Tiba-tiba Dimas muncul begitu saja dari arah dapur. Entah bagaimana
caranya dia bisa berada di dapur rumahnya, padahal keadaannya sangat gelap.
Memang, Sutinah tak pernah menyalakan
lentera di dalam dapur. “Kang Dimas? Kenapa Akang bisa ada di dapur?” tanya Sutinah
keheranan.
“Euh … anu, eu … Akang barusan ngejar maling. Malingnya lari ke arah dapur kita. Mana orang-orang yang ngeronda tadi, Mak? Mereka sudah pergi?” tanya Dimas gugup. Sutinah tidak langsung
menjawab, ia hanya mengernyitkan alisnya. Sutinah merasa heran, bagaimana Dimas bisa tahu ada orang-orang yang datang ke sini
mencari maling, sementara tadi Dimas tidak bersama mereka.
“Kang Dimas dari mana saja tadi?
Kenapa enggak bareng mereka ngejar
malingnya?” tanya Sutinah tambah heran. Dimas pun tak segera menjawab, dia
langsung pergi ke kamar dengan tergesa-gesa. Sutinah dan Aisyah mengikutinya
dari belakang.
“Mak, tutup pintunya rapat-rapat!
Ayo, ayo, kita tidur saja. Sekarang sudah
aman. Ternyata, malingnya tidak ada di sekitar
rumah ini. Mungkin dia sudah kabur entah ke mana. Sudah! Jangan dipikirkan lagi,
ya. Aisyah, ayo Nak, kita tidur saja,” ujar Dimas gugup. Keringatnya mengucur deras seperti sudah
berlari maraton, napasnya ngos-ngosan.
Mereka pun tidur dalam kegelisahan.
Dimas tidur di lantai beralaskan tikar kumal. Tangannya dilipat di bawah
kepalanya. Matanya melotot liar, menandakan kegelisahan yang teramat sangat.
Melihat kondisi suaminya seperti itu, Sutinah hanya pasrah menerina apa adanya.
Sutinah dan Aisyah pun hanya mampu menuruti perintah Dimas.
Walaupun mata terpejam, tapi
nyatanya Sutinah tidak bisa tertidur pulas. Pikirannya masih terbayang-bayang
kejadian di dapur tadi. Aisyah pun sama, beberapa kali dia mebolak-balikkan badannya, mengubah posisi tidur. Namun, kantuk itu masih menjauh
dari mata.
***
Kokok ayam membangunkan keluarga Aisyah. Seperti biasanya, mereka bangun pagi, salat berjamaah di rumah. Lalu, mereka pun
melakukan aktivitasnya masing-masing. Aisyah yang sudah piawai dalam melakukan
pekerjaan rumah tangga, tak perlu lagi diperintah oleh Emak atau Bapak.
“Kang, sarapan dulu. Aisyah sudah
selesai masaknya, tuh. Ayo, nanti keburu dingin,” ajak Sutinah.
Tidak seperti biasanya, kali ini Dimas tak mau beranjak dari pembaringan. Sejak
tadi Dimas tiduran saja,
tak ada sesuatu yang dikerjakan.
“Mak, Pak, ayo kita makan! Aisyah
masakin sayur bayam, nih. Katanya, sayur bayam itu bagus untuk
kesehatan,” ucap Aisyah sambil duduk sila siap
menyantap sarapan. Makanan yang terhidang hanya nasi putih dan sayur bayam
saja. Menu seperti itu sudah biasa tersaji setiap hari. Mereka cukup makan
dengan nasi putih dan sayur saja. Sesekali, jika ada rezeki, mereka makan dengan telur atau ikan asin.
“Makan saja duluan Aisyah, Bapak belum lapar. Ajak ibumu makan sekalian,” jawab Dimas
santai. Aisyah tidak segera makan. Begitu pun Sutinah. Mereka hanya memandangi makanan yang tersaji di lantai. Tidak ada
gairah untuk makan hari ini. Kejadian tadi malam rupanya masih membayangi
mereka.
Setelah sekian lama saling berdiam
diri, akhirnya Aisyah pun bertanya kepada bapaknya, “Pak, kata Mang Kuyan,
semalam Bapak enggak ikut ronda, tapi kata Emak … Bapak tiap hari ngeronda.
Aisyah jadi bingung, mana yang benar, Pak?”
Mendengar pertanyaan Aisyah, Dimas
pun kaget. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mungkinkah anak sekecil Aisyah
punya rasa curiga? Dimas bingung untuk menjawab yang sebenarnya. Sutinah pun
paham dengan situasi itu, karena Sutinah sangat mengenal karakter suaminya.
“Aisyah, semalam bapakmu meronda. Emak tahu sendiri, kok. Mungkin saja Mang Kuyan enggak datang ke pos ronda. Jadi, ya … enggak
ketemu sama bapakmu. Sudah, jangan dibuat bingung gitu. Ayo, makan,” jelas Sutinah dengan lemah lembut.
Dimas tertegun haru mendengar
penjelasan Sutinah kepada Aisyah, padahal Sutinah
tahu keberadaan suaminya saat itu. Namun, demi kepercayaan anaknya , Sutinah
harus berbohong.
Akhirnya, Dimas pun ikut makan bersama Aisyah untuk menghindari kecurigaan
Aisyah. Sutinah mengedipkan matanya kepada Dimas, sebagai pertanda bahwa dia
sedang berbohong. Selesai makan, Dimas mengajak istrinya mengobrol berdua. Aisyah asyik menemani adik kecilnya.
“Kang, kita harus bicara,” kata Sutinah.
“Ya, tapi pembicaraan ini jangan
sampai Aisyah tahu.”
Cukup lama Sutinah berbincang dengan
Dimas. Aisyah mengira emak dan bapaknya sedang asyik mengobrol biasa.
Perhatian Aisyah terbagi dua antara memperhatikan adiknya dan menguping percakapan orang tuanya.
Terdengar isak tangis Emak di sela-sela perbincangan dengan bapaknya. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, “Kenapa aku enggak boleh tahu percakapan mereka? Kenapa Emak menangis? Apakah Bapak menyakiti Emak, atau Emak sedang merasakan penyakitnya?” Kecurigaan Aisyah semakin kuat. Akhirnya, secara diam-diam Aisyah menguping lebih dekat lagi percakapan emak
dan bapaknya.
Percakapan mereka agak lebih jelas terdengar. Dengan gaya mengendap-ngendap, Aisyah memasang tajam pendengarannya. Alhasil, terdengarlah percakapan kedua orang tuanya. Aisyah hampir tak
percaya dengan apa yang telah ia dengar. Tapi, itulah kenyataannya. Pahit memang.
“Oh, ternyata Bapak selama ini punya perempuan lain? Emak pun tahu itu, tapi selama ini Emak pura-pura enggak tahu. Emak sadar dengan
kondisinya yang rapuh, sehingga Emak rela
diperlakukan Bapak begitu. Pantas saja Emak tidak pernah berontak. Emak selalu menutup nutupi keberangkatan
Bapak setiap malam. Kini aku tahu
semuanya.” Dalam hati Aisyah membuat kesimpulan.
“Hmm, rupanya Bapak ingin menceraikan Emak, tapi Emak enggak mau. Huh! Bapak! Tega banget seperti itu. Bukannya Emak disayang, malah mau
dicerai. Aku benci Bapak! Aku benci Bapak!” jerit hati Aisyah dalam hati.
Saking asyiknya menguping percakapan Emak dan Bapak, Aisyah tidak sadar kalau
bapaknya sudah selesai berbincang dengan emaknya. Aisyah pun ketahuan sedang menguping. “Aisyah! Sedang apa kamu di situ?” tanya bapaknya dengan nada kasar. Terkejutlah Aisyah mendapat teguran seperti
itu.
“Bapak kejam! Bapak jahat! Aisyah
benci Bapak!” teriak Aisyah.
“Apa kamu bilang? Lancang sekali mulutmu, hah!” hardik bapaknya.
“Aisyah sudah tahu semuanya. Bapak mau
kawin lagi dengan perempuan lain, kan?” bentak
Aisyah tambah berani. Aisyah pun berlari memeluk emaknya yang masih terisak
menangis pilu di dalam kamar. Bahkan, adik bayi pun
turut menangis seakan merasakan penderitaan yang dialami emaknya. Tangisan bayi menambah suasan semakin haru. Mereka saling
berpelukan dalam tangisan.
“Aisyah, kenapa kamu begitu berani menghardik bapakmu, Nak? Itu perkataan yang tidak
baik diucapkan dari seorang anak kepada bapaknya. Emak tidak pernah mengajarkanmu hal seperti itu. Kamu harus minta maaf sama bapakmu, ya, Nak,” ucap Sutinah dengan nada
terbata-bata sambil mengelus-elus kepala Aisyah.
Aisyah merasa heran, kenapa emaknya
bisa bicara selembut itu? Emak sudah dikhianati, tapi Emak masih mau membela Bapak yang
jelas-jelas ingin menceraikan Emak.
“Mak, Emak terlalu baik sama Bapak. Aisyah
dengar sendiri, Bapak mau kawin lagi, dan Bapak mau menceraikan Emak. Tadi
Aisyah dengar dengan telinga sendiri, Mak. Kenapa Emak membiarkan Bapak berlaku
seperti itu?” Aisyah menegaskan.
“Nak, dengar, ya … nanti pun kamu
akan mengerti mengapa bapakmu bisa berbuat seperti itu. Saat ini mungkin kamu marah. Emak sangat mengerti itu. Ini ujian
buat kita. Sabar, ya, Nak,” pinta Emak kepada Aisyah dengan nada memelas. Aisyah sungguh sangat tidak
paham dengan perkataan emaknya.
“Mak, Aisyah ingin tahu sekarang,
kenapa Bapak sampai tega berbuat seperti itu? Jelaskan sekarang juga, Mak, enggak usah nanti, mungkin Aisyah bisa mengerti kalau Emak jelaskan,” ucap Aisyah.
Sutinah menghela napas dalam-dalam.
Sejenak dia termenung. Matanya menatap dalam kepada Aisyah. Tak tega untuk
menceritakan yang sebenarnya. Namun, apa boleh buat, demi permintaan Aisyah,
akhirnya sutinah pun memeutuskan untuk menceritakan masalah yang sesungguhnya
terjadi.
“Nak, kamu tahu kan, kita hidup serba kekurangan? Sudah sebesar ini Emak masih belum sanggup
menyekolahkanmu. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan saja, kadang kita makan nasi, kadang enggak. Seandainya Emak kuat, kamu enggak usah terlalu capek
bekerja. Malangnya emakmu ini, penyakitnya enggak kunjung sembuh. Apalagi,
keperluan adikmu. Untuk membeli susu, Emak harus pinjam uang sana-sini. ASI Emak
kan, enggak keluar, Nak. Malu rasanya.” Sejenak sutinah terisak.
“Dan kamu tahu sendiri, kan, bapakmu kerjanya cuma tiduran
saja? Nyangkul di sawah enggak bisa,
berkebun juga enggak bisa. Sangat berbeda dengan Abah. Tapi,
bapakmu harus menghasilkan uang demi kebutuhan hidup kita. Makanya, Bapak pun pinjam
sana-sini untuk mencukupi kebutuhan kita,” lanjut Sutinah.
“Sekarang bapakmu terlilit utang
banyak sekali. Utang itu untuk biaya Emak lahiran,
biaya urus jenazah Abah, belum lagi untuk makan kita
sehari-hari. Kasihan bapakmu, Nak, jangan kau hardik seperti itu. Sudah terlalu berat beban yang ia pikul,” ucap Sutinah lembut, berharap Aisyah dapat mengerti.
“Iya Mak. Aisyah paham itu. Tapi kenapa Bapak harus kawin lagi? Kenapa Bapak
mau menceraikan Emak? Berarti, Bapak mau pergi dari rumah ini ya, Mak?” tanya
Aisyah polos, membuat Sutinah harus menjelaskan semuanya.
“Selama ini ….” Sutinah terhenti
sejenak, dan kembali terisak.
“Selama ini kenapa, Mak?” Aisyah
semakin penasaran.
“Selama ini, seluruh utang-utang bapakmu, Bu Berta yang menanggungnya. Tapi … tapi ….” Sutinah tak kuasa
menahan tangis.
“Tapi kenapa, Mak? Ayo, teruskan. Tapi kenapa dengan Bu Berta?” Aisyah memaksa Sutinah
untuk mejelaskan semuanya.
“Bu Berta … Bu Berta minta bapakmu
menjadi suaminya. Kamu tahu, kan, siapa Bu Berta? Dia orang terkaya di kampung kita. Dia bisa beli apa saja, termasuk
juga membeli bapakmu,” jelas Sutinah.
“Hah? Bu Berta membeli Bapak?” Mulut Aisyah ternganga lebar.
Ada rasa sesal pada diri Sutinah karena sudah menceritakan semuanya kepada Aisyah. Ia sadar,
tak seharusnya Aisyah mengetahui permasalahan orang tua. Ia masih bocah lugu yang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan.
Begitulah nasib Aisyah, selalu ditimpa prahara keluarga bertubi-tubi. Dia semakin bingung
harus berbuat apa. Namun, dengar berbekal nasihat-nasihat dari emaknya, Aisyah dapat menerima takdir yang menimpa dirinya. Kasih seorang
ibu lebih dari segala-galanya. Aisyah merasa cukup bahagia mendapat nasihat kehidupan
dari emaknya. Bagi Aisyah, Emak adalah sumber dari segala sumber kebahagian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar