“Aisyah, bangun. Kita sudah sampai,” bisik Dimas pada Aisyah.
Aisyah terbangun dari tidurnya. Cukup lama dia tenggelam dalam tidurnya, hingga tak terasa sudah
tiba di tempat tujuan. Aisyah pun turun dari mobil. Dengan langkah gontai, Aisyah mengikuti langkah bapaknya masuk ke rumah yang mentereng.
Rasa kantuk pun hilang seketika.
“Rumah siapa ini, Pak? Bagus banget,” tanya Aisyah penuh rasa takjub.
“Ini rumah Tante Meyda. Bapak tinggal di sini juga. Mulai sekarang, kamu akan tinggal di sini. Giman? Mau, kan? Ayo kita masuk,” ajak Dimas.
Aisyah tidak banyak bertanya. Rasa
kantuknya kembali menyerang. Aisyah hanya mengikuti perintah bapaknya. Dengan
langkah ragu-ragu, dia masuk ke rumah bertingkat itu.
Aisyah memandangi keadaan sekeliling rumah. Dibukanya sandal yang sejak tadi
melekat pada telapak kaki Aisyah.
“Pakai saja sandalnya,” kata Dimas.
“Enggak, Pak. Sandalnya kotor, Aisyah malu.” Aisyah pun berbisik.
Tante Meyda langsung masuk ke kamarnya. Tak ada percakapan malam itu. Perjalanan pulang pergi dari Jakarta ke Kampung Sukamiskin begitu
melelahkan. Dimas duduk berdua di teras bersama Aisyah.
“Kita duduk dulu di sini, ya. Ada yang ingin Bapak ceritakan sama kamu,” kata Dimas.
“Aisyah, Bapak rasa kamu bisa mengerti, mengapa kamu dibawa ke sini. Ya, memang sudah waktunya kamu harus tinggal di
sini. Maafkan Bapak selama ini tidak pernah menjenguk kamu di kampung. Bapak
takut ketahuan orang-orang karena Bu Berta meninggal setelah dipukul Bapak, padahal Bapak tidak berniat untuk
membunuhnya. Tapi, sepertinya Bapaklah yang menjadi tersangka kematian Bu
Berta.”
“Selama ini Bapak menghindari ketemu
dengan orang-orang yang mengenal Bapak, makanya Bapak pergi jauh dari kampung
kita. Aisyah mengerti, kan?”
“Setelah mengantarkan emakmu pulang dari rumah sakit jiwa, Bapak merantau ke Jakarta, hingga akhirnya ketemu dengan Tante Meyda. Bapak bekerja di kantornya, bahkan bapak diangkat
menjadi manajer di kantor Tante Meyda. Rumah, mobil, dan semua yang ada di rumah ini adalah
fasilitas dari kantor untuk Bapak.”
“Aisyah, sudah lama kamu hidup
menderita. Sekarang, kekayaan nampak
di depan mata. Aisyah, maafkan Bapak kalau harus menghianati emakmu, tidak ada jalan lain. Cara ini
harus Bapak tempuh. Ini juga demi kita, Aisyah.”
“Maksud Bapak ‘mengkhianati Emak’? Aisyah enggak ngerti.”
“Ya, semua ini akan menjadi milik Bapak kalau … ka … kalau Bapak menikahi Tante Meyda.” Sesaat Dimas terhenti bicara. “Dia sangat mencintai Bapak,” lanjutnya kemudian.
“Bapak juga mencintai Tante Meyda?
Perempuan sipit itu?” tanya Aisyah heran.
“Sssst … jangan keras-keras, nanti kedengaran Tante Meyda,” ucap Dimas sambil menempelkan jarinya ke bibir Aisyah.
“Hmm … entahlah. Bapak besok akan menikah dengan Tante Meyda. Bapak harap, kamu mengerti, ya. Aisyah, semua ini Bapak lakukan demi masa depan kamu, emakmu, juga adikmu. Kamu harus tahu itu,” ucap Dimas perlahan.
Mendengar penjelasan bapaknya
seperti itu, Aisyah hanya bisa pasrah. Dia tidak mengerti apa rencana bapaknya.
Yang ada dalam pikirannya saat itu adalah emak dan adiknya. Bagaimana nasib
mereka sekarang?
“Pak, apakah Emak tahu kalau Bapak
mau menikah lagi?” tanya Aisyah.
“Diusahakan jangan sampai tahu. Makanya, emak dan adikmu tidak dibawa kemari.
Nanti kalau sudah waktunya, Bapak akan membawa emak sama adikmu
juga ke Jakarta. Kita akan berkumpul lagi bersama. Sekarang, kamu nurut saja
perintah Bapak. Paham, kan, Aisyah?” ucap Dimas sambil memegang bahu Aisyah.
***
Seminggu sudah Aisyah tinggal bersama bapaknya dan Tante Meyda.
Kini Tante Meyda sudah resmi menjadi istri Dimas. Pernikahan yang dilakukan
secara sederhana telah mengikat hubungan asamara antara Dimas dengan Meyda.
Ikatan tali kasih mereka tidak murni berdasarkan cinta yang tulus.
Dimas sebenarnya tidak mencintai
Meyda. Tetapi karena Dimas mendapatkan
fasilitas kehidupan yang mewah, akhirnya Dimas rela mengorbankan perasaanya
demi kehidupan yang layak. Untuk menghilangkan jejak dirinya, dia mengganti
namanya menjadi Joni. Dengan mengganti namanya, dia lebih leluasa bergerak tanpa
merasa takut dicurigai sebagai seorang buronan.
Hidup di Jakarta ternyata tidak
seindah yang dibayangkan Aisyah. Apa yang dibayangkannya lain dari kenyataan.
Perlakuan Tante Meyda kepada Aisyah diluar dugaan Aisyah. Perempuan keturunan Cina itu memperlakukan Aisyah seperti seorang pembantu. Di hadapan
Dimas, Tante Meyda berlagak baik pada Aisyah. Tapi, jika Dimas sedang tidak ada di
rumah, perangainya seperti harimau yang siap
menerkam mangsanya.
“Aisyah! Berani benar kamu makan di meja itu, hah! Tempatmu
bukan di situ! Sana! Kamu makan di dapur saja sama si Bibi,” hardik Meyda. Aisyah terperanjat, dia tidak tahu jika tiba-tiba Tante Meyda pulang dari kantor tanpa
bapaknya.
“Maaf, Bu … Aisyah lupa. Aisyah
lapar sekali. Sejak pagi Aisyah belum makan,” ucap Aisyah gemetaran karena rasa
takut pada Tante Meyda.
“Hey! Ba bu ba bu, enak saja kamu
panggil aku Ibu. Memangnya kamu anakku? Ih, ogah banget aku punya anak kampungan
sepertimu. Sudah kubilang, jangan panggil aku ibu. Kalau bapakmu tidak ada, panggil saja tante. Ngerti kamu?” Meyda
menegaskan.
“I-iya, Tante. Maaf,” ucap Aisyah lirih. Aisyah pun
pergi ke dapur untuk melanjutkan makannya. Di dapur, nampak Bi Elis tersenyum sinis menyaksikan
Aisyah dihardik oleh majikannya.
“Huh … rasain lo, suruh siapa kamu
makan di meja itu? Memangnya kamu siapa? Bikin susah aja.
Hey, Aisyah, dengar, ya. Sejak ada kamu di rumah ini, kerjaan Bibi tuh jadi nambah. Cucian baju jadi nambah … cucian piring jadi
banyak. Sebel aku,” ucap perempuan judes itu.
Malang nasib Aisyah. Setelah dihardik oleh ibu tirinya, sekarang malah dilecehkan oleh
pembantu. Tak ada seorang pun yang dapat dijadikan tempat berlindung. Aisyah
harus menaggung derita ini sendiri.
“Ya Allah, kuatkan hati hamba-Mu
yang lemah ini. Aisyah tak ingin membuat beban
orang-orang yang di sini. Aisyah hanya menuruti keinginan Bapak
saja. Salahkah aku jika turut menikmati
fasilitas yang ada di rumah ini? Kenapa mereka begitu jahat padaku? Ya Allah,
aku harus bagaimana?” Aisyah berdoa dalam hatinya, sambil terisak. Ya, hanya
itu yang dapat Aisyah lakukan.
“Hey! Malah bengong. Ayo, cepat cuci piring itu!” perintah Bi Elis, pembantu rumah tangga Meyda yang selalu
berdandan menor.
“I-iya, Bi. Aisyah cuci
piring-piring itu,” jawab Aisyah degan rasa takut.
Begitulah perlakuan Tante Meyda dan Bi Elis kepada Aisyah. Meyda merasa iri pada Aisyah,
karena merasa kasih sayang Dimas terbagi dua dengan Aisyah. Akhirnya, Meyda pun memperlakukan Aisyah dengan kasar. Tak ada belai kasih
seorang ibu. Yang ada hanyalah kata-kata kasar dan perintah ini itu.
Karena Aisyah sudah terbiasa bekerja
di kampung, pekerjaan yang diperintahkan oleh Tante Meyda dan Bi Elis dapat dia selesaikan dengan baik. Aisyah
tidak berani memberitahukan perlakuan mereka kepada bapaknya, karena mereka
mengancam akan memukul Aisyah kalau sampai Dimas tahu.
Namun, sebaik apa pun pekerjaan
Aisyah, tetap saja Aisyah kena pukul. Ada saja alasan untuk memukul Aisyah.
Hingga akhirnya, luka lebam bekas
pukulan Tante Meyda tak dapat lagi disembunyikan
Aisyah.
Suatu ketika, di saat sore hari, Dimas sedang asyik berbincang dengan Tante Meyda. Mereka duduk di
kursi sofa berwarna merah tua. Meyda meletakkan kakinya di pangkuan Dimas, dan seperti
biasanya Dimas selalu memijat kaki Meyda. Sementara itu, Aisyah asyik mengerjakan PR-nya. Suasana sepertinya nyaman-nyaman saja, padahal melihat situasi seperti itu, hati Aisyah bergejolak.
Sesekali Aisyah melirik bapaknya dan ibu tirinya. Aisyah tidak suka dengan adegan seperti itu. “Ih! Bapak, sampai sebegitunya mengikuti keinginan Tante Meyda. Harusnya,
kan, Bapak yang dipijat, bukan perempuan galak itu. Kan, yang capek kerja itu Bapak,” gerutu Aisyah dalam hati.
“Joni, setelah kita menikah, rasanya
kita belum pergi bulan madu. Hmm … bagaimana kalau minggu depan kita pergi bulan madu ke luar negeri?” ucap Meyda menggoda. “Bisnis kita bulan ini kan cukup lumayan. Aku
lihat tabunganmu di rekening juga banyak. Tapi, tenang aja, aku enggak akan
pake uang kamu, kok. Semuanya biar aku yang nanggung. Gimana, Jon?” goda Meyda kemudian.
“Ya, terserah kamu saja, lah, yang penting kamu senang.”
“Lo, kok, cuma aku yang senang? Kita berdua harus senang, dong, Joni.”
“Aisyah, minggu depan Bapak sama Ibu mau pergi ke luar negeri. Enggak lama, paling seminggu. Kamu baik-baik di rumah sama Bi Elis, ya,” ucap Dimas pada Aisyah. Namun,
Aisyah tidak segera menjawab. Dia sedang asyik membaca buku
pelajaran sekolah. Karena tidak ada jawaban dari Aisyah, Dimas pun akhirnya
menoleh ke arah Aisyah. Terlihat ada luka lebam-lebam di tangannya.
“Kenapa tanganmu, Nak?” tanya Dimas heran. Karena kaget melihat luka lebam di tangan
Aisyah, Dimas langsung menghampiri Aisyah. Kaki Meyda pun disingkirkannya. Lalu,
tangan Aisyah diperiksanya. “Ya ampun, kenapa kamu enggak bilang ke Bapak kalau
tanganmu luka begini, Aisyah? Ini kenapa?” tanya Dimas kemudian.
Aisyah tidak segera menjawab. Dia
hanya menggelengkan kepalanya. Aisyah pun langsung melihat ekspresi Tante Meyda. Tante Meyda mengedipka matanya sebagai isyarat, agar Aisyah tidak
menceritakan kejadian yang sebenarnya.
“Enggak apa-apa, Pak. Ta-tadi Aisyah kepeleset di kamar mandi,” ucap Aisyah berbohong.
“Ini lukanya sudah lama. Mey …
kenapa kamu enggak perhatikan Aisyah? Bukannya kamu sudah janji mau mengurus Aisyah?” tanya Dimas kepada Meyda.
“Kenapa, Sayang? Kamu jatuh di mana?
Aduh, maaf Joni, aku kan juga sibuk di luar, jadi enggak sempet ngurusin Aisyah. Kan, ada Bi Elis. Sini, Sayang, Ibu obatin, ya. Ah … ini enggak apa-apa, cuma lebam dikit aja, kok,” jawab Meyda sambil berlagak sok perhatian pada Aisyah.
Tanpa sepengetahuan Dimas, Meyda
memberi isyarat ancaman kepada Aisyah agar tidak menceritakan hal yang
sebenarnya. Dikedipkan matanya sambil melotot. Aisyah mengerti apa maksud dari
isyarat yang dilakukan oleh perempuan jahat itu.
Hidup Aisyah sangat tertekan. Walaupun tinggal di rumah mewah dan
fasilitas serba ada, perasaannya terancam oleh kekejaman ibu tirinya. Aisyah
harus menjalani lika-liku kehidupan ini penuh dengan duka
nestapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar