Sore menjelang magrib, suasana agak gelap, belum ada penerangan
listrik di rumah Aisyah. Penerangan masih menggunakan lentera. Terdengar suara
benda jatuh. Sutinah terperanjat.
“Braak!”
Sutinah meloncat kaget. Sejak tadi
siang, Sutinah duduk termenung di depan
perapian. Dicarinya sumber suara yang mengagetkan itu. Dengan perasaan cemas, Sutinah mencari Aisyah. Dia khawatir, jangan-jangan ada orang
iseng yang hendak mengganggu dirinya.
“Aisyah … Aisyah, di mana kamu? Kamu dengar suara itu? Suara
apa itu, Nak?” tanya Sutinah panik.
“Ya, Mak, Aisyah di sini,” jawab Aisyah
agak berteriak.
Sutinah pun segera menghampiri
Aisyah. Dia terbelalak melihat Aisyah sedang memecahkan celengannya. Terlihat
uang bececeran. Kebanyakan uang receh logam, ada bebrapa lembaran kertas
pecahan dua ribu dan lima ribu.
“Aisyah, kenapa kau pecahkan celengan itu, Nak? Bukannya itu untuk sekolahmu nanti?” tanya Sutinah.
“Nanti? Nanti kapan, Mak? Sekarang
sudah bulan Agustus. Teman-teman Aisyah sudah pada sekolah
sejak sebulan yang lalu. Aisyah kapan?” ucap Aisyah sambil
menggerutu kecewa.
“Iya, sabar, Sayang. Nanti kalau tabungan sudah banyak, Aisyah pasti sekolah,” jawab Sutinah
seraya menghibur Aisyah.
“Uangnya ada dua ratus delapan puluh
lima ribu rupiah. Wah! Cukup banyak juga, ya, Mak. Padahal, baru sebulan Aisyah ngisi si ayam ini. Hi hi,” ucap Aisyah sambil tertawa kecil. Sejak dia bekerja jadi
tukang cuci, dia rajin menabung di celengan yang terbuat dari tanah liat
berbentuk ayam.
“Terima kasih, ayam. Maaf, ya, tubuh
kamu jadi berantakan. Tapi enggak apa-apa, kan? Nanti aku perbaiki lagi, terus, aku isi lagi, deh,” ucap Aisyah dengan wajah ceria. Kekecewaannya terobati ketika
melihat uang di celengan itu cukup banyak. Bagi keluarga Aisyah, uang sebanyak itu sangat berarti.
“Mak, gimana kalau uang ini kita
jadika modal dagang saja? Emak yang bikin kue-kue, nanti Aisyah
yang menjualnya. Ya, Mak?” kata
Aisyah sumringah.
“Nantinya lagi, hasil uang hasil
dagangan kita ditabung. Siapa tahu tahun depan uangnya lebih
banyak dari sekarang. Terus, Aisyah bisa sekolah, ya, Mak?” lanjut Aisyah.
Sutinah hanya tertegun mendengar
rencana Aisyah. Dia merasa bangga pada anaknya. Begitu gigih keinginannya untuk
bersekolah. Sutinah merasa sangat berdosa karena sudah hampir sepuluh tahun
tidak pernah terpikir untuk menyekolahkan Aisyah.
“Aisyah mau menjajakan kue buatan Emak?” tanya
Sutinah penuh harap.
“Mau, mau, Mak,” jawab Aisyah semangat.
“Kalau begitu, besok pagi kita mulai
kerja, ya,” ajak Sutinah.
“Asyiiik … Aisyah besok ke sekolah,” sorak Aisyah.
“Eh, kok ke sekolah? Besok itu kamu jualan kue, Aisyah, bukan sekolah,” ucap Sutinah heran.
“Iya, Mak, maksudnya, Aisyah besok jualannya mau di sekolah saja, biar cepat
laku. Anak-anak sekolah kan, sukanya jajan makanan yang Emak buat.”
Keesokan harinya,
Aisyah jualan kue buatan emaknya. Hari itu, nampak Aisyah gembira sekali. Kegembiraan yang dirasakan bukan
masalah berjualan kuenya, tapi Aisyah dapat pergi ke sekolah, walaupun hanya
sekadar untuk berjualan, bukan untuk belajar seperti anak-anak yang lain.
Langkah kecil Aisyah begitu cekatan menyusuri pematang sawah.
Karena tempat tinggalnya agak terpencil, Aisyah harus menempuh jarak satu
kilometer ke sekolah terdekat, dan itu harus dilaluinya dengan berjalan kaki.
Perjalanan yang sangat melelahkan.
Namun, kelelahan itu terbayarkan oleh kegembiraan saat pertama kalinya Aisyah
menginjakkan kaki di sekolah itu. Lamunan pun melayang. “Seandainya saja aku
dapat sekolah di sini, mungkin pakaianku tidak seperti ini. Aku akan berpakaian putih merah, bersepatu, membawa buku-buku. Ya … seperti anak sekolahan itu.”
Awalnya, Aisyah ragu-ragu untuk masuk ke area sekolah itu, karena sudah
banyak orang-orang yang berjualan. Dia juga bingung, dagangannya harus disimpan
di mana. Akhirnya, Aisyah berjalan berkeliling
menghampiri anak-anak, dengan harapan mereka membeli dagangannya.
“Kue … kue ….” Aisyah mulai beraksi
menjajakan dagangannya.
“Hmm … kok enggak ada yang beli, ya? Kenapa? Apakah mereka enggak suka dengan
jajanan seperti ini? Kasihan Emak, kalau kue-kue ini tidak laku,” keluh Aisyah dalam hatinya.
“Aisyah!” Ada seseorang yang
memanggil namanya. Aisyah pun kaget, dia memalingkan wajahnya ke arah suara
yang memanggil namanya.
“Kamu jualan di sini? Jualan apa? Wah … kayaknya enak-enak, nih, kuenya. Aku beli, ya. Berapa?” tanya Siti.
“Hai, Siti. Kamu sekolah di sini?
Iya, aku jualan kue dagangan emakku. Coba, deh. Pasti
enak. Buat kamu, boleh seribu ambil tiga,” jawab Aisyah girang, karena ada juga
yang mau membeli dagangannya.
Siti pun langsung mengambil kue dagangan Aisyah dengan senang, lalu
bertanya, “Emang harga satunya berapa? Kalau
aku ambil tiga, apa kamu enggak rugi?”
“Enggak lah, Sit. Kamu kan teman
sekampungku. Ya … hitung-htung hadiah dariku untuk kamu, karena kamu orang pertama yang membeli daganganku. Eh … tapi,
kasih tahu teman-teman kamu, ya. Ajak mereka
jajan kue-kue daganganku,” ucap Aisyah.
Di hari pertama, tidak sampai satu
jam, dagangan Aisyah terjual habis. Esoknya, sengaja Aisyah datang lebih awal.
Pagi-pagi buta Aisyah sudah berangkat ke sekolah, dan tiba sebelum anak-anak
masuk kelas. Alhasil, dagangan Aisyah lebih cepat laku dari pada dagangan yang lain.
Setelah dagangannya habis, Aisyah tidak cepat pulang. Aisyah selalu duduk di bawah jendela
kelas satu. Diam-diam, dia memperhatikan pelajaran dari
luar kelas. Aisyah sangat menguasai pelajaran membaca dan berhitung, walaupun
pelajaran yang dia dapatkan hasil mengintip dari luar kelas.
Dasarnya Aisyah anak cerdas,
lama-lama dia bosan mengintip kelas satu terus. Selanjutnya, dia mengintip kelas dua dan kelas tiga. Hingga pada
suatu hari, ketika Aisyah sedang mengintip ruang belajar kelas tiga, Aisyah
keceplosan menjawab pertanyaan guru dari luar kelas.
Semua orang yang ada di dalam kelas
itu terkejut ada suara jawaban dari luar kelas. Serempak semua orang menoleh ke
arah jendela. Tampak di luar jendela Aisyah ketahuan sedang mengintip. Aisyah
pun terkejut, dia tidak menyangka kalau suaranya akan terdengar oleh
orang-orang yang ada di dalam kelas.
Bu Ika, selaku pengajar di kelas itu pun spontan keluar. “Hei, siapa itu
di luar?” tanya Bu Ika.
Aisyah merasa ketakutan, dia malah
lari meninggalkan tempat itu. Anak-anak pun turut keluar kelas. Di antara
mereka ada yang mengejar Aisyah. Edi, sang ketua
kelas, berhasil mengejar Aisyah.
“Tunggu, kamu siapa? Kenapa tadi kamu mengintip?”
tanya Edi terengah-engah, menghentikan langkah Aisyah. Aisyah pun berhenti
berlari. Dia sangat ketakutan karena ketangkap basah sedang mengintip di luar
kelas.
“Maaf, sa … saya Aisyah, saya ….” Belum selesai Aisyah menjawab pertanyaan,
tiba-tiba ada yang menjawab. “Dia Aisyah, Aisyah temanku di kampung. Dia yang
berjualan kue di sekolah kita,” jawab Siti juga sambil terengah-engah, karena
mengikuti Edi mengejar Aisyah.
Tak lama kemudian, datanglah Bu Ika
yang diikuti oleh beberapa guru yang lainnya. Pelarian Aisyah rupanya memancing
perhatian guru-guru di sekolah itu. Tak ayal lagi, Aisyah pun dikerumuni
orang-orang. Perasaan bersalah Aisyah semakin mendera.
“Ini, Bu, orang yang tadi ngintip sudah tertangkap,” seru Edi.
“Hey, bukankah kamu yang suka jualan di sekolah?” tanya Bu Ika pelan. Dia merasa
iba. Dihampirinya Aisyah yang sedang jongkok meringis karena takut. “Sini, Nak,
jangan takut. Kenapa kamu lari?” tanya Bu Ika kemudian.
“Iya, Bu. Maaf kalau saya mengganggu.
Saya hanya sekadar mendengarkan pelajaran saja di luar kelas, dan saya enggak
sadar … saya jadi ikut mejawab pertanyaan Ibu.
Maafkan saya, ya, Bu,” jawab Aisyah ketakutan.
“Namamu siapa? Dan kenapa kamu enggak
sekolah, Nak? Rumahmu di mana?” tanya Bu Ika semakin
penasaran.
“Dia Aisyah, Bu. Tinggal di Kampung Sukamiskin, satu kampung denganku, anaknya Bu
Sutinah. Dia orangnya baik, kok, Bu. Jadi, jangan salahkan dia. Memang, dia sudah lama ingin sekolah, tapi
orang tuanya belum membolehkan.” Siti menjelaskan keberadaan Aisyah, karena dia
tahu Aisyah sedang dalam keadaan tertekan.
Mendengar jawaban dari Siti, Bu Ika
pun terperanjat. Dia baru tahu kalau Aisyah itu adalah anaknya Sutinah. Kisah
tentang keluarga Sutinah memang sudah menjadi buah bibir bagi warga sekitar.
Termasuk, Bu Ika pun pernah mendengar kisah
yang memilukan tentang keluarga Sutinah.
Bu Ika menjulurkan tangannya untuk
meraih Aisyah. “Sini, Nak.” Aisyah pun langsung dipeluknya erat. “Mulai besok,
kamu enggak usah jualan lagi di sekolah, ya. Kamu enggak boleh ngintip kelas lagi, ya.”
Aisyah terdiam mendengar ucapan Bu
Ika. Pikirnya kacau. Aisyah tak tega memberitahukan kejadian ini
kepada emaknya. Emaknya pasti kecewa, karena dia tak bisa membantu menjajakan dagangannya. Akhirnya, Aisyah memberanikan diri bertanya kepada Bu Ika.
“Tapi, Bu, bagaimana dengan Emak saya? Kalau saya enggak boleh lagi jualan di sekolah, pasti Emak kecewa. Saya janji, Bu, saya enggak akan ngintip kelas lagi. Tapi tolong, Bu, izinkan saya jualan saja di
sekolah, ya, Bu. Saya mohon.” Aisyah memohon dengan nada memelas.
“Aisyah, maksud Ibu, kamu mulai besok boleh masuk kelas dan ikut belajar dengan teman-temanmu di dalam kelas. Dan kalau kamu
mau, boleh kok, sambil jualan.” Bu Ika menjelaskan maksud yang sebenarnya.
Bagai mendapat durian runtuh.
Perasaan Aisyah seolah meloncat-loncat kegirangan. Rasa bahagia yang tiada tara
mendengar perkataan Bu Ika tadi. Bukan hanya Aisyah yang merasa gembira, tapi
orang-orang yang turut mendengarkan
perkataan Bu Ika tadi turut senang.
Siti langsung memeluk Aisyah.
“Aisyah, akhirnya kamu bisa sekolah juga. Kita berangkat bareng, besok, ya,” kata Siti.
Saat itu, antara percaya dan tidak,
Aisyah masih tertegun. Ada rasa haru yang mendalam. Aisyah pun langsung
menciumi tangan Bu Ika, sebagai tanda terima kasihnya yang tak terhingga. Air
matanya menetes, tak kuasa menahan haru atas kebaikan Bu Ika.
“Alhamdulillah. Terima kasih, Bu.
Aisyah sangat senang mendengarnya. Aisyah janji, akan belajar sungguh-sungguh,”
ucap Aisyah gembira. Tapi, kegembiraannya terhenti seketika, ketika dia sadar
bahwa dia tak punya buku-buku dan pakaian seragam sekolah.
“Tapi, Bu, Aisyah sekarang ini belum
mampu membeli buku-buku dan seragam sekolah, makanya Aisyah jualan kue. Hasilnya sebagian ditabung untuk
biaya sekolah Aisyah tahun depan. Begitu kata Emak, Bu,” jelas Aisyah polos.
“Sudah, kamu jangan pikirkan itu. Biar Ibu nanti yang mengurus semuanya, ya. Sekarang, ayo kita ke kelas
lagi. Aisyah, silakan kamu pulang. Sampaikan kepada
ibumu, ya, kalau kamu besok mulai sekolah.” Bu Ika
menyudahi percakapan.
Bagus, alur ceritanya mengalir begitu lancar..
BalasHapus