Bab 19
Bisikan di Kereta
Waktu
terus bergulir, hingga menghantarkan Aisyah pada puncak acara wisuda. Aisyah
menyabet IPK dengan angka 4,0 dan berhak menyandang gerlar Sarjana Hukum. Sebuah prestasi yang gemilang,
yang tidak semua orang bisa meraihnya dengan mudah.
Kegemilangan
prestasi itu tidak didapat dengan cara yang mudah. Aisyah harus melaluinya
dengan penuh perjuangan. Bagaimana dia harus membagi waktu antara belajar dan
bekerja. Bagaimana menahan rasa dari gejolak hasrat asmara. Bagaimana bisa
menghalau godaan – godaan kehidupan yang membawa pada kesesatan, dan seabreg
godaan lainnya yang datang silih berganti.
“Mak,
ini untuk emak.” ucap Aisyah sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam
gulungan kerta ijazah.
“Apa
ini Nak?” tanya Sutinah sambil menetekan air matanya menahan haru.
“Ini
ijazah Aisyah Mak, Aisyah sekarang sudah menjadi sarjana. Berkat doa emak akhirnya
Aisyah bisa meraih gelar Sarjana Hukum, Mak.” isak tangis Aisyah menambah
keharuan suasana.
“Aisyah
..., alhamdulillah, Nak,” ucap
Sutinah sambil memeluk Aisyah,
Mereka
saling berpelukan atas sebuah rasa syukur yang tidak terkira. Siapa sangka
Aisyah yang dulunya hanya bocah ingusan, hidup terkatung-katung tak menentu.
Mengais rejeki dari rumah ke rumah menjadi tukang cuci, hingga rumahnya
kebakaran, ditinggal bapak dan emaknya, kini ..., Aisyah menjadi seorang
sarjana.
Suasana
begitu bergemuruh, hiruk pikuk orang-orang yang merayakannya membuat seisi
gedung itu menggema. Hampir di setiap sudut ruangan tampak orang-orang
mengabadikan moment ini dengan foto bersama. Melihat pemandangan seperti itu,
Aisyah hanya menahan rasa yang mengganjal di dalam dadanya.
“Seandainya bapak ada, mungkin aku pun bisa
berfoto seperti mereka. Ada emak, bapak, de akbar ...., ah kapan kita bisa
berkumpul seperti dulu ya, Pak” ucap Aisyah dalam hati. Lamunannya terus
membayang bayangi sosok bapaknya yang sedang menjalani hukuman seumur hidup.
“Pak,
Aisyah sekarang sudah menjadi Sarjana Hukum,
Aisyah akan usut sampai tuntas kasus bapak. Aisyah janji, Aisyah akan berjuang
keras untuk memenangkan perkara bapak. Bapak yang sabar ya Pak.” geram hati
Aisyah terus berkecamuk dalam dada.
“Hai!
Kok melamun?” tegur Rama yang sejak tadi menunggu para wisudawan keluar dari
gedung.
“Nih
...buat Kamu, selamat ya Aisyah.” ucap Rama kemudian sambil mengasongkan
rangkaian bunga.
“Rama
...!” seru Aisyah dengan wajah berbinar-binar
“Hmmm
..., wangi, makasih ya,” ucap Aisyah sambil mencium rangkaian bunga pemberian
Rama.
“Waduh,
Nak Rama repot-repot bawain bunga buat Aisyah, emak jadi malu, emak malah gak
ngasih.” ucap Sutinah polos.
Dilipatnya
bibir Aisyah dalam-dalam sambil mengepalkan tangannya. Aisyah sudah tidak sabar
ingin segera berkiprah di dunia hukum. Aisyah ingin menyelamatkan bapaknya.
“Ah,
emak, bagi Aisyah emak sama Akbar bisa hadir di acara wisuda ini saja udah
bagagia banget, apalagi kalau ada bapak ya Mak.” ucap Aisyah tertunduk sambil
menciumi rangkaian bunga pemberian Rama.
Sesaat
mereka termenung dengan lamunannya masing-masing. Kegaduhan di sekitarnya tidak
dihiraukan. Aisyah kembali memeluk emaknya. Pelukannya semakin erat.
“Kak
..., ayo kita poto-poto dulu, tuh kak Rama udah nunggu dari tadi.” Akbar
menarik-narik baju Aisyah.
Dari
kejauhan Rama melambai-lambaikan tangannya. “Sini Aisyah! Foto di sini.” ucap Rama mengajak Aisyah dan keluarga untuk
berfoto bersama.
Kehadiran
Rama pada acara wisudaan Aisyah membuat hati Aisyah terhibur. Walaupun perasaan
sedih masih tersisa, karena bayangan bapaknya terus melekat.
Kesedihan
Aisyah pun semakin berkurang ketika dia mendapat kata ucapan selamat dari salah
seorang dosennya. Pak Dedi sudah mengincar Aisyah sejak dalam perkuliahan.
Karena prestasi Aisyah yang gemilang, dia merekrut Aisyah sebagi stafnya
sebagai pengacara.
“Aisyah,
selamat ya.” ucap pak Dedi.
“Oh
ya, trima kasih Pak.” jawab Aisyah
“Aisyah,
Kamu mau kan magang di kantor bapak?” tanya Pak Dedi serius
“Dengan
senang hati Pak.” jawab Aisyah sumringah.
Hampir
saja Aisyah mau meloncat kegirangan. Betapa tidak, keinginan Aisyah dari dulu
untuk bekerja di kantor Pak Dedi saat ini terwujud. Aisyah tidak menyangka Pengacara sekaliber Dedi
Stanzah merekrut dirinya.
“O
ya, Pak, kenalkan ini ibu saya, ini adik saya, dan ini .... eu...ini teman
saya.” ucap Aisyah mengenalkan orang-orang yang ada di sekitar itu.
“Yang
ini teman atau teman?” canda Pak Dedi
Aisyah
tersipu malu. Selama ini Aisyah hanya menganggap Rama sebagai teman biasa,
tidak lebih. Aisyah tidak berani membuka hati untuk lelaki manapun. Termasuk
Rama yang sudah akrab dengan keluarga.
“Kami
teman satu hati Pak.” Tiba-tiba saja Rama menimpali percakapan.
“Ahahaha
... bisa aja Kamu.” ucap Pak Dedi tertawa sambil menepuk bahu Rama.
Rama
mengerlingkan matanya pada Aisyah. Aisyah menjadi salah tingkah. Akhirnya
suasana saat itu penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan.
***
“Mak,
Aisyah hari ini harus pergi ke Jakarta, Aisyah akan memulai kehidupan baru di
Jakarta. Mak denger sendiri kan, kemarin Pak Dedi menawarkan pekerjaan buat
Aisyah. Ini kesempetan yang baik Mak, gak mungkin Aisyah tolak.” ucap Aisyah
semangat.
“Mak,
doakan Aisyah ya, ke depannya Aisyah ingin buka kantor pengacara sendiri,
sekarang Aisyah masih harus banyak berguru dulu ke pengacara kondang seperti Pak
Dedi. Aisyah ingin mengusut tuntas kasus kematian ibu Berta, Aisyah merasakan
ada keganjilan dari kasus itu, Mak,” lanjut Aisyah.
Mata
Sutinah berkaca-kaca, ia merasa terharu dengan niat anaknya. Akhirnya Sutinah
pun tak dapat membendung air matanya. Ia menagis sambil memeluk Aisyah.
“Aisyah,
emak gak menyangka kalau tekad kamu
sekuat ini. Emak akan selalu mendoakan
Kamu. Sesibuk apapun Kamu, jangan pernah tinggalkan salat yang lima waktu ya
Nak.” ucap Sutinah sambil membelai
kepala Aisyah yang tertutup kerudung hitam.
Aisyah
memang selalu memakai kerudung warna hitam. Hitam menjadi warna
favoritnya. Entah sejak kapan Aisyah
menyukai warna itu. Aisyah merasa warna hitam itu menjiwai kehidupannya yang
penuh dengan penderitaan.
“Akbar,
Kamu jaga emak baik-baik ya, kakak berangkat ke Jakarta untuk bekerja.” ucap
Aisyah kepada Akbar yang sedari tadi duduk di samping emaknya sambil memegang
lengan emak seolah tidak mau terpisahkan.
“Akbar..., jangan bermalas-malasan, belajar yang tekun,
bantu emak bekerja, jangan terlalu banyak main. Lihat kakak! Kakak bisa sampai
menjadi sarjana ini karena kakak tidak pernah kenal lelah. Kita harus bangkit
dari keadaan seperti ini. Kita bisa, dan
harus bisa, sebisa-bisa kita, pasti bisa. Camkan itu ya Dek.” ucap Aisyah
memberi keyakinan kepada adiknya.
Aisyah
memegang pundak Akbar dan mencium keningnya, lalu berbisik lembut di telinga
adiknya. ”Jangan buat emak menangis, jangan buat emak jegkel, jangan buat emak
capek. Bahagiakan orang tua kita, karena itulah surga kita, ya Dek.” Akbar
manggut-manggut sebagai tanda ia setuju dan nurut pada Aisyah.
Setelah
berpamitan pada emak dan adiknya, Aisyah pun pergi meninggalkan kampung halamannya.
Sebenarnya Aisyah merasa berat hati meninggalkan emak dan adiknya. Namun, demi
sebuah cita-cita ia harus rela berpisah untuk sementara dengan kedua orang yang
sangat disayanginya itu.
***
Suara
laju kereta mengiringi keberangkatan Aisyah ke Jakarta. Aisyah memilih kursi
dekat jendela. Di posisi ini Aisyah merasa lebih nyaman dan bisa menikmati
pemandangan sepanjang perjalanan. Semalam Aisyah keasyikan ngobrol dengan
emaknya, sehingga sang kantuk cepat sekali menyergap mata Aisyah.
Aisyah
tidak menyangka kalau ia akan mendapatkan kursi bersebelahan dengan seorang
pria yang bertubuh besar, berkulit hitam, dan berwajah bengis. Matanya tidak
bisa terpejam karena Aisyah merasa tidak nyaman dengan orang yang duduk di
sebelahnya.
“Huaah
...” Aisyah menguap sambil menutup mulut dengan kedua telapak tangannya.
“Ngantuk
Neng?” tanya seorang pria yang duduk di samping Aisyah.
“Eh,
iya, maaf ya Pak, saya ngantuk sekali.” jawab Aisyah sambil mengubah posisi
duduknya agak membelakangi orang itu.
“Mau
kemana?” tanya pria yang berperingai bengis itu
“Jakarta.”
jawab Aisyah sambil membuka buku, supaya pria itu tidak banyak nanya lagi.
“Oh,
sama dong.” jawab si pria itu dengan suara beratnya.
Aisyah
masih tidak dapat memejamkan matanya. Orang yang duduk di samping dan di depan
Aisyah matanya terus saja tertuju pada Aisyah. Aisyah merasa risih dengan
situasi seperti itu. Lalu menutup wajahnya dengan buku.
Aisyah
tidak begitu mempedulikan pria itu. Karena merasa obrolannya tidak ditanggapi
Aisyah, lelaki bertato itu pun berhenti bertanya-tanya pada Aisyah. Lalu ia
mengambil hapenya dan menelepon seseorang. Suaranya nyaris tak terdengar,
seperti sedang berbisik. Namun, karena
jaraknya yang dekat dengan telingan Aisyah, bisiskan itu terdengar oleh Aisyah
dengan jelas.
Deg!
Jantung Aisyah berdegup kencang. Ia mendengar bisikan lelaki itu
menyebut-nyebut nama Dimas, Berta, dan sesekali lelaki berwajah bengis itu
tertawa sinis.
Tubuh
Aisyah serasa tersengat aliran listrik, hatinya bergejolak. Ya! Aisyah merasa
yakin kalau lelaki yang duduk di sampingnya itu, terlibat kasus bapaknya. Rasa
kantuk pun kabur seketika. Diperhatikannya lelaki yang duduk di sebelahnya
dalam-dalam. Telinganya dipasang lebih tajam lagi.
“Hm
..., ternyata memang benar ada yang
tidak beres dengan kasus bapak. Bapak dijebak orang ini. Jahat sekali dia. Awas
tunggu ya pembalasanku, hai orang jelek!” geram hati Aisyah kian membara.
Diam-diam
Aisyah merekam dan memotret lelaki itu. Aisyah ingin segera sampai ke tempat
tujuan. Dia ingin segera beraksi menuntaskan masalah ini. Dalam keadaan seperti
ini kereta terasa melaju begitu perlahan. Aisyah tak kuat manahan gejolak rasa.
Ingin rasanya meninju lelaki itu, tapi Aisyah harus bisa menahan diri. Ini
bukan waktu yang tepat untuk beraksi
Laju
kereta pun melambat. Aisyah segera berdiri, siap-siap berkemas turun.
“Turun
di sini, Neng?” tanya lelaki itu lagi
Aisyah
tidak menjawab. Wajahnya menatap tajam pada lelaki itu, kebencian mulai
menyeruak di hati Aisyah. ”Cis! jijik aku lihat wajahmu.” ucap Aisyah dalam
hati
“Eh
ditanya malah manyun gitu.” Lelaki itu menyeringai. Kebencian Aisyah pun
semakin memuncak. Aisyah pun pergi meninggalkan lelaki itu. Bergegas dia turun
dari kereta. Langsung menuju kantor pengacara Dedi Stanzah dengan menggunakan
kendaraan on line.
Tidak
begitu susah untuk mendapatkan alamat kantornya. Setibanya di kantor pengacara,
Aisyah disambut hangat oleh staf Pak Dedi, karena sebelumnya sudah
diberitahukan bahwa hari ini Aisyah mulai bekerja di kantor pengacara Dedi
Stanzah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar