Jumat, 03 Juli 2020

Romantika Aisyah 9



 

Dalam pelariannya, Dimas tak menentu bertempat tinggal. Dengan uang curiannya, dia bisa pergi ke mana saja. Dia pun sempat singgah ke rumah sakit jiwa, tempat Sutinah dirawat. Baru saat itu Sutinah dijenguk Dimas. Sehari setelah Dimas kabur dari rumah Berta, Dimas langsung menuju kota Bandung, Kota tempat istrinya dirawat di rumah sakit jiwa.

 Sutinah bisa dirawat di rumah sakit itu atas inisiatif warga kampung Sukamiskin. Akhirnya, Sutinah mendapat perhatian dari pemerintah daerah sehingga seluruh akomodasi perawatan ditanggung pemerintah desa setempat.

Dimas menemui Sutinah di rumah sakit jiwa. Sudah sejak lama Dimas ingin menemui istrinya. Namun, baru sekarang keinginannya terlaksana. Sungguh, pertemuan yang sangat mengharukan.

“Bapak tunggu dulu di sini, ya. Nanti Bu Sutinah saya bawa kemari,” kata perawat di rumah sakit jiwa. Dimas pun mengikuti perintah perawat itu.

“Baik, suster, tapi … sebelumnya saya mau tanya dulu,ujar Dimas cemas.

“Ya, Pak. Kenapa?”

“Apakah istri saya baik-baik saja? Apakah dia akan mengenali saya?”

“Setahu saya Bu Sutinah baik-baik saja. Malah, dia itu pasien terbaik di antara pasien yang lainnya. Dia pasien yang paling rajin mandi. Makanya, walaupun dia sakit ingatan, tapi badannya tetap bersih dan wangi,” jelas perawat.

“Apakah dia sering ngamuk, seperti pasien yang saya lihat tadi, Sus?” tanya Dimas penasaran.

“He he he, kelihatannya Bapak begitu mengkhawatirkan istri Bapak. Ke mana saja Bapak selama ini? Kasihan, lo, Pak. Baru kali ini Bu Sutinah ada yang menjenguk. Sebelumnya enggak pernah ada yang menjenguk. Sebenarnya, kehadiran orang-orang terdekat akan membantu pemulihan si pasien,” kata perawat.

“Ah, sudahlah, suster! Jawab saja pertanyaan saya! Enggak usah ceramahi saya, saya tak punya banyak waktu,” ucap Dimas agak merongos kepada suster itu. Melihat reaksi Dimas seperti itu, perawat pun merasa risih dan menyudahi ceramahnya, lalu ia bergegas menuju kamar Bu Sutinah.

“Baik, Pak. Silakan Bapak duduk di kursi ini saja,” pinta perawat itu sambil menunjukkan temapat khusus pertemuan antara pasien dengan pengunjung.

Lama Dimas duduk termenung di kursi itu. Sesekali ada pasien lewat. Dimas pun memperhatikan setiap pasien yang kebetulan lewat di hadapannya. Dalam hatinya bertanya, “Sutinah … Mungkinkah istriku seperti itu juga? Ah, tidak! Jangan! Aku tak mau istriku seperti itu.”

Selang beberapa saat, Sutinah pun datang didampingi perawat. Sutinah berjalan perlahan-lahan. Tangannya tak pernah lepas dari boneka yang ia gendong dengan kain kumal. Ia memegang erat tangan perawat. Ekspresi wajahnya selalu diselimuti dengan rasa takut.

“Saya mau dibawa ke mana, Sus?” tanya Sutinah perlahan.

“Tenang ya, Bu. Ibu enggak akan dibawa ke mana-mana. Ada orang yang mau menjenguk Ibu. Tuh, orangnya,” jawab perawat. Namun, Seketika itu Sutinah membalikkan tubuhnya, dia seperti orang yang ketakutan, dan langsung berteriak.

 “Oh, tidak! Jangan! Ampun, ampun, Kang … hu hu hu.” Sutinah berteriak ketakutan, lalu berbalik badan hendak lari.

 “Lo, kenapa, Bu? Ibu harus tenang, ya … Itu suami Ibu. Ibu jangan takut, ya, Bu. Ayo, saya temani, ya, Bu.Perawat itu berusaha menenangkan dan membujuk Sutinah. Tetapi, Sutinah meronta dengan sekuat tenaga. Dia pun berusaha untuk berlari kembali.

Melihat adegan seperti itu, Dimas bangkit dari tempat duduknya. Ia langsung memburu Sutinah. Akan tetapi, perawat yang lain menahannya.

“Maaf, Pak. Bapak duduk saja, biar kami yang menenangkan Bu Sutinah.”

Akhirnya, Dimas pun hanya terduduk malu, dia sama sekali tidak menyangka kondisi istrinya seperti itu. “Sutinah masih takut kepadaku? Kenapa? Bukannya dia sedang diobati di sini? Hmm … tapi, tak apalah. Berarti dia masih ingat kepadaku. Masih ada harapan untuk disembuhkan,” gumam Dimas dalam hati.

“Sabar ya, Pak. Kita pelan-pelan saja. Trauma yang dialami Bu Sutinah memeng cukup berat, tapi Bapak enggak usah khawatir, kita sedang berusaha untuk menyembuhkan Bu Sutinah,” ucap Dokter Dila yang menangani kasus Sutinah.

Bebrapa saat kemudian, kondisi Sutinah sudah agak tenang. Sutinah duduk dengan tatapan mata kosong. Mulutnya terus mendendangkan lagu Nina Bobo. Kadang tersenyum, kadang menangis, terkadang pula dia seolah sedang bercerita. Hanya satu nama yang ada dalam cerita itu, Aisyah.

 Keadaan seperti ini Dimas manfaatkan untuk mulai mendekati lagi sutinah, itu pun atas seizin Dokter Dila. Dengan hati-hati, Dimas mulai mendekati sutinah. Dokter Dila dan beberapa perawat yang lain turut menyaksikan dari kejauhan.

“Tinah,” sapa Dimas pelan.

Sutinah melirik dengan senyuman getir. Bibirnya bergetar, ingin mencurahkan rasa bahagia dan kecewa. Tak kuasa manahan haru, Dimas pun langsung memeluk Sutinah.

“Sutinah … maafkan aku, ya, Sayang. Aku aku tak akan memukulmu lagi. Aku ….

Tak kuasa menahan tangis, akhirnya kedua insan itu saling berpelukan. Dimas sangat menyesali perbutannya dulu kepada sutinah. Namun, jiwa Sutinah belum begitu pulih, sehingga bayangan penyiksaan Dimas kembali masuk dalam memorinya. Sutinah kembali meberontak, mendorong tubuh Dimas.

“Tidak! Jangan! Ampun ampun, Kang, ampuunn …” jerit Sutinah.

Suasana kembali kacau. dr. Dila memerintahkan para perawat untuk segera mengambil tindakan. Para perawat pun dengan sigap langsung membawa Sutinah menjauh dari Dimas. Dimas hanya berdiam diri.

“Maaf, Pak Dimas, kondisi Bu Sutinah masih seperti itu. Bapak yang sabar, ya, lain kali kita coba lagi. Saya sarankan agar Bapak bisa menjenguk istri Bapak sesering mungkin, karena hal itu dapat mempercepat penyembuhan Bu Sutinah,” papar dr. Dila.

Setelah mengobrol banyak hal dengan dr. Dila, Dimas pun segera meninggalkan rumah sakit itu. Dipandanginya terus lorong rumah sakit itu, seraya mengucap, “Tinah, sebenarnya aku enggak tega meninggalkanmu seperti ini. Aku ingin menemanimu setiap hari. Aku sangat menyesal. Sekarang aku tidak tahu harus ke mana. Kembali ke kampung rasanya tidak mungkin, karena aku selalu dibayang-bayangi peristiwa itu. Si Berta meninggal! Aku tidak mengerti, mengapa begitu mudah aku menghabisi wanita gendut itu. Apakah aku sudah membunuhnya? Ah, tidak … aku tak berniat melakukan itu. Aku sekarang bingung. Aku aku” begitu Dimas bergumam dalam hati.



***



Enam bulan sudah Sutinah dirawat di rumah sakit jiwa. Selama enam bulan itu, Dimas selalu menjenguknya sesuai anjuran dr. Dila. Pihak rumah sakit pun merekomendasikan Sutinah untuk segera dibawa pulang. Namun, keputusan itu membuat Dimas bingung. Tidak mungkin Sutinah dibawa pulang ke kampungnya, karena rumahnya sudah terbakar.

Dimas berpikir keras, bagaimana caranya membawa Sutinah keluar dari rumah sakit itu? Satu-satunya harapan adalah Bi Onah. Orang yang selama ini merawat kedua anaknya. Setelah melalui beberapa negosiasi dengan pihak rumah sakit, akhirnya Dimas bisa membawa pulang Sutinah.

“Sudah lama aku tak melihat anak-anak. Aku takut datang ke kampung itu. Kalau aku datang menemui anak-anakku, pasti warga kampung menangkapku, karena aku sebagai tertuduh peristiwa pembunuhan itu. Tapi, bagaimana dengan istriku? Kalau kuajak berkelana ke mana-mana tidak mungkin, Sutinah masih perlu perawatan. Apalagi dia tidak tahu kalau rumahnya sudah habis dilalap si jago merah,” ucap Dimas dalam hati.

Selama ini memang Dimas tidak diam di satu tempat. Hidupnya selalu berpindah pindah. Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak mengetahuinya. Dia pun mendengar bahwa polisi sedang menyelidiki kasus kematian Berta. Semua anak buah Berta pergi meninggalkan rumah itu. Mereka pun merasa ketakutan terlibat kasus meninggalnya Berta.

Kini, rumah Berta kotor tak terawat. Selama enam bulan, rumah itu hampir tak ada yang menjamah, kecuali sesekali polisi yang sedang menyelidiki kasus itu. Warga kampung Sukamiskin pun tak ada yang berani mendekat ke rumah Berta. Rumah itu nyaris seperti rumah hantu, mengerikan.

“Tinah, sekarang kita akan hidup bersama lagi, sudah lama kita tidak berkumpul dengan anak-anak,” bisik Dimas pelan kepada istrinya.

“Aisyah, Akbar, ah aku sangat rindu mereka, Kang. Aku ingin segera pulang.”

“Ya, Sayang, secepatnya kita akan meninggalkan tempat ini. Ayo, Tinah, kita berangkat sekarang,” ucap Dimas sambil menggandeng Sutinah.

“Tapi, kang, kenapa harus malam-malam seperti ini? Kenapa tidak besok pagi saja?” tanya Sutinah heran.

“Malam hari suasananya lebih indah, Sayang. Sudahlah, kamu jangan banyak pikiran dulu. Sekarang, tenangkan hatimu. Anak-anak sudah menunggu kita,” jawab Dimas meyakinkan.

Mendengar pertanyaan Sutinah seperti itu, Dimas pun bingung menjelaskan. Tidak mungkin dia menjelaskan kepada Sutinah bahwa dia sedang menjadi buronan polisi. Kalau Dimas muncul di kampung itu siang hari, pasti banyak warga kampung yang tahu. Jadi, Dimas akan datang secara sembunyi-sembunyi.

Akhirnya, Dimas memutuskan untuk membawa Sutinah ke rumah Bi Onah. Tidak ada harapan lain. Dimas nekat, apapun yang terjadi akan dia hadapi. Dengan menggunakan mobil sewaan, Dimas pun membawa pulang Sutinah ke kampung halamanya.

Waktu tempuh menuju Kampung Sukamiskin cukup lama. Selama dalam perjalanan, Sutinah tidur di pundak Dimas. Sementara itu, Dimas memeras otaknya mencari cara, bagaimana agar warga kampung tidak mengetahui kedatangannya. Dimas pun mengakali agar dia datang pada waktu dini hari, saat semua warga sedang tidur.

Mobil yang mengantar Dimas dan Sutinah pun akhirnya tiba di kampung Sukamiskin. Dimas pun mencari rumah Bi Onah. Tapi belum ketemu juga walaupun sudah beberapa kali putaran. Tidak mungkin Dimas bertanya pada warga kampung. Pasti mereka mengenalinya. Dimas pun merasa heran, kenapa kampung ini jadi berubah?

“Maaf, Pak. Kita berhenti di mana? Dari tadi muter-muter terus,” tanya sopir yang mengendarai mobil sewaan itu.

“Ya, ini saya lagi nyari-nyari jalannya. Kenapa jadi berubah jalannya? Coba berhenti di pos ronda itu. Tolong tanyakan kepada orang-orang itu, di mana rumahnya Bi Onah,” perintah Dimas kepada sopir itu.

“Lo, kok saya yang nanya? Gimana kalau orang-orang nanti curiga? Bapak kan warga kampung ini, Bapak saja yang nanya. Lagian kok aneh, kampung sendiri bisa lupa jalan pulang,” gerutu sopir itu.

“Sudah, jangan banyak tanya! Nanti bayarannya saya tambah. Awas, ya, kalau mereka nanya ini itu. Kamu bilang saja mau ngirim sayuran, atau apalah alasannya. Jangan sampai mereka mengenaliku. Ngerti, kamu?” gertak Dimas.

Untungnya, Sutinah tertidur pulas. Jadi, dia tidak tahu kejadian sebenarnya. Dimas pun merebahkan tubuh Sutinah sehingga tidak ketahuan orang dari luar mobil. Lalu, Dimas melilitkan syal ke wajahnya, terkecuali mata, karena dia ingin tahu, siapa saja yang ada di pos ronda itu. Mobil pun berhenti di depan pos ronda.

“Hmm rupanya si Mang Kuyan yang ngeronda malam ini. Waduh, Gawat! Dia itu kan orangnya ngeyel,” gumam Dimas. Dimas pun memberi isyarat kepada sopir agar dia memberi rokok dulu kepada penjaga pos itu.

“Maaf, numpang tanya. Bapak-bapak, rumah Bi Onah sebelah mana, ya?” tanya Sopir.

“Akang ini siapa, dari mana? Malam-malam mau ke rumah Bi Onah?”

“Eu anu, sa-saya mau mengantarkan saudaranya, jawab sopir gugup.

“Saudara dari mana? Mana orangnya? Maaf, ya, Kang, saya periksa dulu.”

Mendengar percakapan sopir dengan si Mang Kuyan, hati Dimas sangat cemas, dirinya khawatir ketahuan. Keringat pun mengucur deras. Sutinah ditutupi dengan jaketnya agar tidak kelihatan.

Rupanya, sopir itu cukup pintar dan mengerti masalah yang sedang dihadapi Dimas. Dia beralasan bahwa dia bersama saudaranya Bi Onah yang sedang sakit, makanya tidak bisa membuka wajahnya, Mang Kuyan pun percaya. Sopir itu pun memberinya rokok sebagai tanda terima kasih.

“Bi Onah sudah lama enggak tinggal di kampung ini, Kang. Sejak rumahnya kena longsor, Bi Onah pindah ke kampung lain. Kalau enggak salah, namanya kampung Sukamulya. Enggak jauh dari sini. Nanti Akang dari sini lurus saja. Di depan ada perempatan, belok kanan. Nah, kira-kira satu kilometer di situ ada warung. Akang tanyakan saja sama warga kampung itu,” jelas Mang Kuyan.

Bagai mendengar petir di siang bolong, mendengar penjelasan Mang Kuyan seperti itu. Dimas semakin cemas. Keringatnya semakin mengucur deras. Bola matanya liar seolah mencari kebenaran berita. Tapi, Dimas hanya mampu terbungkam seolah tak percaya.

Pikirannya langsung tertuju pada anak-anaknya. Bagaimana nasib anak-anaknya? Di mana mereka? Apakah Bi Onah juga mengajak mereka? Atau, mereka tinggal bersama keluarga yang lain? Begitu perasaan Dimas saat itu. Hatinya berkecamuk penuh tanya. Dimas pun memberi isyarat kepada sopir itu untuk segera pergi meninggalkan pos ronda. Sopir itu pun mengerti arti isyarat dari Dimas. Mobil pun melaju sesuai petunjuk Mang Kuyan.

“Bagaimana, Pak? Ke mana kita sekarang?” tanya sopir.

“Kita berhenti saja di masjid itu,” kata Dimas sambil menunjukkan sebuah masjid di sekitar kampung itu.

“Bapak tunggu di sini, saya mau ke masjid dulu,” kata Dimas.

“Ngapain ke Masjid, Pak? Salat Subuh masih lama, masih pukul tiga. Kenapa kita enggak langsung saja ke kampung Sukamulya?” tanya sopir.

“Sudah, kamu jangan banyak tanya. Ikuti saja perintahku. Kalau nanya-nanya terus, nanti sisa pembayarannya enggak aku bayar, nih,”ancam Dimas.

Akhirnya, sopir itu menuruti kehendak Dimas.

“Tinah, bangun, Sayang kita sudah sampai,” ucap Dimas pelan.

Tinah mengeliat dan mengucek-ngucek matanya yang masih terkantuk-kantuk.

“Ini rumah kita, Kang? Besar sekali …. Anak-anak mana?” tanya Sutinah.

“Bukan, Sayang. Ini masjid Al-Iklas. Kamu masih ingat? Ini masjid temapat kamu pengajian,” jelas Dimas.

“Lo, kok kita ke masjid, Kang? Ini sudah waktunya salat Subuh, ya?” tanya Sutinah lagi.

“Belum, Sayang. Kita istirahat saja dulu,” jawab Dimas.

Dimas pun membawa Sutinah ke dalam masjid. Belum ada siapa-siapa. Situasi seperti ini dimanfaatkan Dimas. Karena Dimas bingung menyimpan Sutinah, akhirnya terlintas dalam pikiran Dimas untuk menyimpan Sutinah di masjid. Dia berharap, warga kampung tahu akan kepulangan Sutinah dan ada yang mengurusnya. Lalu dia pergi meninggalkan Sutinah.







1 komentar:

  1. Bagus bu ceritanya, menbuat pembaca semakin penasaran untuk kelanjutan ceritanya

    BalasHapus

Jumat Berkah di SDN Karanganyar

  Masya Allah Tabarakallah, rezeki buat anak-anak soleh dan solehan siswa SDN Karanganyar. Hari ini, Jumat, 01 September 2023 ada seorang ha...