Jumat, 19 Juni 2020

“Qoyyidul’ilma bil-kitabi”


 


QOYYIDUL'ILMA BIL-KITABI






Hari                 : Jumat, 20 Juni 2020

Pukul               : 19.00  WIB – 21.00 WIB

Pemateri          : Siska Distiana, S.Pd

Materi              : Ragam Tulisan Non-Fiksi







Ada nuansa yang berbeda pelatihan menulis malam ini. Kali ini pemateri memaparkan materinya melalui voice note. Saya sangat menyambut dengan gembira karena cara seperti ini akan lebih memudahkan peserta dalam memahami materi. Khususnya bagi saya yang bermasalah dalam hal membaca. Seiring bertabahnya usia membaca teks pada layar monitor di malam hari memang agak kurang nyaman.

Paparan diawali dari sabda Rasulullah “Qoyyidul’ilma bil-kitabi” ikatlah ilmu dengan tulisan. Sebelum paparan tentang ragam tulisan nonfiksi dibahas lebih jauh, berikut adalah 3 alasan mengapa kita harus menulis.

1.      Knowledge management / pengelolaan pengetahuan

2.      Copyright milestone / jejak langkah karya

3.      Paten / legalisasi gagasan



Pengertian

Nonfiksi yaitu yang tidak bersifat fksi tetapi berdasarkan kenyataan (KBBI). Dalam konteks karya atau tulisan, fiksi berarti karya informatif  dimana penulis bertanggung jawab penuh atas kebenaran dan akurasi informasi yang disajikannya





Ragam Tulisan Nonfiksi



1.      Berita.

Berita adalah  cerita atau keterangan mengenai kejadian peristiwa hangat (KBBI).

Teknis menulis berita ada 2 yakni: hard news, penyampaiannya to the point, tidak bertele-tele, lugas, dan singkat.  Feature yakni artikel kreatif yang bersifat informative dan menghibur










2.      Esai

Esai adalah karangan prosa yang membahas masalah sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Sering juga disebut sebagai opini



     Contoh esai

STOP Jadi Orang Tua Egois!

 Siska Distiana




Belajar dari “Taare Zameen Par” Beberapa waktu lalu, untuk kesekian kalinya, saya nonton “Taare Zameen Par”. Sudah berkali-kali saya tonton film itu, tapi belum bosan juga. Bukan karena ada Aamir Khan, aktor India favorit saya, tapi karena kisah di film itu yang demikian memikat saya. 



Taare Zameen Par bercerita tentang seorang anak disleksia yang tidak mendapat pertolongan yang tepat. Di sekolah pertama, si anak dianggap anak bodoh hingga guru dan Kepala Sekolah-nya menyerah. Pindah ke sekolah kedua, jangankan mendapat perawatan yang baik terhadap disleksia-nya, si anak justru depresi karena dipindahkan ke sekolah berasrama yang jauh dari keluarganya. Ditambah lagi pola studi di sekolah kedua yang menuntut setiap anak tampil brilian dan sempurna, membuat si anak tak lagi mempunyai semangat bahkan untuk melakukan hobinya : menggambar. 



Keadaan berangsur membaik ketika ada seorang guru baru yang bersedia merepotkan dirinya sendiri untuk mencari tahu permasalahan si anak dan membantunya sembuh dari disleksia. Tidak hanya itu, tapi si guru juga mengembalikan kepercayaan diri si anak dengan mendesain perlombaan gambar yang melibatkan seluruh warga sekolah. Si guru mengetahui bahwa si anak memiliki bakat melukis, sehingga keluarlah si anak menjadi juara dan karya lukisnya dijadikan sampul buku tahunan sekolah. Ah, bahagianya memiliki guru seperti ini. Tapi kali ini saya tidak membahas mengenai guru dan sekolah, jadi mari kembali pada orangtua si anak. 



Diceritakan dalam film tersebut, orangtua si anak, terutama ayah, juga adalah sosok orangtua yang perfeksionis. Ia selalu mengharapkan anaknya menjadi juara dan tidak memberikan toleransi pada kegagalan. Dapat ditebak betapa kecewanya ia saat menemui kenyataan anak bungsunya tidak bisa membaca dan menulis dengan benar, sedangkan kakaknya (si sulung) adalah anak dengan prestasi cemerlang. Si bungsu selalu dianggap anak bodoh, bandel dan nakal oleh ayahnya, sehingga si ayah mengasuhnya dengan bentakan, teriakan, makian, bahkan tamparan. 



Pertama kali saya nonton film itu, saya masih single kala itu, komentar saya datar saja “Kasihan ya..”. Tapi kemarin, saya nonton kembali film tersebut saat saya sudah menikah dan memiliki seorang putri. Saya jadi tercenung, dalam hati bergumam “Alangkah egoisnya kita orangtua..” 



Egoisnya Orangtua  Sebelum membahas lebih lanjut, meski sudah menjadi istilah umum, tidak ada salahnya kita samakan persepsi dulu mengenai “egois”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, egois berarti orang yang selalu mementingkan diri sendiri. Masih menurut KBBI online, egois juga adalah definisi untuk mereka penganut teori egoisme.



Egoisme sendiri didefinisikan Wikipedia sebagai motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Well, ‘gawat’ juga ya ‘paham’ egoisme ini 



Kembali ke film “Taare Zameen Par” yang sudah saya ulas di atas. Ya, saya katakan orangtua si anak disleksia adalah orangtua yang egois. Kenapa demikian? Ada beberapa pemikiran yang membuat saya menyimpulkan seperti itu :



Ego mencari kepuasan dan kenyamanan diri. Saat mengetahui anaknya bermasalah dengan aktivitas membaca dan menulis sehingga mengakibatkan nilainya selalu jelek, si orangtua langsung menggunakan standar kepuasan dan kenyamanannya, bahwa anak yang baik adalah anak yang berprestasi. Dan orangtua akan puas dan nyaman jika si anak menurut dan berprestasi di sekolahnya. Jika anak tidak memenuhi standar tersebut apa yang terjadi? Orangtua memberikan label anak bodoh dan bebas memarahi anak jika tak juga memenuhi standar orangtua, tanpa pernah bertanya “Nak, sebenarnya apa yang kamu inginkan?” 



Ego memecahkan masalah anak. Setelah memutuskan si anak bodoh (karena tidak juga bisa baca tulis dengan benar), si orangtua cepat-cepat mencarikan sekolah baru karena sekolah lama menyerah. Sekolah baru ini terkenal sebagai sekolah favorit yang menghasilkan banyak orang sukses. Sayangnya, orangtua si anak tersebut tidak pernah bertanya “Nak, kenapa kamu belum bisa menulis dengan benar? Ada masalahkah?” atau mencoba mencari tahu dengan berkonsultasi pada ahlinya. Si orangtua langsung mengambil keputusan bahwa untuk anak seperti ini ‘obatnya’ adalah disekolahkan di tempat seperti ini. Akibatnya apa? Depresi 



Ego sumber masalah ada pada anak. Pada film tersebut, si orangtua membebankan permasalahan pada diri anak. Orangtua menganggap anaklah sumber permasalahan, tanpa pernah sedikitpun mengevaluasi dirinya. Si orangtua menganggap dirinya selalu benar dan tak sedikitpun punya andil kesalahan penyebab masalah yang menimpa si anak



Saat menulis artikel ini, saya menemukan artikel menarik dari website-nya Sekolah Orangtua (www.sekolahorangtua.com), judulnya “Ada 3 Tipe Orangtua : Anda tipe yang mana?”. Pada artikel tersebut diulas mengenai tiga tipe orangtua, yaitu orangtua pencegah masalah, orangtua pencari solusi, dan orangtua tahu beres. Nah, si orangtua pada film Taare Zameen Par adalah tipe orangtua ketiga. 



Menurut Sekolah Orangtua, orangtua tahu beres adalah mereka yang menyerahkan kepada orang lain permasalahan anak mereka untuk diselesaikan, tanpa mereka mau terlibat menyelesaikannya. Orangtua tipe ketiga sering tidak menyadari bahwa permasalahan anaknya bersumber dari pendekatan yang salah yang mereka lakukan sejak anak tersebut menjalani proses tumbuh kembangnya. Orangtua tipe ketiga sering menganggap bahwa anaklah yang sepenuhnya bertanggung jawab atas masalahnya. Mereka benar-benar susah untuk menerima kenyataan bahwa merekalah pemicu utama dari tindakan anakanaknya.



Mengapa bisa begitu? Karena pada awal mulanya anak-anak hanya merespon sikap dan tindakan orangtuanya. Ketika orangtua mengulangi sikap dan tindakannya maka si anak juga mengulang respon yang sama. Dan akhirnya karena sering diulang maka hal ini menjadi kebiasaan dan karakter si anak. Demikian jelas Sekolah Orangtua. 



Oke, Taare Zameen Par angkat permasalahan anak yang ‘agak’ berat mengenai disleksia yang membutuhkan penanganan khusus. Lalu, bagaimana dengan praktik dalam keseharian kita para orangtua awam yang tidak menemui masalah seperti itu? Egois jugakah kita? 



Tulisan ini juga merupakan hasil perenungan saya dalam praktik pengasuhan yang saya lakukan pada putri kecil saya. Selebihnya juga adalah hasil observasi terhadap para orangtua yang saya temui, baik di lingkungan rumah, kantor, maupun di tempat-tempat umum yang hanya selintas bertemu. 



Dan, hasil perenungan juga observasi yang saya lakukan adalah, sorry to say, kebanyakan orangtua yang saya jumpai adalah orangtua yang (masih) egois. Tiga parameter ke-egois-an yang saya buat untuk menganalisa orangtua di film Taare Zameen Par di atas dapat kita jadikan parameter juga untuk menganalisa diri kita para orangtua :



1. Ego mencari kepuasan dan kenyamanan diri Apakah kita masih sering mengatakan hal-hal berikut :  “Adek, diem dooong, Bunda lagi capek nih!”  “Kakak, jangan ganggu ah, Ayah lagi jawab whatsapp penting nih!” atau “Kakak, aduuh jangan mainin hp ayah doong, mahal itu, nanti rusak!”  “Awas, jangan lari-larian, jangan teriak-teriak, berisik!” atau “Awas, pelan-pelan nanti jatuh, rewel lagi nanti!” 2. Ego memecahkan masalah anak Coba yang ini, pernahkah kita katakan atau lakukan pada anak-anak kita :  “Udah sini, Mama aja yang nyuapin, tuh kan berantakan makannya!”  “Kamu lama amat sih pake bajunya, sini Ibu aja yang pakein!” 3. Ego sumber masalah ada pada anak Kalo yang ini, bagaimana :  “Bodoh amat sih kamu, diajarin dari kemarin nggak ngerti-ngerti!!”  “Kenapa ya, anak saya kok ngomongnya suka teriak-teriak? Apa nggak bisa ngomong pelan” (ini curhatan seorang ibu, di rumahnya ia dan keluarga yang lain suka memanggil atau memerintah si anak dengan teriakan)



STOP Egois Anak adalah anugerah terindah dari Sang Maha Kuasa, maka setiap mereka adalah baik. Jika pada pertumbuhannya atau saat dewasanya si anak berubah menjadi tidak baik, maka yakinlah bahwa kita para orangtua punya andil besar. 



Nah, bagaimana caranya agar tidak menjadi orangtua yang egois?  Pertama, tanamkan baik-baik dalam benak kita bahwa setiap anak adalah baik dan terima mereka apa adanya. Selanjutnya, lakukan pola pengasuhan sesuai tuntunan Rasulullah Muhammad saw, yaitu melalui tiga fase :  Fase 0 – 7 tahun : anak adalah raja. Fase ini mengiringi fase tumbuh kembang otak anak yang sangat pesat. Maka biarkan mereka mengeksplorasi diri dan lingkungannya, namun tetap perhatikan keselamatannya. Sedapat mungkin minimalisir larangan karena hanya akan membuat dia semakin penasaran dan akan mencoba melakukan larangan itu di belakang kita  Fase 7 – 14 tahun : anak adalah prajurit (ada juga yang mengatakan ‘pembantu’). Fase ini adalah fase pengenalan dan pemberlakukan peraturan, fase pengenalan baik dan buruk, benar dan salah. Peraturan harus ditegakkan, tapi tak perlu menggunakan kekerasan  Fase 14 – 21 tahun : anak adalah sahabat (ada juga yang mengatakan ‘menteri’). Layaknya sahabat atau menteri, maka ia sudah mulai dilibatkan dalam diskusi keluarga. Juga mulai dapat diajak berbincang dan dimintai pendapat



Last but not the least, kedepankan selalu komunikasi yang humanis penuh cinta kasih (istilah saya: KOMUNIKASIH) di setiap tahapan usianya. Dan, perlakukan anak secara manusiawi, karena ia juga punya hati yang perasa seperti hati kita orang dewasa, ia juga punya pikiran yang berpikir seperti kita orang dewasa. 



Akhirnya, Selamat Hari Anak Nasional, mari selamatkan anak-anak Indonesia dengan tidak menjadi orangtua yang egois!  





3.      Catatan Perjalanan

Catatan perjalanan adalah tulisan tentang proses sebuah perjalanan atau ulasan tentang apa yang ditemui dalam perjalanan tersebut. Misalnya ulasan mengenai temoat yang dikunjungi, budaya daerah, makanan khas, dan seterusnya.

Contoh tulisan catatan perjalanan dapat diunduh dari link berikut:









4.      Artikel Informatif

Artikel informative adalah tulisan yang berisi informasi tentang suatu hal. Tujuannya adalah untuk menambah pengetahuan pembaca. Isinya murni informatif. Dalam bahasa popular sering pula disebut dengan “artikel feature”











Contoh artikel informatif

Kenapa Kita Harus Jadi Relawan?

Siska Distiana



Sahabat, kenapa sih kita harus jadi relawan? Kan capek! Iya benar, memang capek menjadi relawan. Namun, ada yang lebih penting dari sekadar capek. Ada yang lebih besar dari sekadar mengikuti ego diri. Ada yang lebih krusial dari sekadar memenuhi nafsu pribadi. Apakah itu? Simak ulasan berikut ini!

Sebelum mengupas tentang alasan mengapa harus melakukan kerja kerelawanan, ada baiknya kita menyamakan persepsi terlebih dahulu tentang apa itu relawan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan relawan dari kata sukarelawan, yaitu orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau dipaksakan). 

Hal ini senada dengan definisi relawan secara internasional. Relawan dalam Bahasa Inggris disebut dengan volunteer. Menurut Cambridge Dictionary, volunteer is a person who does something, especially helping other people, willingly and without being forced or paid to do it. 

Ya, kekinian kata relawan memang selalu dikaitkan dengan pekerjaan untuk membantu orang lain atau menyelesaikan permasalahan orang lain. Namun pekerjaan tersebut dilakukan dengan kemauan sendiri dan tanpa pamrih. 

Lalu kenapa kita harus jadi relawan? Dalam Islam, Rasulullah shalallahu’alaihi wassalam bersabda, “Khairunnaas anfa’uhum linnaas.” Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, At-Thabrani dan AdDaruqutni ini berarti, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”

Hadis inilah yang menjadi esensi dari kerja-kerja kerelawanan, yaitu untuk memberikan kemanfaatan bagi manusia yang lain. Dengan demikian dirinya sendiri dapat digolongkan sebagai sebaik-baiknya manusia. 

Namun ternyata, menjadi relawan tidak hanya tentang memberikan manfaat saja. Ada banyak manfaat yang bisa kita dapatkan dengan menjadi relawan. Berikut ini beberapa di antaranya:

1. Membangun keterampilan sosial dan keterampilan menjalin hubungan Hal ini terutama bagi Sahabat yang memiliki karakter pemalu dan tertutup. Dengan menjadi relawan, dapat membantu Sahabat untuk mencoba membuka diri dan memulai obrolan dengan orang baru. Pada akhirnya, ini dapat mengasah keterampilan Sahabat dalam bersosialisasi dan menjalin pertemanan.



2. Membantu membangun jaringan Manfaat ini bisa didapatkan ketika Sahabat melakukan kerja kerelawanan dengan bergabung pada satu komunitas atau lembaga tertentu. Banyaknya orang baru yang terlibat dan ditemui di sana bisa menjadi jaringan baru bagi Sahabat. Jaringan ini bisa Sahabat manfaatkan untuk mengembangkan diri, misalkan untuk ekspansi bisnis.



3. Memberikan pengalaman berharga Kerja kerelawanan yang dilakukan bisa jadi berbeda dengan aktivitas yang Sahabat lakukan sehari-hari. Hal ini tentu saja akan menjadi pengalaman berharga. Bahkan bisa jadi Sahabat juga akan mendapatkan keterampilan baru dengan terjun menjadi relawan.



4. Mengasah kepekaan Kerja kerelawanan biasanya diidentikkan dengan membantu orang lain yang sedang kesusahan atau terkena bencana. Dengan terjun di dalamnya, Sahabat dapat mengasah empati dan kepekaan hati melihat kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Hal ini menjadi modal yang sangat berarti dalam menjalin hubungan sosial baik di lingkungan pekerjaan maupun masyarakat.



5. Membantu meningkatkan kualitas hidup Banyak studi mengungkapkan bahwa dengan menjadi relawan dapat membantu meningkatkan kualitas hidup. Secara lahir, relawan jadi lebih bugar karena sering bergerak. Secara batin, menjadi relawan ternyata dapat mengurangi tingkat kecemasan, stres, dan amarah, serta membuat hati menjadi lebih bahagia. Selain itu, seorang yang sering terlibat dalam kerelawanan juga terbukti lebih percaya diri.



6. Memberikan kepuasan dan kecanduan berbuat baik Berbuat baik itu candu. Maka Sahabat harus bersiap-bersiap kecanduan berbuat baik setelah mencoba menjadi relawan. Menatap senyum bahagia mereka yang terbantu dan ungkapan terima kasih mereka, memberikan kepuasan tersendiri pada batin sehingga memicu untuk terus berbuat baik.



7. Menjadi manusia seutuhnya Last but not the least, menjadi relawan itu bisa membentuk Sahabat menjadi manusia seutuhnya. Ya, manusia yang tidak hanya memiliki karsa atau kehendak saja, tapi juga memiliki rasa, mempertajam nurani. Dengan demikian, Sahabat dapat lebih peka, lebih berempati, dan lebih memiliki keinginan untuk memberikan manfaat bagi orang lain.



Nah, seru kan Sahabat menjadi seorang relawan itu?! Maka, yuk  persiapkan diri Sahabat untuk bermanfaat bagi orang lain dengan cara jadi relawan. Bagaimana cara untuk jadi relawan, nanti kita akan ulas di artikel berikutnya ya!  Sahabat juga bisa menjadi relawan di Gerak Bareng, lho! Mari sama-sama kita tebarkan kebahagiaan bagi orang lain dengan melakukan kebaikan. 





5.      Best Practice

Best Practice adalah tulisan tentang pengalama terbaik dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Biasanya dibuat oleh para pendidik atau mereka yang terlibat dalam pendidikan. Selain sebagai lesson study, produk tulisan Best Practice juga bisa menjadi masukan bagi pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan



                                                                     Contoh BP





Paparan materi diakhiri dengan jata-kata bijak dari Pramodya Ananta Toer “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.

Semoga bermanfaat. Salam Literasi. (arumliterat.blogspot.com)

10 komentar:

Jumat Berkah di SDN Karanganyar

  Masya Allah Tabarakallah, rezeki buat anak-anak soleh dan solehan siswa SDN Karanganyar. Hari ini, Jumat, 01 September 2023 ada seorang ha...