Jumat, 03 Juli 2020

Romantika Aisyah 10




 

Pagi itu warga kampung Sukamiskin digegerkan dengan berita kepulangan Sutinah. Kabar itu berawal dari Pak Ustaz Saeful yang mengabarkan kepada warga bahwa Sutinah ada di masjid Al-Iklas. Hampir semua warga kampung itu datang ke masjid Al-Iklas.

Berita kepulangan Sutinah pun sampai ke telinga Aisyah. Ia berada di antara percaya dan tidak mendengar orang-orang bergunjing tentang kepulangan emaknya. Tanpa berpikir panjang lagi, Aisyah berlari tunggang-langgang menuju masjid. Terbelalak mata Aisyah melihat emaknya benar-benar ada di masjid.

Tanpa ragu lagi, Aisyah langsung menghampiri emaknya dan berteriak, “Emaak!”

Sutinah dan Aisyah berpelukan saling melepas kerinduan. Pertemuan antara ibu dan anak itu membuat haru semua orang yang ada di situ. Tangisan bahagia saling tercurah Sutinah dan Aisyah. Sunggu tragedi yang memilukan.

“Emak, Emak pulang sama siapa? Emak sehat? Kenapa Emak ada di sini?” tanya Aisyah bertubi-tubi.

“Alhamdulillah, Emak sehat. Emak pulang bersama Bapak, Nak,” jawab Sutinah.

“Bapak? Sekarang Bapak mana? Dari tadi Aisyah enggak lihat Bapak,ucap Aisyah sambil melihat keadaan sekitar masjid.

“Maksud kamu, Dimas yang mengantarkanmu ke sini?” tanya Ustaz Saeful kepada Sutinah menyelidik.

“Iya, Pak Ustaz. Semalam saya dijemput suami saya dari rumah sakit, terus saya dibawa mampir ke masjid ini. Katanya, dia mau istirahat dulu sebentar. Setelah itu … saya tidak tahu ke mana suami saya. Saya kira dia ada di sini.” Sutinah menjelaskan kejadian semalam.

Hari semakin siang, warga kampung itu semakin banyak yang berdatangan. Mereka menyambut kedatangan Sutinah dengan suka cita. Namun, walaupun kegembiraan yang dirasakan, air mata selalu saja menetes menyambut kedatangan Sutinah. Mereka merasa iba dan terharu.

Mang Kuyan yang berada di antara kerumunan itu langsung memeberika pengumuman.Bapak-bapak, ibu-ibu, kita harus lebih waspada. Tadi kalian dengar sendiri, kan? Sutinah pulang diantar suaminya. Ini berarti, si Dimas sudah kembali ke kampung kita.”

Kata-kata Mang Kuyan membuat Sutinah terheran-heran.

“Mang, ada apa dengan suami saya? Kenapa warga kampung harus waspada sama suami saya? Apakah suami saya maling?” tanya Sutinah.

“Aisyah, ada apa dengan bapakmu? Kenapa, Nak? Jawab!”

Seorang pun tak ada yang berani menjawab pertanyaan Sutinah. Semuanya bungkam. Mereka hanya tertunduk, khawatir Sutinah jiwanya kembali terguncang jika diberi tahu bahwa Dimas sebenarnya sedang menjadi buronan polisi. Suasana pun mendadak hening sesaat.

Di tengah keheningan itu, datanglah rombongan dari aparat desa. Ternyata, hanya beberapa jam saja. berita tentang kepulangan Sutinah sampai ke kepala Desa Sukamiskin. Pak Zaenal sebagai kepala desa, sangat terkejut mendengar tentang sutinah.

Melihat rombongan dari desa, orang-orang pun menyingkir, mempersilakan Pak Zaenak untuk melihat Sutinah.

“Bu Sutinah? Ibu sudah pulang, Bu? Sama siapa Ibu pulang? Bu Sutinah baik-baik saja, kan?” Pak Zaenal bertanya dengan hati-hati.

“Eh, Pak Kades. Iya, Pak. Alhamdulillah saya sudah sembuh. Semalam saya pulang dijemput suami saya. Maaf, saya belum sempat mengucapkan terima kasih kepada Bapak. Berkat jasa Bapak, saya sekarang sekarang bisa berkumpul lagi dengan suami dan anak-anak,” jawab Sutinah dengan penuh senyum.

Pak Zaenal mendekati Sutinah perlahan.Bu, suami Ibu sekarang tinggal di mana?” bisik Pak Zaenal. Sutinah tidak langsung menjawab. Ia malah mengernyitkan alisnya. Diam sesaat, lalu dipandanginya kembali orang-orang yang masih berkerumun di situ. Dia tidak mengerti kenapa semua orang menanyakan Dimas.

“Maaf, bapak-bapak, ibu-ibu, jika boleh saya tahu, ada apa dengan suami saya? Apakah dia melakukan sesuatu yang melanggar hukum? Sekarang dia di mana? Apakah masih kerja dengan Bu Berta?” tanya Sutinah penuh heran.

Semuanya tidak ada yang berani menjawab. Mereka hanya saling memandang. Hingga pada akhirnya, Pak Kades memerintahkan semuanya bubar.

“Bapa-bapak, ibu-ibu, mohon maaf, sepertinya Bu Sutinah harus istirahat dulu. Silakan kembali ke rumah masing-masing. Saya mengimbau kepada warga Kampung Sukamiskin, agar turut peduli kepada keluarga Bu Sutinah,perintah Pak Kades.

Warga kampung meninggalkan masjid satu per satu. Sutinah pun memandang kepulangan mereka satu per satu. Aisyah masih dalam pelukan Sutinah, seolah mereka enggan terpisahkan lagi.

Setelah lama Pak Kades berbincang dengan Sutinah, akhirnya Pak Kades beserta rombongan mengantarkan Sutinah ke rumahnya. Mereka merasa khawatir akan kondisi Sutinah yang masih belum sembuh total.

“Mak, ayo kita pulang. Kasihan, Dek Akbar di rumah menunggu,” ajak Aisyah.

“Oh, ya, Aisyah, dari tadi Emak belum lihat adikmu. Sama siapa dia? Emak kangen sekali,” ucap Sutinah.

“Akbar bersama Ceu Nunung, istrinya Mang Kuyan. Emak masih ingat sama Ceu Nunung? Dia baik sekali. Suka jagain Akbar, mandiin Akbar. Ceu Nunung sudah kayak emaknya Akbar, Mak,” papar Aisyah.

“Sudah, sudah. Nanti saja di rumah ceritanya, ya, Aisyah. Kasihan emakmu, mungkin butuh istirahat dulu. Jangan semua cerita disampaikan ke emakmu sekarang. Pelan-pelan saja, bertahap. Bapak khawatir terjadi sesuatu kepada emakmu. Ayo, sekarang kita ke rumahmu,” ajak pak Kades menyudahi percakapan.

Setibanya di rumah Aisyah, Sutinah tercengang, karena rumah yang dia lihat bukan rumahnya yang dulu. Ceu Nunung dan Mang Kuyan sudah berdiri di depan rumah Aisyah.

“Ayo, Mak, kita masuk,ajak Aisyah.

“Ini rumah siapa, Aisyah? Mana rumah kita? Katanya akan pulang ke rumah kita? Bapakmu mana?” tanya Sutinah.

Aisyah tidak menjawab. Dia menoleh ke arah Pak Kades seolah meminta isyarat apakah dia boleh menjawab pertanyaan emaknya atau tidak. Pak Kedes pun menggelengkan kepalanya. Aisyah paham maksud Pak Kades. Jadi, Aisyah memilih diam saja. Aisyah menuntun emaknya masuk ke rumah.

“Bu Sutinah, biar nanti saya yang menjelaskan semuanya, kenapa Aisyah tinggal di rumah ini. Sekarang, ayo kita masuk. Kita ngobrol di dalam ya, Bu,” ucap Pak Kades.

Setelah semuanya duduk dengan tenang, Pak Kades pun mulai menceritakan semua peristiwa yang terjadi pada keluarga Aisyah.

“Begini, Bu. Rumah ini rumah Bu Sutinah. Jadi, Ibu boleh tinggal di rumah ini selamanya. Rumah ibu yang dulu sudah pada rusak. Jadi, warga kampung bergotong royong memperbaiku rumah Ibu.”

“Nah, selama Ibu di rumah sakit, Aisyah dan adiknya diurus sama keluarga Ceu Nunung, karena suami ibu sibuk kerja,” jelas pak Kades kemudian.

Pak Kades tidak menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Kalau dia mengatakan yang sesungguhnya, dikhawatirkan jiwa Sutinah akan terguncang kembali. Untuk sementara, dia merahasiakan dulu peristiwa kebakaran rumah, rumah Bi Onah yang kena longsor, meninggalnya Berta, dan menghilangnya Dimas.

Sutinah pun bisa menerima arahan dari Pak Kades. Dia hanya manggut-manggut saja. Dipandanginya setiap sudut ruangan rumah. Rumah itu hanya berukuran 3x2 meter, bertiang kayu, dan berdinding anyaman bambu. Teramat sederhana.

Setelah semuanya beres, Pak Kades bersama rombongan, Ceu Nunung, dan Mang Kuyan segera meninggalkan rumah itu. Tinggallah mereka bertiga. Sutinah, Aisyah, dan Akbar.



***



Perlahan, akhirnya Sutinah pun megetahui musibah yang sudah dialami Aisyah. Semenjak dirinya diungsikan di rumah sakit jiwa, tidak ada kabar apa pun tentang keluarganya. Sutinah hampir tak percaya mendengar itu semua.

Sutinah tak bisa membayangkan betapa anak-anaknya kocar-kacir ketika rumahnya hangus terbakar. Rumah Bi Onah yang terkena longsor, hingga Dimas yang sekarang menjadi buronan karena tersangka kasus pembunuhan Berta.

Rupanya, nasib baik masih belum berpihak pada Aisyah. Bocah sekecil itu harus menanggung beban yang begitu berat. Dia harus membantu emaknya mencari nafkah untuk keperluan sehari-hari. Tak ada jalan lain, akhirnya Aisyah mengais rezeki dari rumah ke rumah mejajakan tenaganya untuk menjadi binatu.

“Mak, Emak baik-baik ya, di rumah, jaga adik. Aisyah mau ke rumah warga dulu, siapa tahu ada yang mau nyuruh nyuci. Lumayan, upahnya bisa untuk beli makanan hari ini, Aisyah lihat di dapur sudah tidak ada beras sebutir pun,” ucap Aisyah lirih.

“Aisyah, jadi selama ini kamu bekerja nyuci baju orang?” tanya Sutinah sambil memegang telapak tangan Aisyah yang mungil. Tangan Aisyah dibelai-belai lalu diciuminya. Tak terasa, air mata Sutinah pun berderai. Dia merasa iba melihat Aisyah yang harus bekerja seperti itu. Tak selayaknya Aisyah bekerja seperti itu.

“Ya, Mak, hari ini Aisyah mau ke rumahnya Pak Agung. Biasanya, hari Minggu Pak Agung selalu ada di rumah. Dia itu orangnya baik sekali, Mak. Suka ngasih uang, padahal Aisyah enggak nyuci baju-bajunya,” kata Aisyah polos.

“Nak, sepahit apa pun hidup kita, jangan sampai kita mengemis meminta-minta sedekah orang. Itu tidak baik, karena itu sama dengan menghinakan diri kita sendiri,ucap Sutinah.

“Enggak, Mak, Aisyah enggak minta-minta. Pak Agung itu melarang Aisyah mencuci pakaiannya karena Aisyah belum bisa pake mesin cuci. Jadi, ya sudah, Aisyah menyapu halaman rumahnya saja. Boleh, kan, Mak?” tanyanya dengan mata berbinar.

“Coba semua orang kaya seperti Pak Agung, ya, Mak. Cuma nyapu saja, dia ngasihnya lima puluh ribu. Itu dua kali lipat dari upah mencuci pakaian. Wah … kalau tiap hari Aisyah nyapu di halaman rumah Pak Agung, kita bisa kaya, ya, Mak,” lanjut Aisyah dengan lugunya. Walaupun Aisyah belum sekolah, tetapi Aisyah sudah mengerti pecahan rupiah.

Begitulah keseharian Aisyah dalam menjalani kehidupan bersama ibu dan adiknya dalam kesengsaraan yang mendera. Hidup hanya mengharapkan belas kasihan orang. Sementara itu, Dimas belum tahu di mana rimbanya. Tak ada seorang pun yang tahu keberadaan Dimas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat Berkah di SDN Karanganyar

  Masya Allah Tabarakallah, rezeki buat anak-anak soleh dan solehan siswa SDN Karanganyar. Hari ini, Jumat, 01 September 2023 ada seorang ha...