masalah anak Coba yang ini, pernahkah kita katakan
atau lakukan pada anak-anak kita : “Udah sini, Mama aja yang nyuapin, tuh kan
berantakan makannya!” “Kamu lama amat sih pake bajunya, sini Ibu aja yang
pakein!” 3. Ego sumber masalah ada pada anak Kalo yang ini, bagaimana :
“Bodoh amat sih kamu, diajarin dari kemarin nggak ngerti-ngerti!!” “Kenapa
ya, anak saya kok ngomongnya suka teriak-teriak? Apa nggak bisa ngomong pelan”
(ini curhatan seorang ibu, di rumahnya ia dan keluarga yang lain suka memanggil
atau memerintah si anak dengan teriakan)
STOP Egois Anak
adalah anugerah terindah dari Sang Maha Kuasa, maka setiap mereka adalah baik.
Jika pada pertumbuhannya atau saat dewasanya si anak berubah menjadi tidak
baik, maka yakinlah bahwa kita para orangtua punya andil besar.
Nah, bagaimana
caranya agar tidak menjadi orangtua yang egois?
Pertama, tanamkan baik-baik dalam benak kita bahwa setiap anak adalah
baik dan terima mereka apa adanya. Selanjutnya, lakukan pola pengasuhan sesuai
tuntunan Rasulullah Muhammad saw, yaitu melalui tiga fase : Fase 0 – 7 tahun
: anak adalah raja. Fase ini mengiringi fase tumbuh kembang otak anak yang
sangat pesat. Maka biarkan mereka mengeksplorasi diri dan lingkungannya, namun
tetap perhatikan keselamatannya. Sedapat mungkin minimalisir larangan karena
hanya akan membuat dia semakin penasaran dan akan mencoba melakukan larangan
itu di belakang kita Fase 7 – 14 tahun : anak adalah prajurit (ada juga yang
mengatakan ‘pembantu’). Fase ini adalah fase pengenalan dan pemberlakukan
peraturan, fase pengenalan baik dan buruk, benar dan salah. Peraturan harus
ditegakkan, tapi tak perlu menggunakan kekerasan Fase 14 – 21 tahun : anak
adalah sahabat (ada juga yang mengatakan ‘menteri’). Layaknya sahabat atau
menteri, maka ia sudah mulai dilibatkan dalam diskusi keluarga. Juga mulai
dapat diajak berbincang dan dimintai pendapat
Last but not
the least, kedepankan selalu komunikasi yang humanis penuh cinta kasih (istilah
saya: KOMUNIKASIH) di setiap tahapan usianya. Dan, perlakukan anak secara
manusiawi, karena ia juga punya hati yang perasa seperti hati kita orang
dewasa, ia juga punya pikiran yang berpikir seperti kita orang dewasa.
Akhirnya,
Selamat Hari Anak Nasional, mari selamatkan anak-anak Indonesia dengan tidak
menjadi orangtua yang egois!
3.
Catatan Perjalanan
Catatan
perjalanan adalah tulisan tentang proses sebuah perjalanan atau ulasan tentang
apa yang ditemui dalam perjalanan tersebut. Misalnya ulasan mengenai temoat
yang dikunjungi, budaya daerah, makanan khas, dan seterusnya.
Contoh tulisan
catatan perjalanan dapat diunduh dari link berikut:
4.
Artikel Informatif
Artikel informative
adalah tulisan yang berisi informasi tentang suatu hal. Tujuannya adalah untuk
menambah pengetahuan pembaca. Isinya murni informatif. Dalam bahasa popular sering
pula disebut dengan “artikel feature”
Contoh artikel
informatif
Kenapa Kita Harus
Jadi Relawan?
Siska Distiana
Sahabat, kenapa
sih kita harus jadi relawan? Kan capek! Iya benar, memang capek menjadi
relawan. Namun, ada yang lebih penting dari sekadar capek. Ada yang lebih besar
dari sekadar mengikuti ego diri. Ada yang lebih krusial dari sekadar memenuhi
nafsu pribadi. Apakah itu? Simak ulasan berikut ini!
Sebelum
mengupas tentang alasan mengapa harus melakukan kerja kerelawanan, ada baiknya
kita menyamakan persepsi terlebih dahulu tentang apa itu relawan. Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan relawan dari kata sukarelawan, yaitu orang
yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau
dipaksakan).
Hal ini senada
dengan definisi relawan secara internasional. Relawan dalam Bahasa Inggris
disebut dengan volunteer. Menurut Cambridge Dictionary, volunteer is a person
who does something, especially helping other people, willingly and without
being forced or paid to do it.
Ya, kekinian
kata relawan memang selalu dikaitkan dengan pekerjaan untuk membantu orang lain
atau menyelesaikan permasalahan orang lain. Namun pekerjaan tersebut dilakukan
dengan kemauan sendiri dan tanpa pamrih.
Lalu kenapa
kita harus jadi relawan? Dalam Islam, Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam
bersabda, “Khairunnaas anfa’uhum linnaas.” Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad,
At-Thabrani dan AdDaruqutni ini berarti, “Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia.”
Hadis inilah
yang menjadi esensi dari kerja-kerja kerelawanan, yaitu untuk memberikan
kemanfaatan bagi manusia yang lain. Dengan demikian dirinya sendiri dapat
digolongkan sebagai sebaik-baiknya manusia.
Namun ternyata,
menjadi relawan tidak hanya tentang memberikan manfaat saja. Ada banyak manfaat
yang bisa kita dapatkan dengan menjadi relawan. Berikut ini beberapa di
antaranya:
1. Membangun
keterampilan sosial dan keterampilan menjalin hubungan Hal ini terutama bagi
Sahabat yang memiliki karakter pemalu dan tertutup. Dengan menjadi relawan,
dapat membantu Sahabat untuk mencoba membuka diri dan memulai obrolan dengan
orang baru. Pada akhirnya, ini dapat mengasah keterampilan Sahabat dalam
bersosialisasi dan menjalin pertemanan.
2. Membantu
membangun jaringan Manfaat ini bisa didapatkan ketika Sahabat melakukan kerja
kerelawanan dengan bergabung pada satu komunitas atau lembaga tertentu.
Banyaknya orang baru yang terlibat dan ditemui di sana bisa menjadi jaringan
baru bagi Sahabat. Jaringan ini bisa Sahabat manfaatkan untuk mengembangkan
diri, misalkan untuk ekspansi bisnis.
3. Memberikan
pengalaman berharga Kerja kerelawanan yang dilakukan bisa jadi berbeda dengan
aktivitas yang Sahabat lakukan sehari-hari. Hal ini tentu saja akan menjadi
pengalaman berharga. Bahkan bisa jadi Sahabat juga akan mendapatkan
keterampilan baru dengan terjun menjadi relawan.
4. Mengasah
kepekaan Kerja kerelawanan biasanya diidentikkan dengan membantu orang lain
yang sedang kesusahan atau terkena bencana. Dengan terjun di dalamnya, Sahabat
dapat mengasah empati dan kepekaan hati melihat kondisi yang dihadapi oleh
orang lain. Hal ini menjadi modal yang sangat berarti dalam menjalin hubungan
sosial baik di lingkungan pekerjaan maupun masyarakat.
5. Membantu
meningkatkan kualitas hidup Banyak studi mengungkapkan bahwa dengan menjadi
relawan dapat membantu meningkatkan kualitas hidup. Secara lahir, relawan jadi
lebih bugar karena sering bergerak. Secara batin, menjadi relawan ternyata
dapat mengurangi tingkat kecemasan, stres, dan amarah, serta membuat hati
menjadi lebih bahagia. Selain itu, seorang yang sering terlibat dalam
kerelawanan juga terbukti lebih percaya diri.
6. Memberikan
kepuasan dan kecanduan berbuat baik Berbuat baik itu candu. Maka Sahabat harus
bersiap-bersiap kecanduan berbuat baik setelah mencoba menjadi relawan. Menatap
senyum bahagia mereka yang terbantu dan ungkapan terima kasih mereka,
memberikan kepuasan tersendiri pada batin sehingga memicu untuk terus berbuat
baik.
7. Menjadi
manusia seutuhnya Last but not the least, menjadi relawan itu bisa membentuk
Sahabat menjadi manusia seutuhnya. Ya, manusia yang tidak hanya memiliki karsa
atau kehendak saja, tapi juga memiliki rasa, mempertajam nurani. Dengan
demikian, Sahabat dapat lebih peka, lebih berempati, dan lebih memiliki
keinginan untuk memberikan manfaat bagi orang lain.
Nah, seru kan
Sahabat menjadi seorang relawan itu?! Maka, yuk
persiapkan diri Sahabat untuk bermanfaat bagi orang lain dengan cara
jadi relawan. Bagaimana cara untuk jadi relawan, nanti kita akan ulas di
artikel berikutnya ya! Sahabat juga bisa
menjadi relawan di Gerak Bareng, lho! Mari sama-sama kita tebarkan kebahagiaan
bagi orang lain dengan melakukan kebaikan.
5.
Best Practice
Best Practice adalah tulisan tentang pengalama terbaik dalam menyelesaikan suatu
permasalahan. Biasanya dibuat oleh para pendidik atau mereka yang terlibat
dalam pendidikan. Selain sebagai lesson study, produk tulisan Best Practice
juga bisa menjadi masukan bagi pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan
Contoh BP
Paparan materi
diakhiri dengan jata-kata bijak dari Pramodya Ananta Toer “Orang
boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di
dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Semoga bermanfaat. Salam Literasi. (arumliterat.blogspot.com)
Mantul
BalasHapusLengkap syekalii resumenya,,,, good job
BalasHapusTeruslah menulis
BalasHapusSuit suit hebat.
BalasHapuslaur biasa mantul...
BalasHapusKeren...rapih
BalasHapusMasya Allah lengkao bu resumenya,🥰👍
BalasHapusBagus sekali resumenya bu..
BalasHapusLumayan panjang..bun..mantap
BalasHapusgood resume,informatif sekali ibu .
BalasHapussalam literasi ibu