Hingar bingar dan gelak tawa menyemarakkan rumah Berta. Siang itu digelar pesta perayaan keberuntungan.
Berta mengundang seluruh anak buahnya. Berbagai makanan disajikan. Bahkan
minuman keras pun disajikan.
“Hey, Dimas! Kenapa kamu melamun saja? Ayo, gabung sini …
kita rayakan kemenangan ini. Hari ini
aku dapat nasabah banyak sekali. Sudah bisa diperhitungkan, kita akan mengeruk
keuntungan yang banyak … ha-ha-ha. Dasar bodoh orang-orang kampung itu,” kata Berta sambil tertawa.
Berta adalah pengusaha bank
keliling. Kekayaannya diperoleh dari jasa pinjaman yang
mencekik leher nasabah. Hampir semua warga menjadi nasabahnya. Orang-orang yang menjadi nasabah Berta adalah orang yang sudah kepepet, tak ada jalan lain untuk
mendapat pinjaman. Walaupun bunga pinjaman cukup besar, tetapi ada saja orang yang meminjam.
Dimas adalah adalah anak buah
kesayangan Berta. Karena Dimas mempunyai
paras yang rupawan, Berta pun menjadikannya teman hidup. Berta begitu mencintai
Dimas. Makanya, Berta tega merebut Dimas dari
Sutinah. Dengan uang, orang bisa memiliki apa saja. Tapi tidak untuk memebeli
cinta, karena Dimas tidak mencintai Berta.
Dia hanya memanfaatkan Berta demi mengeruk rupiah untuk mencukupi kebutuhannya.
Sebenarnya, Dimas mau menjadi suami Berta karena terpaksa. Berta sudah memberikan
fasilitas kehidupan. Tinggal di rumah mewah, mobil, pakaian, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Apa pun yang
diinginkan Dimas, Berta selalu memenuhinya. Hanya satu permohonan Dimas yang
tidak dikabulkan Berta, yaitu menerima anaknya untuk tinggal bersama di rumah
Berta.
Hidup Dimas, walaupun bergelimang harta, hatinya terasa dipenjara. Tak ubahnya
dia bagai keledai yang selalu harus mengukuti perintah
majikannya. Dimas ingin segera terlepas dari kungkungan kekuasaan Berta. Dimas
sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan Berta yang semena-mena terhadap dirinya.
Hingga pada suatu malam, Dimas
memberanikan diri untuk bicara.
“Berta, sampai kapan aku akan terus
begini? Aku ingin membawa anak-anakku kemari. Aku mohon Berta, izinkan mereka
tinggal di sini,” pinta Dimas merayu.
“Dimas, aku sudah berulang kali
mengatakan, aku enggak bisa menerima mereka tinggal di
sini. Apa kata dunia, jika anak-anakmu tinggal di sini? Mungkin dunia akan menertawakanku,
karena aku tidak pernah hamil tapi punya anak,” jelas Berta sambil terhuyung.
“Kalau kamu mencintaiku, penuhi
permintaanku, Berta. Kalau tidak, aku akan pergi dari rumah ini!” ancam Dimas.
“Oh, rupanya kamu mengancam aku?
Silakan kalau kamu mau pergi dari sini, tapi bayar
utang-utangmu dulu, ahaha!” gertak Berta.
“Sudahlah Dimas, kurang apa aku ini?
Utangmu kuanggap lunas, asalkan kamu tetap bersamaku. Aku juga mengerti
perasaanmu. Kamu pasti berat hati meninggalkan anak-anakmu, kan, karena si Sutinah tidak becus mengurus anak-anaknya?” ucap Berta kemudian.
“Jangan bawa-bawa nama istriku. Asal kamu tahu Berta, dia menderita
sakit jiwa, itu karena ulahmu. Kamu menekan aku agar memaksa
menceraikan dia. Aku sudah tidak tahan lagi Berta. Hitung semua utangku yang belum kulunasi! Aku akan pergi,” kata Dimas mengancam.
“Hebat … hebat … sudah berani rupanya, ya, kamu. Oke, kita lihat seberapa beraninya kamu,” ucap Berta meledek sambil bertepuk
tangan. Dimas tak mengerti dengan ucapan Berta. Mengapa Berta seolah ingin
menguji keberaniannya? Dan apa makna dari tepuk tangannya itu?
“Ucok! Boni! Garap!” perintah Berta
kepada para bodyguard-nya.
Muncullah dua bodyguard bertubuh kekar, menghampiri Dimas. Si Ucok langsung
memegang tubuh Dimas dari arah belakang, sedangkan si Boni memukul perut Dimas.
Dimas meringis kesakitan.
“Aduh! Apa-apaan ini, Berta?” tanya Dimas mengaduh kesakitan. Namun, para bodyguard itu tetap saja memukul. Dimas tidak bisa melawan karena tubuhnya
dicengkram kedua orang yang bertubuh kekar itu. semakin Dimas meronta, semakin
keras pukulan yang dia terima.
“Ha-ha-ha … itulah ganjarannya bagi
orang yang berani menantangku. Sekarang, ayo tunjukkan keberanianmu! Ayo! Ayo, Dimas, mana keberaniannu? Kamu mau pergi dariku? Silakan, tapi
hadapi dulu dua banteng peliharaanku ini, ahahaha.” Berta tertawa sinis
“Apa salahku, Berta?” tanya Dimas sambil meringis kesakitan.
“Oh, tidak, sayang. Kamu tidak salah
apa-apa, wajahmu terlalu tampan untuk disalahkan. Ya! Tapi karena itu, kamu salah!” teriak Berta, persis atlet sumo yang siap berperang.
Siapa pun tidak ada yang berani melawan wanita berbobot 159 kg itu.
“Lepas, lepaskan aku! Ampun, sakit! Tolong, Berta, aku tak kuat lagi” Dimas memohon. Tubuhnya yang kurus itu terkulai
lemas. Dia sama sekali tidak berdaya.
“Baik, kamu akan saya lepaskan. Tapi kamu harus berjanji tidak akan pernah
meninggalkanku lagi. Paham, Dimasku
sayang? Ahahaha,” ucap Berta sambil mengusap kepala Dimas.
“Ya, ya, aku janji … aku tidak akan
pergi. Aku akan menjagamu setiap saat. Aku janji, Berta. Please … lepaskan aku,” pinta Dimas.
Berta pun memerintahkan para bodyguard-nya untuk melepaskan Dimas.
“Bawa dia ke tempat pesta!” perintah
Berta.
Dibawanya Dimas ke sebuah ruangan
gelap, kotor, dan bau. Berta menamakan itu adalah
sebuah tempat pesta bagi anak buahnya yang melawan perintah. Ya, pesta untuk
kecoa dan tikus yang berkeliaran di tempat itu. Dimas meronta dan berteriak.
Namun, hanya gelak tawa yang dia terima dari Berta.
“Blug! Cekrek!” Suara pintu ditutup keras dan dikunci. Tinggallah Dimas dalam
kegelapan. Pesta pun dimulai. Suara tikus mencicit seolah menyambut kedatangan
Dimas di ruangan itu. Kecoa-kecoa pun mulai merayap ke tubuh
Dimas.
Dimas melolong seperti srigala di
malam hari. Sampai akhirnya, Dimas merasa lelah. Semakin pelan lolongannya, semakin
pasrah atas apa yang menimpa pada dirinya. Seharian Dimas berpesta pora bersama
tikus dan kecoa dalam keadaan stres berat.
Dari kejadian itu, tekad Dimas
semakin kuat untuk segera pergi dari tempat laknat
itu. Dalam kegelapan, ada cahaya terang yang menyinari hati Dimas. Terlintas dalam
pikirannya ketika dia menyiksa istrinya, terbayang ketika dia meninggalkan
kedua anaknya yang sangat butuh pertolongan.
“Betapa dungunya aku ini. Dasar
goblok! Pecundang! Suami macam apa aku ini? Begitu tega meninggalkan istri yang sedang sakit tak berdaya …
Bapak macam apa aku ini? Begitu tega menelantarkan anak-anak
yang hidup dalam kesengsaraan …” jerit tangis Dimas dalam hati. Dia
memukul-mukul kepalanya sendiri sebagai tanda
penyesalan.
“Aku harus bangkit! Aku harus bisa
keluar dari tempat ini!” ucap Dimas dalam hati.
Sementara itu, Berta masih tetap asyik berpesta pora dengan para pengikutnya.
Hingga malam hari tiba, mereka kelelahan. Bekas botol minuman berserakan di mana saja. Semua orang terkulai lemas, tak terkecuali Berta. Namun,
dia masih bisa berjalan. Diam-diam dia meninggalkan tempat pesta itu, teringat
Dimas yang sedang disekap di ruangan gelap.
“Oh … Dimasku, Dimasku di mana … oh, kasihan sekali Dimasku sendirian di ruang itu, aku harus segera
mengeluarkan Dimas,” ucap Berta sambil berjalan
sempoyongan karena terlalu banyak minum minuman keras, mabuk.
“Ucoook! Buka pintu itu …” perintah Berta seperti orang
mabuk.
Dengan langkah gontai, si Ucok pun
membukakan pintu itu. Dasar orang sedang mabuk, agak lama dia membuka pintu itu
karena kuncinya tidak pas pada lubangnya.
“Hey, Badak! Cepat buka!” teriak
Berta.
“Bruk!” tubuh si Ucok terjatuh karena mabuk
berat, selanjutnya dia terkapar tidur.
“Dimas … Dimas sayang … bagaimana pestamu? Ahahhaha …” sapa
Berta.
“Berta, cepat keluarkan aku dari
sini. Aku sudah enggak kuat lagi, Berta,” teriak Dimas.
“Sabar, Sayang. Kamu akan aku keluarkan dari tempat pesta itu. Kita akan pindah ke tempat pesta
lain, ahaha,” ucap Berta masih dalam keadaan
mabuk berat.
Ketika pintu itu terbuka, ada sinar
terang yang membantu penglihatan Dimas. Dimas langsung beraksi. Dia sangat
paham dengan situasi yang sedang terjadi. Keadaan itu dia manfaatkan untuk
menghabisi Berta. Tangan Berta ditarik ke dalam ruangan. Secepat kilat pandangannya
melihat ada benda panjang terbuat dari besi. Tak berpikir terlalu lama, diambilnya benda itu, langsung
dihantamkan ke tubuh Berta.
Tak ada suara jeritan dari mulut
Berta, karena sekali hantam, Berta langsung ambruk, tertelungkup di lantai.
Kesempatan ini tidak disia-siakan Dimas. Dimas segera keluar dari kamar gelap
itu. Dibiarkannya Berta di dalam kamar itu. tubuh Berta ditutupi benda-benda
yang ada di sekitar ruangan itu, lalu pintu itu dikunci dari luar.
“Hmm … mampus kau, Berta! Rasakan itu pembalasan dariku!” geram Dimas dalam hati.
Dimas merasa heran, kenapa Berta serapuh itu. Hantaman yang dia berikan
sebenarnya tidak terlalu keras, apalagi tubuh Berta begitu kokoh. Perlu seribu
hantanam untuk merobohkan tubuh Berta.
Dimas ingin segera kabur dari tempat
itu. Namun, sempat terpikir olehnya untuk mengambil semua benda berharga milik Berta. Dimas pun beraksi kembali.
Semua barang berharga dikurasnya sampai habis. Dia bisa dengan leluasa beraksi
karena semua orang sedang terkapar, mabuk berat.
Setelah berhasil menghabisi nyawa
Berta, Dimas pun kabur meninggalkan rumah Berta.
***
Keesokan harinya, rumah Berta tampak sepi. Tidak ada aktivitas
sebagaimana biasanya. Pagi itu, semua penghuni rumah itu masih tertidur pulas. Pesta pora semalam
suntuk sudah membuat suasana berantakan. Hanya Bi Ningrum, seorang pelayan yang
sudah bangun. Bi Ningrum memang tidak ikut mabuk semalam. Dia sudah tidur sejak
pukul sembilan malam.
“Waduh, sudah sesiang ini belum pada
bangun. Ih, berantakan sekali. Bau apa ini?” gumam
Bi Ningrum sambil mengendus aroma kurang sedap di sekitar ruangan itu.
“Hmm … mereka rupanya mabuk berat,” ucap Ningrum kemudian.
Ningrum pun segera membangunkan
orang-orang yang masih tergeletak tidur di mana saja. Satu per satu mereka
menggeliat, lalu tersadar dari kantuknya. Bi Ningrum segera mengingatkan mereka
agar segera kembali bekerja sesuai posnya masing-masing.
“Ayo, bangun! Bangun … bangun! Kerja … kerja! Waduh, kalian ini bagaimana?
Tidur kok kayak kebo? Kalau Bu Berta tahu kalian masih
begini, hancur deh, kalian.” Bi Ningrum mengingatkan.
Beberapa jam kemudian, suasana di
rumah Berta pun kembali seperti biasa. Semua orang sudah
berada pada posnya masing-masing. Namun, ada kejanggalan yang
membuat Bi Ningrum curiga. Dia tidak melihat Bu Berta dan Dimas di rumah itu.
Satu per satu ditanyainya. Semuanya hanya
menggelengkan kepala.
Kecurigaan Bi Ningrum semakin
mendalam, ketika dia tidak mendapatkan keduanya sampai sore hari. Semua orang
mencari keberadaaan Berta dan Dimas. Si Ucok baru tersadar, bahwa Dimas sedang
disekap ruangan gelap. Ia pun segera menuju kamar itu. Dia hendak masuk ruangan
itu, tapi masih terkunci.
“Ya, aku ingat. Kemarin aku menyekap Dimas di ruangan ini. Bagaimana, kawan? Apakah
kita dobrak saja pintu ini? Mungkin si Dimas masih tertidur di
ruangan ini,” tanya Ucok kepada teman-temannya.
“Lo, bukankah kamu yang pegang kunci kamar itu?”
tanya Bi Ningrum.
“Aku lupa, Bi, di mana kunci itu kutaruh. Semalam aku mabuk berat, hingga aku
tak sadarkan diri. Sudahlah, kita dobrak saja. Aku curiga, sejak pagi tadi aku tidak mendengar
suara teriakan si Dimas minta tolong. Atau mungkin dia sudah mulai menikmati pesta di ruangan ini?” ucap Ucok dengan gaya meledek.
“Ya, kita dobrak saja. Siapa tahu si Dimas itu pingsan di
dalam,” jawab si Doni, salah seorang pekerja di rumah itu.
“Jangan! Kita tunggu perintah Bu
Berta dulu. Kalian tahu sendiri, bagaimana watak dia jika kita bekerja tidak
sesuai dengan perintahnya? Wah, alamat gunjang-ganjing rumah ini. Sudah, sudah, kita bubar saja. Kita tunggu perintah Bu Berta saja,” ujar Bi Ningrum.
“Menunggu sampai kapan, Bi? Sampai sekarang kita belum bertemu dengan Bu Berta. Apakah Bu
Berta pergi dengan si Dimas? Ah, tidak mungkin. Semua mobil ada di garasi. Mereka tidak mungkin jauh-jauh dari rumah
ini. Ya sudah, kita tunggu saja sampai besok.”
Ucok mengomandoi semuanya.
***
Hari berganti hari, hingga sampailah pada hari ke tiga belas. Kabar
tentang menghilangnya Dimas dan Berta menjadi sebuah misteri. Kegelisahan menyergap semua orang yang ada di rumah itu. Tak ada satu orang
pun yang berani membuka pintu ruangan itu. Hingga kemudian, bau busuk menyengat hidung mulai tercium.
Akhirnya, mereka berunding dan sepakat untuk
mendobrak pintu ruang sekap itu. Dan … apa yang
terjadi? Sontak semua orang terbelalak melihat apa yang terjadi di runagan itu.
Tikus-tikus menyambutnya dengan penuh suka cita. Kecoa berhamburan. Bau busuk
menyengat semakin kuat.
Mayat Berta tergeletak dengan wujud
yang menyeramkan. Semua orang merasakan mual yang teramat hebat. Muntah
berhamburan di mana saja.
Di luar dugaan, mereka mengira itu adalah mayat Dimas yang
dibunuh oleh Berta, lalu Berta kebur melarikan diri
karena merasa takut. Tapi kenyataannya, yang
tergeletak di lantai itu adalah mayat Berta. Lalu ke mana si Dimas?
Kejadian ini langsung ditangani oleh
pihak yang berwajib. Kampung Sukamiskin geger dengan berita kematian Berta. Hilangnya
Dimas pun menjadi gosip utama warga kampung itu. Dimas tidak diketahui
keberadaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar