Bab
1
Abah Dimana?
Kkrrk
... krrrk ... suara perut Aisyah seakan beriringan dengan suara rintik hujan
yang sejak dini hari belum juga reda. Pagi ini cuaca sangat tidak bersahabat. Langit mendung, hujan terus
mengguyur perkampungan yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota. Tak ada
makanan apapun di rumah Aissyah.
“Huuuaah
...” Seraya menggeliat malas Aisyah mulai beranjak dari pembaringannya yang
lembab. Dilihatnya jam dinding yang tergeletak di lantai sudah menjukkan pukul
enam pagi. Ya, jam itu selalu tergeletak di lantai, karena tidak ada tempat
untuk menempelkan di dinding. Dindingnya hanya terbuat dari bambu yang sudah
koyak. Aisyah terperanjat karena dia tersadar, kalau dia bangun kesiangan.
Aisyah
segera menuju sumur untuk mengambil air wudhu. Dingin terasa menusuk tubuh
Aisyah, karena letak sumur berada di luar rumah. Dicarinya sandal jepit
satu-satunya yang selalu menemani kemanapun Aisyah pergi. Namun, dinginnya
udara di pagi hari itu tidak membuat Aisyah menjadi malas untuk melaksanakan
salat Subuh. Aisyah tak pernah meninggalkan salat lima waktu. Bahkan selain
puasa wajib di bulan Ramadhan, Aisyah sering berpuasa sunah di hari Senin dan
Kamis.
Seember
air sumur segara ditimbanya. Perlahan Aisyah menggerek rel timba pengangkut air
dari dalam sumur. Tangannya kecil mungil, namun cukup kuat menggerek timbaan
air karena sudah terbiasa menimba air dari sejak usia empat tahun.
Tak
lazim memang seusia Aisyah melakukan pekerjaan itu. Namun, itulah kenyaataanya.
Dalam situasi yang mendesak, seseorang bisa melakukan apapun di luar perkiraan.
Selepas mengambil air wudhu, Aisyah bergegas mengerjakan salat Subuh.
“Ya
Allah maafkan aku, aku baru salat jam segini, aku mohon ampun ya Allah.” kata
Aisyah dalam hati.
Selepas
salat Subuh Aisyah mencari ibunya, “Maa
... Emaa ... Ema dimana?” Tak ada sahutan dari ibunya. Biasanya pagi-pagi emak
selalu menyiapkan makanan seadanya untuk sarapan keluarga. Kali ini tidak ada
di rumah. Aisyah terus mencari emaknya, karena perutnya yang lapar sudah tidak
bisa diajak kompromi lagi.
Sejak
semalam Aisyah tak mendapatkan ema. Dalam hatinya bertanya- tanya, “Kemana ema
semalaman? Tidak biasanya ema meninggalkan rumah tanpa memberitahuku dulu.
Perut ini perih sekali rasanya, sejak kemarin siang aku tak makan. Aku hanya
makan sekali saja waktu pagi hari. Itupun makanan sisa malam tadi. Bukan nasi,
tapi ubi bakar sisa orang-orang yang meronda.”
“Pak
..., Bapak ...” Aisyah pun mencari bapak. Bapaknya pun tidak ada di rumah.
“Pada kemana ini ema sama bapak. Pagi-pagi kok mereka sudah tidak ada di rumah, aduh gimana ini perutku lapar sekali. Aku
ingat, hari ini hari Senin. Ya sudahlah aku puasa saja.” Aisyah memutuskan
untuk berpuasa. Keputusan ini sudah biasa dilakukan Aisyah ketika di rumah
tidak ada makanan.
Lama
Aisyah menunggu kedatangan emak dan bapaknya. Dia hanya berharap semga emak dan
bapak pulang membawa makanan. Terdorong rasa laparnya yang kuat, sederet
makanan pun terlintas dalam benaknya. ”Nasi hangat, ikan asin, sambal, hmmm ...
nikmatnya. Biar kusantap nanti saat buka puasa. Sudah hampir tiga hari ini aku
tak makan nasi.” ucap Aisyah dalam hati. Ya, hanya makanan seperti itulah yang
Aisyah tahu.
Sambil
menunggu kedatangan emak dan bapak, Aisyah bersih-bersih rumah sebisanya.
Lantai pun masih beralaskan tanah. Sering ada binatang kecil yang keluar dari
dalam tanah. Keadaan seperti ini sudah biasa, sehingga Aisyah tidak kaget lagi
ketika melihat ada binatang kecil berkeliaran di dalam rumah.
Ketika
sedang asik menyapu halaman rumah, Aisyah dikejutkan oleh suara abah. “Aisyah
...!” seru abah lantang. “Ada apa tiba-tiba saja abah berkunjung ke rumahku,
tidak biasanya.” Dalam hati Aisyah bertanya heran.
“Abah
?” jawab Aisyah kaget
Ada
rasa cemas menerima kehadiran abah. Khawatir abah membawa kabar buruk tentang
emak dan bapak. Dengan rasa tak menentu Aisyah menghampiri abah. Diraihnya
tangan dan diciumnya punggung tangan abah sebagai tanda hormat kepada abah.
dipandanginya
wajah abah perlahan. Segurat rasa lelah memancar di wajah abah. Matanya
berkaca-kaca, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Terlihat bibirnya bergetar menandakan hatinya sedang dirundung rasa getir.
“Bah,
ada apa Abah datang ke sini?” tanya Aisyah sambil menengok ke arah belakang
abah, siapa tahu emak datang bersamaan dengan abah. Tapi tak ada bayang emak.
“Ema mana Bah ...?” tanya Aisyah
kembali. Berkali-kali Aisyah menengok ke berbagai arah. Namun, emaknya tak
kunjung jua didapatkan.
Abah
hanya memandang Aisyah penuh rasa iba. Ada sesuatu yang ingin diucapkannya.
Namun, abah tak kuasa menyampaikan. Lama Aisyah menatap wajah abah. Lalu Aisyah
memberanikan diri untuk bertanya. Dia harus tahu pasti maksud kedatangan abah.
Lama abah tak berkata apapun, sampai akhirnya dia memeluk Aisyah erat.
“Bah,
sebenarnya emak kemana, bapak juga ga ada, Aisyah lapar sekali belum makan dari
kemarin, abah bawa makanan?” tanya Aisyah dengan raut wajah harap cemas, dia
sangat berharap abah membawa sesuatu yang bisa dimakan.
“Aisyah,
yang sabar ya Nak, emakmu tadi malam dibawa ke rumah sakit. Bapakmu sekarang
sedang menunggu emakmu di rumah sakit. Sepertinya adikmu akan lahir.” papar
abah meyakinkan Aisyah.
“Oh,
jadi Aisyah mau punya dede dong.”
jawab Aisyah girang. Saking
girangnya Aisyah lupa, kalau dirinya sedang kelaparan. Wajahnya langsung ceria.
Aisyah langsung memeluk abahnya. Sejenak mereka saling berpelukan.
“Bah,
anter Aisyah ke rumah sakit sekarang Bah, Aisyah sudah tidak sabar pengen lihat
dede bayinya.” pinta Aisyah kepada abah. Tanpa menunggu persetujuan abah Aisyah
langsung berkemas. Dicarinya sendal capit kesayangannya. Aisyah ingin segera
menemui emak dan adiknya. Ditariknya tangan abah untuk segera berangkat. “Ayo,
Bah kita berangkat sekarang.” ajak Aisyah
“Iya,
sabar ya Nak, nanti juga Kamu bakal ketemu dengan adikmu, cuma ... sekarang
belum waktunya, kan emakmu belum melahirkan. Nanti kalau ada kabar dari ayahmu,
segera kita ke rumah sakit ya Nak.” jelas abah.
“Enggak
Bah, Aisyah mau ke rumah sakit sekarang aja. Kasihan emak. Emak pasti
kesakitan. Aisyah mau bantuin emak lahiran” Setengah merengek Aisyah memaksa abahnya untuk segera berangkat
ke rumah sakit.
“Aisyah
..., denger ya Nak, abah juga maunya ke rumah sakit sekarang. Kasihan emakmu, pasti dia sekarang
merintih – rintih kesakitan. Tapi Nak ..., rumah sakit itu kan jauh, kalaupun
kita bisa naik ojeg, kita nggak punya uang untuk bayar ojegnya. Kita berdoa aja
di rumah ya Nak. Semoga emakmu lancar lahirannya.” Abah berusaha terus
meyakinkan Aisyah.
“Tapi
Bah, Aisyah pengen ke emak sekarang ...
hu hu hu ....”
Akhirnya
Aisyah pun menangis. Dia sangat ingin mendampingi emaknya melahirkan. Namun,
apalah daya, kondisi yang tidak memungkinkan Aisyah untuk menemani emaknya
melahirkan.
Rasa
lapar yang mendera sejak dari kemarin sudah tidak dihiraukannya lagi. Yang ada
dalam benaknya sekarang adalah bagaimana caranya dia bisa pergi ke rumah sakit
sekadar menemui emaknya. Sendal capit lusuh yang sudah dipakainya, dengan
terpaksa dia harus melepasnya kembali.
Abah,
kakeknya Aisyah hanya bisa duduk termenung menemani Aisyah yang masih terisak
menangis. Ada perasaan bersalah pada diri abah, karena tidak bisa memenuhi
keinginan cucunya.
Dalam
isak tangisnya Aisyah selalu berguman, “Mak ... Aisyah pengen ke emak, Aisyah sayang emak, emak yang
kuat ya maa...hu hu hu.” Sesekali Aisyah melihat ke arah pintu masuk, berharap
emaknya pulang segera.
Lamunan
Aisyah pun melayang layang. Ia membayangkan emaknya pulang sambil mengendong
bayinya. Bapaknya membawa banyak makanan. hanya itu lamunanan Aisyah saat ini.
Lamunan bocah kampung yang jauh dari peradapan kota.
Tiba-tiba
saja Aisyah kepikiran ingin pergi ke kota dengan berjalan kaki. Dia tak
memperdulikan jauhnya jarak tempuh dari rumahnya ke rumah sakit. Yang ia
pedulikan, hanyalah keadaan emaknya di rumah sakit.
“Bah,
Aisyah mau ke rumah sakit jalan kaki aja ya Bah ... boleh kan?” ucap Aisyah
memelas. Khawatir abah tidak mengizinkan. Abah pun terperanjat dengan perkataan
Aisyah.
“Apa?
Kamu pikir rumah sakit itu deket? Sandal Kamu bisa habis dipake berjalan
seharian ke rumah sakit.” jelas abah.
“Terus,
semalam emak pergi ke rumah sakit pake apa? Kenapa emak gak melahirkan di rumah
aja, dulu juga Aisyah dilahirkannya di
rumah ini ?” tanya Aisyah keheranan.
“Nak,
emakmu waktu kemarin terpelesat di pinggir sungai. Karena emakmu sedang hamil
tua, jadi ada pendarahan. Sampai malam, darahnya terus terusan keluar, abah
jadi khawatir. Emakmu kondisinya sangat mengkhawatirkan. Emakmu harus segera ditangani dokter, kamu
tahu sendiri kan, di kampung kita mana ada dokter? Untung saja ada tetangga
yang bisa dipinjami motor. Bapakmu yang bawa emakmu ke rumah sakit.” papar
abah.
Mendengar
penjelasan dari abah, Aisyah pun mengurungkan niatnya untuk pergi berjalan kaki
ke rumah sakit. Walau kecewa, namun masih ada harapan untuk segera bertemu
dengan emak. Setidaknya Aisyah masih bisa mendoakan emaknya selamat dalam
persalinan.
Seharian
Aisyah gelisah tak menentu. Pikirannya terus tertuju kepada emaknya yang sedang bertarung nyawa. Aisyah memang
tidak pernah jauh dari emaknya. Kemana pun emaknya pergi, Aisyah selalu mengikutinya. Baginya, emak adalah segala-galanya. Kasih
sayang emak tak kan pernah tergantikan oleh siapa pun.
Tak
terasa waktu sudah menunjukkan waktunya salat dzuhur. Suara azan sudah
berkumandang. Dasar Aisyah anak solehah, sebelum waktunya salat dzuhur, Aisyah
sudah bersimpuh duduk di atas sajadah lusuh. Aisyah selalu menantikan waktu
salat dalam keadaan sudah berwudhu. Dia begitu menuruti nasihat emaknya, agar
tidak lalai dalam menjalankan salat lima waktu.
Memang,
Aisyah tidak seperti anak-anak lainnya. Walaupun usianya baru delapan tahun,
gerakannya sangat gesit seperti anak usia belasan tahun. Kehidupannya yang
begitu menghimpit telah mengubah sosok Aisyah menjadi anak yang mandiri. Bapaknya
hanya pegawai serabutan. Tak ada jaminan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Ibunya
yang selalu disapa ‘Emak’, kondisinya sangat rapuh. Sering sakit-sakitan,
sehingga Aisyah selalu membantu pekerjaan rumah tangga. Rumah yang ditempatinya
nyaris seperti gubuk reyod. Sangat tidak layak untuk dijadikan rumah hunian.
Sudah
sebesar ini, Aisyah belum sempat
sekolah, karena Aisyah harus membantu pekerjaan rumah tangga. Dalam kondisi
sakit-sakitan, tidak mungkin emaknya bekerja untuk kepentingan rumah tangga.
Entah penyakit apa yang di derita emaknya, tubuhnya selalu terasa lemas,
semakin hari semakin kurus saja. Apalagi sekarang emak sedang mengandung.
Kondisinya sangat kritis.
Aisyah
sudah pandai menanak nasi, cuci pakaian, cuci piring, dan menyapu halaman.
Sagat jarang anak seusianya mampu melakukan pekerjaan itu semua. Walaupun
Aisyah kesehariannya harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga, dia selalu
menyempatkan diri belajar mengaji Al-Quran dengan emaknya.
Setelah
melaksanakan salat dzuhur, karena kelelahan Aisyah tertidur pulas di atas
sajadah. Begitu pulasnya Aisyah tertidur, hinga terdengar suara adzan salat
Ashar. Perlahan Aisyah membuka matanya. Tubuhnya masih tertutup mukena.
Dilepasnya mukana dan segera bangun untuk mengambil air wudhu.
“Baah
...,” panggil Aisyah sambil berjalan menuju sumur untuk wudhu.
Tak
ada suara sahutan dari abah. Aisyah mengira abahnya sudah pulang. Ada rasa
cemas kembali mendera. “Kalau abah pulang, nanti aku buka puasa makan apa, mana
bapak juga gak ada, emak gak tau gimana sekarang kondisinya?” guman Aisyah
dalam hati.
“Abaaah
... Baaah ....” panggil Aisyah lantang berkali-kali. Aisyah mencari abah di
sekitar rumah, tapi abah belum juga ditemui . “ Kemana sih si abah, masa abah tega ninggalin Aisyah?” kata Aisyah
dalam hati.
Tak
lama kemudian, Bu Berta tetangga dekat rumah datang. “Assalamualaikum, Aisyah
..., Aisyah.” ucap Bu Berta. Aisyah segera menjawabnya “waalaikumsalam, eh ... Ibu Berta, ada apa Bu”
“Alhamdulillah, syukur deh Kamu ada di
rumah, Kamu sendirian di rumah ya?” tanya Bu Berta
“Eu
..., iya Bu, kok Ibu tahu?” jawab Aisyah heran.
“Iya,
Aisyah. Ibu sengaja datang ke sini. Karena ibu dapat kabar dari abahmu, bahwa
ibumu dibawa ke rumah sakit, dan kamu tinggal sendirian di rumah. Ibu jadi
khawatirin kamu, Aisyah.”
“Oh,
jadi Ibu tadi ketemu abah? Aisyah tadi nyari-nyari abah, pantesan gak ada.
Sekarang abah mana Bu.” tanya Aisyah mengiba. Ada genangan air mata di wajah
Aisyah. Tahu gelagat tidak menyenangkan, Bu Berta segera menenangkan Aisyah
“Tenang
Aisyah, abahmu ada di rumah ibu, kebetulan rumah ibu gentingnya bocor, jadi
tadi ibu menyuruh abah membetulkan genting rumah ibu yang bocor, sebentar lagi
juga abah pulang.” jelas Bu Berta
Seketika
wajah Aisyah berubah. Ada setitik harapan, abah akan pulang membawa makanan
untuk buka puasa. Bu Berta satu-satunya penduduk
kampung itu yang kehidupannya mapan. Hampir seluruh persawahan di kampung itu
milik Bu berta. Keluarga Aisyah yang biasa menggarap sawahnya.
“O
ya, Aisyah ... Ibu bawa makanan sedikit nih buat Kamu. Lumayanlah buat buka
puasa, kata abah, katanya kamu lagi puasa ya?” kata Bu Berta sambil memberikan
makanan
Hampir
meloncat kegirangan, Aisyah mendengar Bu Berta membawa makanan.”Alhamdulillah ya Allah, hari ini aku
bisa makan.” ucap Aisyah dalam hati
“Wah!
Trimakasih banyak ya Bu.” ucap Aisyah kegirangan. Diambilnya tentangan makanan
dari Bu Berta. Tercium aroma sedap dari makanan itu. wajah Aisyah begitu
berbinar-binar. Air liurnya hampir saja menetes “Hmm ..., sedap nih kayanya,
hari ini aku makan besar.” kembali di dalam hati Aisyah berucap.
Namun,
seketika hatinya ciut kembali. Bayangan emaknya kembali melintas. “Ah, ... emak
sudah makan belum ya, apakah emak sudah melahirkan? Duh ... emaak ... cepat
pulang ya Maak.” Selalu saja dalam hatinya berkata-kata.
“Loh,
Nak ... kenapa kok tiba-tiba wajahmu murung?” tanya Bu Berta
“Gak
apa apa Bu, Aisyah hanya teringat emak, Aisyah tidak tahu gimana kondisi emak
saat ini, Aisyah mau ke emak, tapi Aisyah gak bisa, Aisyah gak punya uang untuk
ongkos pergi ke rumah sakit.” Kata-kata Aisyah penuh iba.
“Iya
ya ... ibu bisa merasakan kesedihanmu Nak, eu ... gini aja, besok Kamu ke rumah
sakit bersama ibu ya, selakian ibu juga mau nengok ibumu.” kata Bu Berta.
Seperti
mendapat durian runtuh, Aisyah ternganga mendengar tawaran Bu Berta untuk
berangkat ke rumah sakit dengannya.
Spontan Aisyah memeluk Bu Berta sebagai tanda terima kasih.
“Ibuu
..., trimakasih ya Bu, Aisyah mau sekali ke rumah sakit, trimakasih,
trimakasih, trimakasih, ya Bu.” kata Aisyah sambil terus menciumi punggung
tangan Bu Berta.
“Ya
sudah, ibu pamit dulu ya, baik-baik Kamu di rumah. sebentar lagi abahmu
datang.” kata Bu Berta seraya meninggalkan Aisyah
***
Waktu
magrib pun tiba. Lantunan suara adzan begitu syahdu di telinga Aisyah. Seiring
dengan kumandangnya suara adzan, abah pun pulang dengan wajah ceria, karena
membawa upah hasil kerja dari Bu berta. Aisyah pun berbuka puasa ditemani abah
dengan makanan sedap dari bu Berta.
Jalan ceritanya bak lukisan bergaya realis, Selamat
BalasHapus