Sabtu, 04 Juli 2020

Romantika Aisyah 19



Bab 19

Bisikan di Kereta



Waktu terus bergulir, hingga menghantarkan Aisyah pada puncak acara wisuda. Aisyah menyabet IPK dengan angka 4,0 dan berhak menyandang gerlar  Sarjana Hukum. Sebuah prestasi yang gemilang, yang tidak semua orang bisa meraihnya dengan mudah.

Kegemilangan prestasi itu tidak didapat dengan cara yang mudah. Aisyah harus melaluinya dengan penuh perjuangan. Bagaimana dia harus membagi waktu antara belajar dan bekerja. Bagaimana menahan rasa dari gejolak hasrat asmara. Bagaimana bisa menghalau godaan – godaan kehidupan yang membawa pada kesesatan, dan seabreg godaan lainnya yang datang silih berganti.

“Mak, ini untuk emak.” ucap Aisyah sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam gulungan kerta  ijazah.

“Apa ini Nak?” tanya Sutinah sambil menetekan air matanya  menahan haru.

“Ini ijazah Aisyah Mak, Aisyah sekarang sudah menjadi sarjana. Berkat doa emak akhirnya Aisyah bisa meraih gelar Sarjana Hukum, Mak.” isak tangis Aisyah menambah keharuan suasana.

“Aisyah ..., alhamdulillah, Nak,” ucap Sutinah sambil memeluk Aisyah,

Mereka saling berpelukan atas sebuah rasa syukur yang tidak terkira. Siapa sangka Aisyah yang dulunya hanya bocah ingusan, hidup terkatung-katung tak menentu. Mengais rejeki dari rumah ke rumah menjadi tukang cuci, hingga rumahnya kebakaran, ditinggal bapak dan emaknya, kini ..., Aisyah menjadi seorang sarjana.   

Suasana begitu bergemuruh, hiruk pikuk orang-orang yang merayakannya membuat seisi gedung itu menggema. Hampir di setiap sudut ruangan tampak orang-orang mengabadikan moment ini dengan foto bersama. Melihat pemandangan seperti itu, Aisyah hanya menahan rasa yang mengganjal di dalam dadanya.

 “Seandainya bapak ada, mungkin aku pun bisa berfoto seperti mereka. Ada emak, bapak, de akbar ...., ah kapan kita bisa berkumpul seperti dulu ya, Pak” ucap Aisyah dalam hati. Lamunannya terus membayang bayangi sosok bapaknya yang sedang menjalani hukuman seumur hidup.

“Pak, Aisyah  sekarang sudah menjadi Sarjana Hukum, Aisyah akan usut sampai tuntas kasus bapak. Aisyah janji, Aisyah akan berjuang keras untuk memenangkan perkara bapak. Bapak yang sabar ya Pak.” geram hati Aisyah terus berkecamuk dalam dada.

“Hai! Kok melamun?” tegur Rama yang sejak tadi menunggu para wisudawan keluar dari gedung.

“Nih ...buat Kamu, selamat ya Aisyah.” ucap Rama kemudian sambil mengasongkan rangkaian bunga.

“Rama ...!” seru Aisyah dengan wajah berbinar-binar

“Hmmm ..., wangi, makasih ya,” ucap Aisyah sambil mencium rangkaian bunga pemberian Rama.

“Waduh, Nak Rama repot-repot bawain bunga buat Aisyah, emak jadi malu, emak malah gak ngasih.” ucap  Sutinah polos. 

Dilipatnya bibir Aisyah dalam-dalam sambil mengepalkan tangannya. Aisyah sudah tidak sabar ingin segera berkiprah di dunia hukum. Aisyah ingin menyelamatkan bapaknya.

“Ah, emak, bagi Aisyah emak sama Akbar bisa hadir di acara wisuda ini saja udah bagagia banget, apalagi kalau ada bapak ya Mak.” ucap Aisyah tertunduk sambil menciumi rangkaian bunga pemberian Rama.

Sesaat mereka termenung dengan lamunannya masing-masing. Kegaduhan di sekitarnya tidak dihiraukan. Aisyah kembali memeluk emaknya. Pelukannya semakin erat.

“Kak ..., ayo kita poto-poto dulu, tuh kak Rama udah nunggu dari tadi.” Akbar menarik-narik baju Aisyah.

Dari kejauhan Rama melambai-lambaikan tangannya. “Sini Aisyah! Foto di sini.”  ucap Rama mengajak Aisyah dan keluarga untuk berfoto bersama.

Kehadiran Rama pada acara wisudaan Aisyah membuat hati Aisyah terhibur. Walaupun perasaan sedih masih tersisa, karena bayangan bapaknya terus melekat.

Kesedihan Aisyah pun semakin berkurang ketika dia mendapat kata ucapan selamat dari salah seorang dosennya. Pak Dedi sudah mengincar Aisyah sejak dalam perkuliahan. Karena prestasi Aisyah yang gemilang, dia merekrut Aisyah sebagi stafnya sebagai pengacara.

“Aisyah, selamat ya.” ucap  pak Dedi.

“Oh ya, trima kasih Pak.” jawab Aisyah

“Aisyah, Kamu mau kan magang di kantor bapak?” tanya  Pak Dedi serius

“Dengan senang hati Pak.” jawab Aisyah sumringah.

Hampir saja Aisyah mau meloncat kegirangan. Betapa tidak, keinginan Aisyah dari dulu untuk bekerja di kantor Pak Dedi saat ini terwujud. Aisyah  tidak menyangka Pengacara sekaliber Dedi Stanzah merekrut dirinya.

“O ya, Pak, kenalkan ini ibu saya, ini adik saya, dan ini .... eu...ini teman saya.” ucap Aisyah mengenalkan orang-orang yang ada di sekitar itu.

“Yang ini teman atau teman?” canda Pak Dedi

Aisyah tersipu malu. Selama ini Aisyah hanya menganggap Rama sebagai teman biasa, tidak lebih. Aisyah tidak berani membuka hati untuk lelaki manapun. Termasuk Rama yang sudah akrab dengan keluarga.

“Kami teman satu hati Pak.” Tiba-tiba saja Rama menimpali percakapan.

“Ahahaha ... bisa aja Kamu.” ucap Pak Dedi tertawa sambil menepuk bahu Rama.

Rama mengerlingkan matanya pada Aisyah. Aisyah menjadi salah tingkah. Akhirnya suasana saat itu penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan.



***

“Mak, Aisyah hari ini harus pergi ke Jakarta, Aisyah akan memulai kehidupan baru di Jakarta. Mak denger sendiri kan, kemarin Pak Dedi menawarkan pekerjaan buat Aisyah. Ini kesempetan yang baik Mak, gak mungkin Aisyah tolak.” ucap Aisyah semangat.

“Mak, doakan Aisyah ya, ke depannya Aisyah ingin buka kantor pengacara sendiri, sekarang Aisyah masih harus banyak berguru dulu ke pengacara kondang seperti Pak Dedi. Aisyah ingin mengusut tuntas kasus kematian ibu Berta, Aisyah merasakan ada keganjilan dari kasus itu, Mak,” lanjut Aisyah.

Mata Sutinah berkaca-kaca, ia merasa terharu dengan niat anaknya. Akhirnya Sutinah pun tak dapat membendung air matanya. Ia menagis sambil memeluk Aisyah.

“Aisyah, emak gak menyangka  kalau tekad kamu sekuat  ini. Emak akan selalu mendoakan Kamu. Sesibuk apapun Kamu, jangan pernah tinggalkan salat yang lima waktu ya Nak.”  ucap Sutinah sambil membelai kepala Aisyah yang tertutup kerudung hitam.

Aisyah memang selalu memakai kerudung warna hitam. Hitam menjadi warna favoritnya.  Entah sejak kapan Aisyah menyukai warna itu. Aisyah merasa warna hitam itu menjiwai kehidupannya yang penuh dengan penderitaan.

“Akbar, Kamu jaga emak baik-baik ya, kakak berangkat ke Jakarta untuk bekerja.” ucap Aisyah kepada Akbar yang sedari tadi duduk di samping emaknya sambil memegang lengan emak seolah tidak mau terpisahkan.

“Akbar...,  jangan bermalas-malasan, belajar yang tekun, bantu emak bekerja, jangan terlalu banyak main. Lihat kakak! Kakak bisa sampai menjadi sarjana ini karena kakak tidak pernah kenal lelah. Kita harus bangkit dari keadaan seperti ini.  Kita bisa, dan harus bisa, sebisa-bisa kita, pasti bisa. Camkan itu ya Dek.” ucap Aisyah memberi keyakinan kepada adiknya. 

Aisyah memegang pundak Akbar dan mencium keningnya, lalu berbisik lembut di telinga adiknya. ”Jangan buat emak menangis, jangan buat emak jegkel, jangan buat emak capek. Bahagiakan orang tua kita, karena itulah surga kita, ya Dek.” Akbar manggut-manggut sebagai tanda ia setuju dan nurut pada Aisyah.

Setelah berpamitan pada emak dan adiknya, Aisyah pun pergi meninggalkan kampung halamannya. Sebenarnya Aisyah merasa berat hati meninggalkan emak dan adiknya. Namun, demi sebuah cita-cita ia harus rela berpisah untuk sementara dengan kedua orang yang sangat disayanginya itu.

***

Suara laju kereta mengiringi keberangkatan Aisyah ke Jakarta. Aisyah memilih kursi dekat jendela. Di posisi ini Aisyah merasa lebih nyaman dan bisa menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Semalam Aisyah keasyikan ngobrol dengan emaknya, sehingga sang kantuk cepat sekali menyergap mata  Aisyah.

Aisyah tidak menyangka kalau ia akan mendapatkan kursi bersebelahan dengan seorang pria yang bertubuh besar, berkulit hitam, dan berwajah bengis. Matanya tidak bisa terpejam karena Aisyah merasa tidak nyaman dengan orang yang duduk di sebelahnya.

“Huaah ...” Aisyah menguap sambil menutup mulut dengan kedua telapak tangannya.

“Ngantuk Neng?” tanya seorang pria yang duduk di samping Aisyah.

“Eh, iya, maaf ya Pak, saya ngantuk sekali.” jawab Aisyah sambil mengubah posisi duduknya agak membelakangi orang itu.

“Mau kemana?” tanya pria yang berperingai bengis itu

“Jakarta.” jawab Aisyah sambil membuka buku, supaya pria itu tidak banyak nanya lagi.

“Oh, sama dong.” jawab si pria itu dengan suara beratnya.

Aisyah masih tidak dapat memejamkan matanya. Orang yang duduk di samping dan di depan Aisyah matanya terus saja tertuju pada Aisyah. Aisyah merasa risih dengan situasi seperti itu. Lalu menutup wajahnya dengan buku.

Aisyah tidak begitu mempedulikan pria itu. Karena merasa obrolannya tidak ditanggapi Aisyah, lelaki bertato itu pun berhenti bertanya-tanya pada Aisyah. Lalu ia mengambil hapenya dan menelepon seseorang. Suaranya nyaris tak terdengar, seperti  sedang berbisik. Namun, karena jaraknya yang dekat dengan telingan Aisyah, bisiskan itu terdengar oleh Aisyah dengan jelas.

Deg! Jantung Aisyah berdegup kencang. Ia mendengar bisikan lelaki itu menyebut-nyebut nama Dimas, Berta, dan sesekali lelaki berwajah bengis itu tertawa sinis.

Tubuh Aisyah serasa tersengat aliran listrik, hatinya bergejolak. Ya! Aisyah merasa yakin kalau lelaki  yang duduk  di sampingnya itu, terlibat kasus bapaknya. Rasa kantuk pun kabur seketika. Diperhatikannya lelaki yang duduk di sebelahnya dalam-dalam. Telinganya dipasang lebih tajam lagi.

“Hm ..., ternyata  memang benar ada yang tidak beres dengan kasus bapak. Bapak dijebak orang ini. Jahat sekali dia. Awas tunggu ya pembalasanku, hai orang jelek!” geram hati Aisyah kian membara.

Diam-diam Aisyah merekam dan memotret lelaki itu. Aisyah ingin segera sampai ke tempat tujuan. Dia ingin segera beraksi menuntaskan masalah ini. Dalam keadaan seperti ini kereta terasa melaju begitu perlahan. Aisyah tak kuat manahan gejolak rasa. Ingin rasanya meninju lelaki itu, tapi Aisyah harus bisa menahan diri. Ini bukan waktu yang tepat untuk beraksi

Laju kereta pun melambat. Aisyah segera berdiri, siap-siap berkemas turun.

“Turun di sini, Neng?” tanya lelaki itu lagi

Aisyah tidak menjawab. Wajahnya menatap tajam pada lelaki itu, kebencian mulai menyeruak di hati Aisyah. ”Cis! jijik aku lihat wajahmu.” ucap Aisyah dalam hati

“Eh ditanya malah manyun gitu.” Lelaki itu menyeringai. Kebencian Aisyah pun semakin memuncak. Aisyah pun pergi meninggalkan lelaki itu. Bergegas dia turun dari kereta. Langsung menuju kantor pengacara Dedi Stanzah dengan menggunakan kendaraan on line.

Tidak begitu susah untuk mendapatkan alamat kantornya. Setibanya di kantor pengacara, Aisyah disambut hangat oleh staf Pak Dedi, karena sebelumnya sudah diberitahukan bahwa hari ini Aisyah mulai bekerja di kantor pengacara Dedi Stanzah.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat Berkah di SDN Karanganyar

  Masya Allah Tabarakallah, rezeki buat anak-anak soleh dan solehan siswa SDN Karanganyar. Hari ini, Jumat, 01 September 2023 ada seorang ha...