Bab 18
Sinar Terang
Seseorang
membangunkan Aisyah yang sedari tadi lemas tak berdaya. Ditepuk-tepuk pipinya,
agar segera sadar.
“Bangun
..., bangun Ais, ssst ..., ssst ...,”
“Aisyah,
Aisyah ..., Aisyah bangun”
Sayup
terdengar orang memanggil nama Aisyah. Semakin lama semakin lantang suara itu.
Aisyah pun tersadar dari pingsannya. Pendangannya masih samar-samar, tidak
jelas siapa yang membangunkan dan menyebut-nyebut namanya. Matanya
dikedip-kedipkan.
Dalam
pikirannya masih teringat kejadian yang menimpa dirinya. Belum sempat melihat
orang yang membangunkan dirinya, Aisyah kembali berteriak.
“Jangan
sentuh aku! Pergi! Pergi ...,” pekik Aisyah semakin menjadi
“Ini
aku Aisyah, coba lihat sini!”
“Tidak
..., aku mohon jangan ganggu aku ..., pergi! Huu hu hu.” sahut Aisyah sambil
terus terisak. Aisyah masih menutup wajahnya, tidak mau melihat siapa yang
sudah membangunkan dirinya.
“Aisyah!
Lihat sini, lihat aku!”
Tangisan
Aisyah pun terhenti ketika ia sadar dengan suara yang tidak asing di
telinganya. “Rama ...? Mungkinkah itu suara Rama?” dalam hati Aisyah bertanya.
Perlahan
Aisyah membuka matanya, dalam keraguan yang mendalam Aisyah memberanikan diri
untuk meyakinkan, apakah betul yang ia dengar itu suara Rama.
Ternyata
..., betul dia Rama. Lelaki yang selama ini selalu peduli pada kehidupan
Aisyah. “Rama? Kau-kah itu?” tanya Aisyah seolah tak percaya. Rama
menganggukkan kepalanya. Aisyah pun merangkul Rama dan kembali menangis.
Kali
ini tangisan Aisyah adalah tangisan bahagia. Ia tidak menyangka sedikit pun
Rama akan datang menolong. Posisi Aisyah masih di dalam angkot. Sedangkan pria
yang hendak menggagahi Aisyah sudah diamankan.
“Sekarang
kamu sudah aman, ayo kita pulang Aisyah.” ucap Rama
“Bagaimana
ceritanya Kamu bisa sampai di sini, Ram?” tanya Aisyah
“Jawabannya
nanti saja, kalau kita sudah di rumahmu.”
“Rumah?
Rama akan mengantarkanku ke rumah? Tidak, aku tidak mau Rama tahu kondisi
rumahku di kampung. Aku malu.” ucap Aisyah dalam hati. Aisyah pun segera
bangkit.
“Eu
..., gak Ram, aku ..., aku sekarang harus ke kampus, pukul berapa sekarang?
Berapa lama aku pingsan ya ...? Kemana lelaki sialan itu? Apa yang terjadi
denganku, Ram ” Aisyah mulai gugup menghadapi Rama. Ada perasaan aneh yang
menyelinap dalam hati Aisyah jika bersama dengan Rama.
Rama
tidak segera menjawab pertanyaan Aisyah. Ditatapnya wajah Aisyah dengan penuh
perasaan. Lama mereka saling menatap. Tapi, akhirnya mereka sadar, kalau posisi
mereka bukan pada tempat yang nyaman. Mereka masih berada di dalam angkot.
Lalu
keduanya keluar dari angkot itu, dicarinya tempat yang agak nyaman untuk
ngobrol. Tak jauh dari tempat itu ada batu besar yang bisa dijadikan tempat
duduk. Rama pun menceritakan kejadian yang baru saja menimpa diri Aisyah.
“Aisyah,
hampir empat tahun aku mencari-cari Kamu. Berkali –kali aku datang ke rumahmu
di Jakarta. Tapi ibumu tak memberikan alamatmu di kampung. Bahkan, terakhir ini
berita yang kudengar, ibumu pergi meninggalkan rumah itu.” Rama mengawali
ceritanya.
“Sampai
akhirnya, aku dapat informasi tetang Kamu, Aku langsung menuju ke Kota ini. Di
tengah perjalanan, aku melihat mobil angkot yang mencurigakan. Diam-diam aku
mengukuti. Kecurigaanku semakin kuat
ketika angkot ini berhenti di tempat seperti ini. Aku sempat mendengar suara
perempuan yang meminta tolong ...,” sejenak Rama terhenti berbicara.
“Instingku
sebagai seorang polisi, aku langsung bertindak. Ternyata benar firasatku, bahwa
ada tindak kejahatan di dalam angkot itu.
Betapa kagetnya aku ketika kulihat, Kamu sudah dalam keadaan pingsan.
Kedua pria itu langsung kabur, dan ..., “ Kali ini Rama berhenti bicara agak
lama.
“Dan
...? Dan kenapa Ram?” tanya Aisyah memekik.
“Rama,
jawab!” tanya Aisyah kemudian sambil mengguncang-gincangkan bahu Rama.
“Apakah
pria itu mengagahiku? Owh, tidaaak ....!” jerit Aisyah dalam hati.
Aisyah
sangat terguncang dengan kejadian ini. Ia meronta sambil terus menangis. Aisyah sontak meraba sekujur
tubuhnya. Ia sangat khawatir dirinya sudah digagahi pria jahat itu. Tapi, dia
tidak merasaka sesuatu yang aneh.
“Tenang,
tenang Aisyah ..., aku belum selesai bicara. Kamu tidak usah histeris seperti
ini. Aku ..., aku hanya membayangkan, seandainya aku tidak datang untuk
menolongmu, entah apa yang akan terjadi pada dirimu.” Rama berusaha menenangkan
Aisyah.
Akhirnya
Rama pun dapat menenangkan Aisyah. Dipeluknya Aisyah dengan penuh kasih sayang.
Aisyah tak dapat menolak pelukan Rama. Bagi Aisyah, kedatangan Rama bagaikan
malaikat yang diutus Allah untuk menyelamatkan dirinya.
“Rama,
aku sangat berhutang budi padamu, aku tak tahu harus bagaimana berterima kasih
padamu.” ucap Aisyah lirih sambil melepaskan pelukan Rama.
Rama
menahan Aisyah agar tidak melepaskan pelukannya, tapi Aisyah tetap menghindar.
Aisyah baru tersadar bahwa bersentuhan dengan lelaki yang bukan muhrim itu
dosa.
“Kenapa
Aisyah? Kamu gak suka sama aku?” tanya Rama sambil mengeluarkan tetepon
genggamnya.
“Euh
..., tidak Ram, maaf ..., aku malu, aku khilap, kita bukan muhrim, sebaiknya
kita tidak bersentuhan, tapi apalah daya ..., aku tadi dalam keadaan panik dan
sangat membutuhkan pertolongan.” ucap Aisyah tersipu malu.
Aisyah
lalu bangkit merapikan pakaiannya yang berantakan. Sementara Rama sibuk
menelepon membuat laporan kejadian kepada Kapolsek setempat. Setelah semuanya
beres, Aisyah diantar Rama ke kampus.
Sepanjang
perjalanan, Aisyah dan Rama saling bercerita tentang dirinya masing-masing.
Hingga akhirnya sampai di kampus Aisyah. Aisyah tidak segera turun dari mobil
Rama. Rama pun tidak segera membuka kunci mobil. Meraka saling memandang. Entah
apa yang meraka rasakan saat itu.
***
“Assalamualaikum, Mak..., Aisyah pulang.”
ucap Aisyah sumringah.
“Waalaikumsalam.” sahut Akbar
“Emak
kemana De?” tanya Aisyah sambil mengeluarkan belanjaanya di kantong keresek.
“Emak
masih keliling jualan. Wow! Apa itu Kak?” Akbar membantu mengeluarkan belanjaan
dari kantong plastik bertuliskan Alfamart.
“Ini,
tadi kakak ketemu temen, terus diajak jalan-jalan dan dibeliin baunyak makanan
cemilan. Nih, Buat Kamu. Kamu sudah lama kan gak jajan cemilan kaya gini?” ucap
Aisyah sambil memberikan belanjaan pemberian Rama pada adiknya.
“Asyiiik
..., wah! Ini pasti enak-enak ya Kak. Temen kakak itu siapa? Cewek atau cowok?”
tanya Akbar sambil sibuk melihat-lihat makanan cemilan yang dibawa Aisyah.
“Ah,
sudahlah anak kecil jangan banyak nanya, makan aja tuh cemilannya.” ucap Aisyah
genit sambil mencubit pipi Akbar.
Tak
lama kemudian Sutinah datang.
“Assalamalaikum, wah! makanan dari mana
ini De, siapa yang beliin Nak, banyak banget.” ucap Sutinah sambil
menghempaskan tubuhnya di kursi karena kelelahan sepulang menjajakan
dagangannya.
“Waalaikumsalam, emak baru pulang? Mak, emak gak usah terlalu
cape gini dong Mak, jualan di kantin SD saja kan emak sudah cukup cape,
harusnya emak istirahat saja, gak usah jualan keliling kaya gini ah.” sahut
Aisyah sambil melepaskan mukena.
“Aisyah,
sudah pulang Nak? Tumben kamu pulangnya agak siang, bolos kuliah?” tanya
emaknya heran.
“Ya
enggaklah Mak, masa bolos? Nanti gak dapat juara dong. Tadi Aisyah pulang
diantar teman pake mobil, mobilnya bagus deh Mak, adem, wangi, jusss ...,”
Aisyah meragakan lajunya mobil, lalu tersenyum ceria.
“Temen
kuliah?” tanya emak heran.
“Bukan,
temen Aisyah waktu di Jakarta. O ya Mak, nanti malam dia mau ke rumah.” jawab
Aisyah sumringah
“Perempuan?”
tanya emak lagi penasaran
“Buk
... kan.” jawab Aisyah terbata
“Laki-laki?”
pertanyaan emaknya tegas.
“I
... ya” jawab Aisyah melemah
“Aisyah,
berarti tadi Kamu semobil berdua? Aisyah ..., istigfar Kamu Nak! emak gak
mengizinkan Kamu bepergian dengan lelaki lain yang buka muhrim. Itu tidak baik. Camkan itu Aisyah.” Sutinah
memperingatkan Aisyah.
“Tapi
Mak, dia sudah menolong Aisyah dari ....” Aisyah tidak melanjutkan
perkataannya. Aisyah hampir saja keceplosan mau mengatakan bahwa dia hampir
digagahi oleh pria di dalam angkot. Aisyah tidak mau emaknya tahu tentang
peristiwa itu.
“Aisyah,
sejak kapan Kamu menentang emak? Kita orang gak punya Nak, hidup kita sudah
susah, jangan Kamu tambah lagi dengan kesusahan lain. Emak tidak mau kamu dapat
masalah dalam pergaulan.” ucap Sutinah sambil melipat pakaian yang sudah
dijemur.
“Dia
orang baik kok Mak, Aisyah juga tidak mau bergaul dengan orang sembarang.” ucap
Aisyah lirih sambil membantu melipat pakaian.
“Ya
sudah, datang saja besok pagi, jangan malam hari, gak baik seorang lelaki bukan
muhrim berkunjung ke rumah malam-malam. Apalagi rumah kita kan jelek, apa Kamu
gak malu Nak?” Sutinah melirik Aisyah
yang tengah asyik melipat pakaian.
***
Keesokan
harinya, Aisyah tidak berangkat kuliah. Sengaja Aisyah tidak ke kampus, karena
Rama akan berkunjung ke rumah. Aisyah dan emaknya sibuk bersih-bersih rumah dan
masak-masak. Tak seperti biasanya, mereka menyiapkan segalanya. Sementara Akbar
asyik bermain di halaman.
Di
tengah kesibukan mereka, tiba-tiba Akbar datang tergesa-gesa dan terengah-engah.
Seperti sedang dikejar anjing.
“Maak
...! ada polisiii ...!” teriak Akbar sambil ngos-ngosan.
Mendengar
Akbar berterik menyebut polisi, Aisyah pun menjadi panik. Terlebih Sutinah, ia
menjadi gugup. Aisyah dan Sutinah mengira rumah mereka menjadi sasaran
pencarian Dimas. lalu mereka bergegas memastikan, apakah benar yang dikatakan
Akbar.
“Jangan
Aisyah, biar emak saja yang menemui polisi itu. Kamu teruskan saja pekerjaan
ini.” ucap Sutinah sambil merapikan pakainnya.
Sutinah
pun segera keluar rumah hendak menemui polisi yang datang ke rumahnya.
Perasaannya sangat berdebar-debar. Ia paling takut berurusan dengan polisi.
“Kenapa polisi itu masih saja mengincar rumah ini, bukannya Dimas sudah
ditangkap?” Sutinah bertanya pada diri sendiri dalam hatinya.
“Ups!
Ternyata benar apa yang dikatakan Akbar, bahkan polisi itu sudah di depan
rumah. Aduh! Bagaimana ini, Aisyah jangan sampai tahu, biar aku saja yang
menghadapi polisi itu.” ucap Sutinah dalam hatinya.
“Assalamaalaikum.” sapa seseorang yang berpakaian
seragam polisi sambil menggangukkan kepalanya dibarengi senyuman ramah.
“Waalaikumsalam.” jawab Sutinah dengan
nada ngambang. Sutinah merasa heran, biasanya sikap polisi yang selalu datang
mengintai rumahnya bersikap tegas. Tapi yang ini lain, penampilannya begitu
ramah dan sopan.
“Aisyahnya
ada Bu?”
“Eu
..., Aisyah ... a ... ada, silakan masuk Pak, biar saya panggilkan dulu anak
saya” jawab Sutinah gugup. Sutinah pun memanggil Aisyah seraya tergopoh-gopoh.
“Aisyah,
Aisyah ..., polisi itu menanyakan Kamu, ada apa ini Aisy? Kamu kenapa?” tanya
Sutinah miris.
“Oh
ya?” jawab Aisyah sumringah.
“Kenapa
sepertinya Kamu gak ada rasa khawatir, kita kedatangan lagi polisi Aisyah, emak
takut, bukannya bapakmu sudah ditangkap? Kenapa polisi itu menanyakan Kamu
...,” Sutinah meringis ketakutan.
“Mak,
tenang. Yuk kita keluar temui polisi itu.” jawab Aisyah sambil mengandeng
emaknya.
“Rama
...,” seru Aisyah merasa senang karena dugaannya tepat. Polisi yang dikataka
Akbar itu pasti Rama.
“Mak,
ini Rama teman Aisyah waktu sekolah di Jakarta. Dia jadi polisi. Jadi emak gak
usah takut, ya.” Aisyah mengenalkan Rama pada emaknya. Sutinah tampak ragu-ragu menerima uluran
tangan Rama yang hendak menyalaminya.
“Oh
ya, maaf, tadi emak kira Kamu mau menggeledah rumah kita.” ucap emak dengan
perasaan lega.
“Ya inilah gubukku Ram, ini ibu kandungku, dan
anak kecil yang di luar tadi itu adikku. Aku lahir di sini, di kampung yang
jauh dari karamai kota, tapi aku bahagia hidup di sini, karena aku bisa selalu
bersama orang-orang yang kusayangi.” papar Aisyah
“Aisyah,
aku juga senang ada di kampung ini. Udaranya sangat sejuk. Ada pesawahan, pepohonan, hm ... rasanya kita ini nyatu banget
dengan alam, pantesan kamu betah tinggal
di sini, padahal kan jauh ke kota ya?” ucap Rama
“O
ya Aisyah, tadi aku hampir kepeleset loh, pas melewati pematang sawah, untung
gak sampai jatuh, kalau sampai kecebur ke sawah, wah ... kayanya lucu banget ya, pasti
pakaianku blepotan ahaha.” ucap Rama
kemudian sambil tertawa.
Aisyah
pun ikut tertawa, pembicaraan mereka tampak hangat sekali. Sutinah hampir tak
percaya mendengarkan percakapan Aisyah dan Rama begitu akrab. Ketegangannya
mulai menurun.
Hari
itu rumah Aisyah penuh dengan tawa ceria. Rama cepat beradaptasi dengan
keluarga Aisyah. Semua larut dalam kegembiraan. Bagi Aisyah kebahagian itu
sederhana, cukup berkumpul bersama orang-orang terkasih dalam keadaan sehat
wakafiat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar