Pagi itu warga kampung Sukamiskin digegerkan dengan berita
kepulangan Sutinah. Kabar itu berawal dari Pak Ustaz Saeful yang mengabarkan kepada warga bahwa Sutinah ada di masjid
Al-Iklas. Hampir semua warga kampung itu datang ke masjid Al-Iklas.
Berita kepulangan Sutinah pun sampai
ke telinga Aisyah. Ia berada di antara percaya
dan tidak mendengar orang-orang bergunjing tentang kepulangan emaknya. Tanpa
berpikir panjang lagi, Aisyah berlari tunggang-langgang menuju masjid. Terbelalak mata Aisyah melihat emaknya benar-benar ada di masjid.
Tanpa ragu lagi, Aisyah langsung menghampiri emaknya dan berteriak, “Emaak!”
Sutinah dan Aisyah berpelukan saling
melepas kerinduan. Pertemuan antara ibu dan anak itu membuat haru semua orang
yang ada di situ. Tangisan bahagia saling tercurah Sutinah dan Aisyah. Sunggu
tragedi yang memilukan.
“Emak, Emak pulang sama siapa? Emak
sehat? Kenapa Emak ada di sini?” tanya Aisyah
bertubi-tubi.
“Alhamdulillah, Emak sehat. Emak pulang bersama Bapak, Nak,” jawab Sutinah.
“Bapak? Sekarang Bapak mana? Dari tadi Aisyah enggak lihat Bapak,” ucap Aisyah sambil melihat keadaan sekitar masjid.
“Maksud kamu, Dimas yang mengantarkanmu ke sini?” tanya Ustaz Saeful kepada Sutinah menyelidik.
“Iya, Pak Ustaz. Semalam saya dijemput suami saya dari rumah sakit, terus saya dibawa
mampir ke masjid ini. Katanya, dia mau istirahat dulu sebentar.
Setelah itu … saya tidak tahu ke mana suami saya. Saya kira dia ada di sini.” Sutinah menjelaskan kejadian semalam.
Hari semakin siang, warga kampung
itu semakin banyak yang berdatangan. Mereka menyambut kedatangan Sutinah dengan
suka cita. Namun, walaupun kegembiraan yang dirasakan, air mata selalu saja
menetes menyambut kedatangan Sutinah. Mereka merasa iba dan terharu.
Mang Kuyan yang berada di antara
kerumunan itu langsung memeberika pengumuman. “Bapak-bapak, ibu-ibu, kita harus lebih waspada. Tadi kalian dengar sendiri, kan? Sutinah pulang diantar
suaminya. Ini berarti, si Dimas sudah kembali ke kampung kita.”
Kata-kata Mang Kuyan membuat Sutinah terheran-heran.
“Mang, ada apa dengan suami saya?
Kenapa warga kampung harus waspada sama suami saya? Apakah suami saya maling?” tanya Sutinah.
“Aisyah, ada apa dengan bapakmu?
Kenapa, Nak? Jawab!”
Seorang pun tak ada yang berani
menjawab pertanyaan Sutinah. Semuanya bungkam. Mereka hanya tertunduk, khawatir
Sutinah jiwanya kembali terguncang jika diberi tahu bahwa Dimas sebenarnya
sedang menjadi buronan polisi. Suasana pun mendadak hening sesaat.
Di tengah keheningan itu, datanglah
rombongan dari aparat desa. Ternyata, hanya beberapa jam saja. berita tentang
kepulangan Sutinah sampai ke kepala Desa Sukamiskin. Pak Zaenal sebagai kepala desa, sangat terkejut mendengar tentang sutinah.
Melihat rombongan dari desa, orang-orang pun menyingkir, mempersilakan Pak Zaenak untuk melihat Sutinah.
“Bu Sutinah? Ibu sudah pulang, Bu? Sama siapa Ibu pulang? Bu Sutinah baik-baik saja, kan?” Pak Zaenal bertanya dengan hati-hati.
“Eh, Pak Kades. Iya, Pak. Alhamdulillah … saya sudah sembuh. Semalam saya
pulang dijemput suami saya. Maaf, saya belum sempat mengucapkan terima kasih
kepada Bapak. Berkat jasa Bapak, saya sekarang sekarang bisa berkumpul lagi
dengan suami dan anak-anak,” jawab Sutinah dengan penuh senyum.
Pak Zaenal mendekati Sutinah perlahan. “Bu, suami Ibu sekarang tinggal di mana?” bisik Pak Zaenal. Sutinah tidak langsung menjawab. Ia malah
mengernyitkan alisnya. Diam sesaat, lalu
dipandanginya kembali orang-orang yang masih berkerumun di situ. Dia tidak
mengerti kenapa semua orang menanyakan Dimas.
“Maaf, bapak-bapak, ibu-ibu, jika boleh saya tahu, ada apa dengan suami
saya? Apakah dia melakukan sesuatu yang melanggar hukum? Sekarang dia di mana? Apakah masih kerja dengan Bu Berta?” tanya Sutinah penuh
heran.
Semuanya tidak ada yang berani
menjawab. Mereka hanya saling memandang. Hingga pada akhirnya, Pak Kades
memerintahkan semuanya bubar.
“Bapa-bapak, ibu-ibu, mohon maaf,
sepertinya Bu Sutinah harus istirahat dulu. Silakan kembali ke rumah
masing-masing. Saya mengimbau kepada warga Kampung Sukamiskin, agar turut peduli
kepada keluarga Bu Sutinah,” perintah Pak Kades.
Warga kampung meninggalkan masjid satu per satu. Sutinah pun memandang
kepulangan mereka satu per satu. Aisyah masih dalam pelukan Sutinah, seolah mereka enggan
terpisahkan lagi.
Setelah lama Pak Kades berbincang
dengan Sutinah, akhirnya Pak Kades beserta rombongan mengantarkan
Sutinah ke rumahnya. Mereka merasa khawatir akan kondisi Sutinah yang masih
belum sembuh total.
“Mak, ayo kita pulang. Kasihan, Dek Akbar di rumah menunggu,” ajak Aisyah.
“Oh, ya, Aisyah, dari tadi Emak belum lihat
adikmu. Sama siapa dia? Emak kangen sekali,” ucap Sutinah.
“Akbar bersama Ceu Nunung, istrinya
Mang Kuyan. Emak masih ingat sama Ceu Nunung? Dia
baik sekali. Suka jagain Akbar, mandiin Akbar. Ceu Nunung sudah kayak emaknya
Akbar, Mak,” papar Aisyah.
“Sudah, sudah. Nanti saja di rumah ceritanya, ya, Aisyah. Kasihan emakmu, mungkin butuh istirahat dulu. Jangan semua cerita disampaikan ke
emakmu sekarang. Pelan-pelan saja, bertahap. Bapak
khawatir terjadi sesuatu kepada emakmu. Ayo, sekarang kita ke rumahmu,” ajak
pak Kades menyudahi percakapan.
Setibanya di rumah Aisyah, Sutinah
tercengang, karena rumah yang dia lihat bukan rumahnya yang dulu. Ceu Nunung
dan Mang Kuyan sudah berdiri di depan rumah Aisyah.
“Ayo, Mak, kita masuk,” ajak Aisyah.
“Ini rumah siapa, Aisyah? Mana rumah kita? Katanya akan pulang ke rumah kita?
Bapakmu mana?” tanya Sutinah.
Aisyah tidak menjawab. Dia menoleh
ke arah Pak Kades seolah meminta isyarat apakah dia boleh menjawab pertanyaan
emaknya atau tidak. Pak Kedes pun menggelengkan kepalanya. Aisyah paham maksud
Pak Kades. Jadi, Aisyah memilih diam saja. Aisyah menuntun emaknya masuk ke
rumah.
“Bu Sutinah, biar nanti saya yang
menjelaskan semuanya, kenapa Aisyah tinggal di rumah ini. Sekarang, ayo kita
masuk. Kita ngobrol di dalam ya, Bu,” ucap Pak Kades.
Setelah semuanya duduk dengan
tenang, Pak Kades pun mulai menceritakan semua peristiwa yang terjadi pada
keluarga Aisyah.
“Begini, Bu. Rumah ini rumah Bu Sutinah. Jadi, Ibu boleh tinggal di rumah ini selamanya. Rumah ibu yang dulu
sudah pada rusak. Jadi, warga kampung bergotong royong memperbaiku rumah Ibu.”
“Nah, selama Ibu di rumah sakit,
Aisyah dan adiknya diurus sama keluarga Ceu Nunung, karena suami ibu sibuk
kerja,” jelas pak Kades kemudian.
Pak Kades tidak
menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Kalau dia mengatakan yang
sesungguhnya, dikhawatirkan jiwa Sutinah akan terguncang kembali. Untuk
sementara, dia merahasiakan dulu peristiwa
kebakaran rumah, rumah Bi Onah yang kena longsor, meninggalnya Berta, dan
menghilangnya Dimas.
Sutinah pun bisa menerima arahan
dari Pak Kades. Dia hanya manggut-manggut saja. Dipandanginya setiap sudut
ruangan rumah. Rumah itu hanya berukuran 3x2 meter, bertiang kayu, dan
berdinding anyaman bambu. Teramat sederhana.
Setelah semuanya beres, Pak Kades bersama rombongan, Ceu Nunung, dan Mang Kuyan segera meninggalkan rumah itu. Tinggallah mereka
bertiga. Sutinah, Aisyah, dan Akbar.
***
Perlahan, akhirnya Sutinah pun megetahui musibah yang sudah dialami
Aisyah. Semenjak dirinya diungsikan di rumah sakit jiwa, tidak ada kabar apa pun tentang keluarganya. Sutinah hampir tak
percaya mendengar itu semua.
Sutinah tak bisa membayangkan betapa
anak-anaknya kocar-kacir ketika rumahnya hangus
terbakar. Rumah Bi Onah yang terkena longsor, hingga Dimas yang sekarang
menjadi buronan karena tersangka kasus pembunuhan Berta.
Rupanya, nasib baik masih belum berpihak pada Aisyah. Bocah sekecil itu
harus menanggung beban yang begitu berat. Dia harus membantu emaknya mencari
nafkah untuk keperluan sehari-hari. Tak ada jalan lain, akhirnya Aisyah mengais
rezeki dari rumah ke rumah mejajakan tenaganya untuk menjadi binatu.
“Mak, Emak baik-baik ya, di rumah,
jaga adik. Aisyah mau ke rumah warga dulu,
siapa tahu ada yang mau nyuruh nyuci. Lumayan, upahnya bisa untuk beli makanan
hari ini, Aisyah lihat di dapur sudah tidak ada beras sebutir pun,” ucap Aisyah lirih.
“Aisyah, jadi selama ini kamu
bekerja nyuci baju orang?” tanya Sutinah sambil memegang telapak tangan Aisyah
yang mungil. Tangan Aisyah dibelai-belai lalu diciuminya. Tak terasa, air mata Sutinah pun berderai. Dia merasa iba melihat Aisyah yang
harus bekerja seperti itu. Tak selayaknya Aisyah bekerja seperti itu.
“Ya, Mak, hari ini Aisyah mau ke
rumahnya Pak Agung. Biasanya, hari Minggu Pak Agung selalu ada di rumah. Dia itu orangnya baik
sekali, Mak. Suka ngasih uang, padahal Aisyah enggak nyuci baju-bajunya,” kata
Aisyah polos.
“Nak, sepahit apa pun hidup kita, jangan sampai kita mengemis meminta-minta sedekah
orang. Itu tidak baik, karena itu sama dengan menghinakan diri kita sendiri,” ucap Sutinah.
“Enggak, Mak, Aisyah enggak
minta-minta. Pak Agung itu melarang Aisyah
mencuci pakaiannya karena Aisyah belum bisa pake mesin cuci. Jadi, ya sudah, Aisyah menyapu halaman rumahnya
saja. Boleh, kan, Mak?” tanyanya dengan mata berbinar.
“Coba semua orang kaya seperti Pak
Agung, ya, Mak. Cuma nyapu saja,
dia ngasihnya lima puluh ribu. Itu dua kali
lipat dari upah mencuci pakaian. Wah … kalau tiap hari Aisyah nyapu di halaman
rumah Pak Agung, kita bisa kaya, ya, Mak,” lanjut Aisyah dengan lugunya.
Walaupun Aisyah belum sekolah, tetapi Aisyah sudah mengerti pecahan rupiah.
Begitulah keseharian Aisyah dalam
menjalani kehidupan bersama ibu dan adiknya dalam kesengsaraan yang mendera.
Hidup hanya mengharapkan belas kasihan orang. Sementara itu, Dimas belum tahu di mana rimbanya. Tak ada seorang pun
yang tahu keberadaan Dimas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar