Dalam pelariannya, Dimas tak menentu bertempat tinggal. Dengan uang
curiannya, dia bisa pergi ke mana saja. Dia pun sempat singgah ke
rumah sakit jiwa, tempat Sutinah dirawat. Baru saat itu Sutinah dijenguk Dimas.
Sehari setelah Dimas kabur dari rumah Berta, Dimas langsung menuju kota Bandung,
Kota tempat istrinya dirawat di rumah sakit jiwa.
Sutinah bisa dirawat di rumah sakit itu atas
inisiatif warga kampung Sukamiskin. Akhirnya, Sutinah mendapat perhatian dari pemerintah daerah sehingga seluruh
akomodasi perawatan ditanggung pemerintah desa setempat.
Dimas menemui Sutinah di rumah sakit
jiwa. Sudah sejak lama Dimas ingin menemui istrinya. Namun, baru sekarang
keinginannya terlaksana. Sungguh, pertemuan yang sangat mengharukan.
“Bapak tunggu dulu di sini, ya. Nanti Bu Sutinah saya bawa kemari,” kata perawat di rumah sakit jiwa. Dimas pun mengikuti perintah
perawat itu.
“Baik, suster, tapi … sebelumnya
saya mau tanya dulu,” ujar Dimas cemas.
“Ya, Pak. Kenapa?”
“Apakah istri saya baik-baik saja? Apakah dia akan mengenali saya?”
“Setahu saya … Bu Sutinah baik-baik saja. Malah, dia itu pasien terbaik di antara
pasien yang lainnya. Dia pasien yang paling rajin mandi. Makanya, walaupun dia
sakit ingatan, tapi badannya tetap bersih dan wangi,” jelas perawat.
“Apakah dia sering ngamuk, seperti
pasien yang saya lihat tadi, Sus?” tanya Dimas penasaran.
“He he he, kelihatannya Bapak begitu mengkhawatirkan istri Bapak. Ke mana saja Bapak selama ini? Kasihan, lo, Pak. Baru kali ini Bu Sutinah
ada yang menjenguk. Sebelumnya enggak pernah ada yang menjenguk. Sebenarnya, kehadiran orang-orang terdekat akan membantu pemulihan si pasien,” kata perawat.
“Ah, sudahlah, suster! Jawab saja pertanyaan saya! Enggak usah ceramahi saya, saya tak punya banyak waktu,” ucap Dimas agak merongos kepada suster itu. Melihat reaksi Dimas
seperti itu, perawat pun merasa risih dan menyudahi ceramahnya, lalu ia
bergegas menuju kamar Bu Sutinah.
“Baik, Pak. Silakan Bapak duduk di kursi ini saja,” pinta perawat itu sambil menunjukkan temapat khusus pertemuan
antara pasien dengan pengunjung.
Lama Dimas duduk termenung di kursi
itu. Sesekali ada pasien lewat. Dimas pun memperhatikan setiap pasien yang kebetulan lewat di hadapannya. Dalam hatinya bertanya,
“Sutinah … Mungkinkah istriku seperti itu juga? Ah, tidak! Jangan! Aku tak mau istriku seperti itu.”
Selang beberapa saat, Sutinah pun
datang didampingi perawat. Sutinah berjalan perlahan-lahan. Tangannya tak pernah lepas dari boneka yang ia gendong
dengan kain kumal. Ia memegang erat tangan perawat. Ekspresi wajahnya selalu
diselimuti dengan rasa takut.
“Saya mau dibawa ke mana, Sus?” tanya Sutinah perlahan.
“Tenang ya, Bu. Ibu enggak akan dibawa ke mana-mana. Ada orang yang mau menjenguk Ibu. Tuh, orangnya,” jawab perawat. Namun, Seketika itu Sutinah membalikkan tubuhnya,
dia seperti orang yang ketakutan, dan langsung berteriak.
“Oh, tidak! Jangan!
Ampun, ampun, Kang … hu hu hu.” Sutinah berteriak ketakutan, lalu berbalik
badan hendak lari.
“Lo, kenapa, Bu? Ibu harus tenang, ya … Itu suami Ibu. Ibu jangan takut, ya, Bu.
Ayo, saya temani, ya, Bu.” Perawat itu berusaha menenangkan dan membujuk Sutinah. Tetapi, Sutinah meronta dengan sekuat tenaga. Dia pun berusaha untuk berlari
kembali.
Melihat adegan seperti itu, Dimas
bangkit dari tempat duduknya. Ia langsung memburu
Sutinah. Akan tetapi, perawat yang
lain menahannya.
“Maaf, Pak. Bapak duduk saja, biar kami yang menenangkan Bu Sutinah.”
Akhirnya, Dimas pun hanya terduduk malu, dia sama sekali tidak menyangka
kondisi istrinya seperti itu. “Sutinah masih takut kepadaku? Kenapa? Bukannya dia sedang diobati di sini? Hmm … tapi, tak apalah. Berarti dia masih ingat kepadaku. Masih
ada harapan untuk disembuhkan,” gumam Dimas dalam hati.
“Sabar ya, Pak. Kita pelan-pelan
saja. Trauma yang dialami Bu Sutinah memeng cukup berat, tapi Bapak enggak usah
khawatir, kita sedang berusaha untuk menyembuhkan Bu Sutinah,” ucap Dokter Dila
yang menangani kasus Sutinah.
Bebrapa saat kemudian, kondisi
Sutinah sudah agak tenang. Sutinah duduk dengan tatapan mata kosong. Mulutnya
terus mendendangkan lagu Nina Bobo.
Kadang tersenyum, kadang menangis, terkadang pula dia seolah sedang bercerita.
Hanya satu nama yang ada dalam cerita itu, Aisyah.
Keadaan seperti ini Dimas manfaatkan untuk
mulai mendekati lagi sutinah, itu pun atas seizin Dokter Dila. Dengan hati-hati, Dimas mulai mendekati sutinah. Dokter Dila dan beberapa perawat yang lain turut menyaksikan dari
kejauhan.
“Tinah,” sapa Dimas pelan.
Sutinah melirik dengan senyuman
getir. Bibirnya bergetar, ingin mencurahkan rasa bahagia dan kecewa. Tak kuasa
manahan haru, Dimas pun langsung memeluk Sutinah.
“Sutinah … maafkan aku, ya, Sayang. Aku … aku tak akan memukulmu lagi. Aku ….”
Tak kuasa menahan tangis, akhirnya
kedua insan itu saling berpelukan. Dimas sangat menyesali perbutannya dulu
kepada sutinah. Namun, jiwa Sutinah belum begitu pulih, sehingga bayangan
penyiksaan Dimas kembali masuk dalam memorinya. Sutinah kembali meberontak,
mendorong tubuh Dimas.
“Tidak! Jangan! Ampun … ampun, Kang, ampuunn …” jerit Sutinah.
Suasana kembali kacau. dr. Dila memerintahkan para perawat untuk segera mengambil
tindakan. Para perawat pun dengan sigap langsung membawa Sutinah menjauh dari
Dimas. Dimas hanya berdiam diri.
“Maaf, Pak Dimas, kondisi Bu Sutinah
masih seperti itu. Bapak yang sabar, ya, lain kali
kita coba lagi. Saya sarankan agar Bapak bisa menjenguk istri Bapak sesering
mungkin, karena hal itu dapat mempercepat penyembuhan Bu Sutinah,” papar dr. Dila.
Setelah mengobrol banyak hal dengan dr. Dila, Dimas pun segera meninggalkan
rumah sakit itu. Dipandanginya terus lorong rumah sakit itu, seraya mengucap, “Tinah, sebenarnya aku enggak tega
meninggalkanmu seperti ini. Aku ingin menemanimu setiap hari. Aku sangat
menyesal. Sekarang aku tidak tahu harus ke mana. Kembali ke kampung rasanya tidak mungkin, karena aku selalu
dibayang-bayangi peristiwa itu. Si Berta meninggal! Aku tidak mengerti, mengapa begitu mudah aku
menghabisi wanita gendut itu. Apakah aku sudah membunuhnya? Ah, tidak … aku tak
berniat melakukan itu. Aku sekarang bingung. Aku … aku …” begitu Dimas bergumam dalam hati.
***
Enam bulan sudah Sutinah dirawat di rumah sakit jiwa. Selama enam
bulan itu, Dimas selalu menjenguknya sesuai anjuran dr. Dila. Pihak rumah sakit
pun merekomendasikan Sutinah untuk segera dibawa pulang. Namun, keputusan itu
membuat Dimas bingung. Tidak mungkin Sutinah dibawa pulang ke kampungnya,
karena rumahnya sudah terbakar.
Dimas berpikir keras, bagaimana
caranya membawa Sutinah keluar dari rumah sakit itu? Satu-satunya harapan adalah Bi Onah. Orang yang selama ini merawat
kedua anaknya. Setelah melalui beberapa negosiasi dengan pihak rumah sakit,
akhirnya Dimas bisa membawa pulang Sutinah.
“Sudah lama aku tak melihat
anak-anak. Aku takut datang ke kampung itu. Kalau aku datang menemui anak-anakku, pasti warga kampung
menangkapku, karena aku sebagai tertuduh peristiwa pembunuhan itu. Tapi,
bagaimana dengan istriku? Kalau kuajak berkelana ke mana-mana tidak mungkin, Sutinah masih perlu perawatan. Apalagi dia
tidak tahu kalau rumahnya sudah habis dilalap si jago merah,” ucap Dimas dalam hati.
Selama ini memang Dimas tidak diam
di satu tempat. Hidupnya selalu berpindah pindah. Hal itu dilakukan agar
masyarakat tidak mengetahuinya. Dia pun mendengar bahwa polisi sedang
menyelidiki kasus kematian Berta. Semua anak buah Berta pergi meninggalkan
rumah itu. Mereka pun merasa ketakutan terlibat kasus meninggalnya Berta.
Kini, rumah Berta kotor tak terawat.
Selama enam bulan, rumah itu hampir tak ada yang
menjamah, kecuali sesekali polisi yang sedang menyelidiki kasus itu. Warga
kampung Sukamiskin pun tak ada yang berani mendekat ke rumah Berta. Rumah itu
nyaris seperti rumah hantu, mengerikan.
“Tinah, sekarang kita akan hidup
bersama lagi, sudah lama kita tidak berkumpul dengan anak-anak,” bisik Dimas pelan kepada istrinya.
“Aisyah, Akbar, ah … aku sangat rindu mereka, Kang. Aku
ingin segera pulang.”
“Ya, Sayang, secepatnya kita akan meninggalkan
tempat ini. Ayo, Tinah, kita berangkat sekarang,” ucap Dimas sambil menggandeng Sutinah.
“Tapi, kang, kenapa harus malam-malam seperti ini? Kenapa tidak besok pagi saja?” tanya
Sutinah heran.
“Malam hari suasananya lebih indah, Sayang. Sudahlah, kamu jangan banyak pikiran dulu. Sekarang, tenangkan hatimu. Anak-anak sudah menunggu kita,” jawab Dimas meyakinkan.
Mendengar pertanyaan Sutinah seperti
itu, Dimas pun bingung menjelaskan.
Tidak mungkin dia menjelaskan kepada Sutinah bahwa dia sedang menjadi buronan
polisi. Kalau Dimas muncul di kampung itu siang hari, pasti banyak warga
kampung yang tahu. Jadi, Dimas akan datang secara sembunyi-sembunyi.
Akhirnya, Dimas memutuskan untuk membawa Sutinah ke rumah Bi Onah. Tidak ada harapan lain. Dimas nekat, apapun yang terjadi akan dia hadapi. Dengan menggunakan mobil sewaan, Dimas pun membawa pulang Sutinah ke kampung
halamanya.
Waktu tempuh menuju Kampung
Sukamiskin cukup lama. Selama dalam perjalanan, Sutinah tidur di pundak Dimas.
Sementara itu, Dimas memeras otaknya mencari cara,
bagaimana agar warga kampung tidak mengetahui kedatangannya. Dimas pun
mengakali agar dia datang pada waktu dini hari, saat semua warga sedang tidur.
Mobil yang mengantar Dimas dan
Sutinah pun akhirnya tiba di kampung Sukamiskin. Dimas pun mencari rumah Bi
Onah. Tapi belum ketemu juga walaupun sudah beberapa kali putaran. Tidak
mungkin Dimas bertanya pada warga kampung. Pasti mereka mengenalinya. Dimas pun
merasa heran, kenapa kampung ini jadi berubah?
“Maaf, Pak. Kita berhenti di mana? Dari tadi muter-muter terus,” tanya sopir yang mengendarai mobil sewaan itu.
“Ya, ini saya lagi nyari-nyari
jalannya. Kenapa jadi berubah
jalannya? Coba berhenti di pos ronda itu.
Tolong tanyakan kepada orang-orang itu, di mana rumahnya Bi Onah,” perintah
Dimas kepada sopir itu.
“Lo, kok saya yang nanya? Gimana kalau orang-orang nanti curiga? Bapak kan warga kampung ini, Bapak saja yang
nanya. Lagian kok aneh, kampung sendiri bisa lupa jalan
pulang,” gerutu sopir itu.
“Sudah, jangan banyak tanya! Nanti bayarannya
saya tambah. Awas, ya, kalau mereka nanya ini itu. Kamu bilang saja mau ngirim sayuran, atau apalah alasannya. Jangan
sampai mereka mengenaliku. Ngerti, kamu?” gertak Dimas.
Untungnya, Sutinah tertidur pulas. Jadi, dia tidak tahu kejadian sebenarnya.
Dimas pun merebahkan tubuh Sutinah sehingga tidak ketahuan orang dari luar
mobil. Lalu, Dimas melilitkan syal ke wajahnya,
terkecuali mata, karena dia ingin tahu, siapa saja yang ada di pos ronda itu. Mobil
pun berhenti di depan pos ronda.
“Hmm … rupanya si Mang Kuyan yang ngeronda malam ini. Waduh, Gawat! Dia itu kan orangnya ngeyel,” gumam Dimas. Dimas pun memberi isyarat kepada sopir agar dia memberi rokok dulu kepada penjaga pos itu.
“Maaf, numpang tanya. Bapak-bapak, rumah Bi Onah sebelah
mana, ya?” tanya Sopir.
“Akang ini siapa, dari mana?
Malam-malam mau ke rumah Bi Onah?”
“Eu … anu, sa-saya mau mengantarkan saudaranya,” jawab sopir gugup.
“Saudara dari mana? Mana orangnya? Maaf, ya, Kang, saya periksa dulu.”
Mendengar percakapan sopir dengan si
Mang Kuyan, hati Dimas sangat cemas, dirinya khawatir ketahuan. Keringat pun
mengucur deras. Sutinah ditutupi dengan jaketnya agar tidak kelihatan.
Rupanya, sopir itu cukup pintar dan
mengerti masalah yang sedang dihadapi Dimas. Dia beralasan bahwa dia bersama
saudaranya Bi Onah yang sedang sakit, makanya tidak bisa membuka wajahnya, Mang
Kuyan pun percaya. Sopir itu pun memberinya rokok sebagai tanda terima kasih.
“Bi Onah sudah lama enggak tinggal di kampung ini, Kang. Sejak rumahnya kena longsor, Bi Onah
pindah ke kampung lain. Kalau enggak salah, namanya kampung Sukamulya. Enggak
jauh dari sini. Nanti Akang dari sini lurus saja. Di depan ada perempatan, belok kanan. Nah, kira-kira satu kilometer di situ ada warung. Akang tanyakan saja sama warga
kampung itu,” jelas Mang Kuyan.
Bagai mendengar petir di siang bolong, mendengar
penjelasan Mang Kuyan seperti itu. Dimas semakin cemas. Keringatnya semakin
mengucur deras. Bola matanya liar seolah mencari kebenaran berita. Tapi, Dimas hanya mampu terbungkam seolah tak percaya.
Pikirannya langsung tertuju pada
anak-anaknya. Bagaimana nasib anak-anaknya? Di mana mereka? Apakah Bi Onah juga mengajak mereka? Atau, mereka tinggal bersama keluarga yang lain? Begitu perasaan Dimas
saat itu. Hatinya berkecamuk penuh tanya. Dimas pun memberi isyarat kepada sopir
itu untuk segera pergi meninggalkan pos ronda. Sopir itu pun mengerti arti
isyarat dari Dimas. Mobil pun melaju sesuai petunjuk Mang Kuyan.
“Bagaimana, Pak? Ke mana kita sekarang?” tanya sopir.
“Kita berhenti saja di masjid itu,” kata Dimas sambil menunjukkan sebuah masjid di sekitar kampung
itu.
“Bapak tunggu di sini, saya mau ke masjid
dulu,” kata Dimas.
“Ngapain ke Masjid, Pak? Salat Subuh masih lama, masih pukul
tiga. Kenapa kita enggak langsung saja ke kampung
Sukamulya?” tanya sopir.
“Sudah, kamu jangan banyak tanya. Ikuti saja perintahku. Kalau
nanya-nanya terus, nanti sisa pembayarannya enggak aku bayar, nih,”ancam Dimas.
Akhirnya, sopir itu menuruti kehendak Dimas.
“Tinah, bangun, Sayang … kita sudah sampai,” ucap Dimas pelan.
Tinah mengeliat dan mengucek-ngucek matanya yang masih
terkantuk-kantuk.
“Ini rumah kita, Kang? Besar sekali …. Anak-anak mana?” tanya Sutinah.
“Bukan, Sayang. Ini masjid Al-Iklas.
Kamu masih ingat? Ini masjid temapat kamu pengajian,” jelas Dimas.
“Lo, kok kita ke masjid, Kang? Ini sudah waktunya salat Subuh, ya?” tanya Sutinah lagi.
“Belum, Sayang. Kita istirahat saja dulu,” jawab Dimas.
Dimas pun membawa Sutinah ke dalam masjid.
Belum ada siapa-siapa. Situasi seperti ini dimanfaatkan Dimas. Karena Dimas bingung menyimpan Sutinah, akhirnya terlintas
dalam pikiran Dimas untuk menyimpan Sutinah di masjid. Dia berharap, warga
kampung tahu akan kepulangan Sutinah dan ada yang mengurusnya. Lalu dia pergi
meninggalkan Sutinah.
Bagus bu ceritanya, menbuat pembaca semakin penasaran untuk kelanjutan ceritanya
BalasHapus