Sabtu, 04 Juli 2020

Romantika Aisyah 16



Bab 16

Aisyah Pulang



Sebulan sudah Dimas mendekam di terali besi. Namun, belum juga ada keputusan hakim yang manjatuhkan hukuman kepada Dimas. Selama sebulan pula pula hidup Aisyah terkatung-katung. Tante Meyda semakin semena-mena memperlakukan Aisyah.

Kekesalannya pada Dimas, ditumpahkan kepada Aisyah. Aisyah   nyaris seperti pembantu. Aisyah   sudah tak sanggup lagi tinggal di rumah Tante Meyda. Dia ingin berontak, pergi dari rumah itu. Tapi bagaimana dengan nasib bapaknya? Jika berontak pada Tante Meyda, khawatir Tante Meyda tidak bisa menolong bapaknya.

Namun, Aisyah   melihat kejadian yang janggal di rumah itu. Tante Meyda sering jalan bersama lelaki lain. Bahkan, sering ada tamu lelaki yang selalu mengunjungi Tante Meyda. Hingga pada suatu saat, Aisyah   memergoki ibu tirinya sedang berbincang dengan seorang lelaki di ruang tamu.

“Hey! Aisyah  ... anak gak tahu diuntung ya, kalau mau masuk rumah ketuk dulu dong pintunya!” bentak Meyda

“I ..., iya Bu, Maaf, Aisyah   gak tahu kalau di rumah sedang ada tamu.”

Aisyah  tampak gugup karena dibentak oleh Meyda di hadapan tamu itu.

“Ya sudah masuk sana, ngapain Kamu masih berdiri di situ?” bentak Meyda kemudian.

Aisyah  pun menuruti perintah ibu tirinya. Lalau masuk ke kamarnya. Dihempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dalam keadaan telentang, kedua tangannya dijadikan bantalan, pandangannya menerawang ke atas langit-langit kamar.

“Aku sama sekali tak menyangka, kalau Tante Meyda setega itu pada bapak. Aku pikir, dia akan membantu bapak keluar dari tahanan. Eh ..., ia malah sibuk dengan tamu-tamu lelakinya. Mungkinkah Tante Meyda melupakan bapak?” kata hati Aisyah mempertanyakan sikap ibu tirinya.

“Aisyah ...!” suara Tante Meyda membuyarkan lamunan Aisyah.

Spontas Aisyah   bangkit dari pembaringannya, lalu menghampiri ibu tirinya. Pandangannya sungguh tidak nyaman, karena Aisyah   melihat tamu lelaki itu tangannya melingkar di bahu ibu tirinya.

“Iya Bu.”

“Duduk!”

“Aisyah, kenalkan ini ..., ini calon suami ibu.” kata Meyda.

Aisyah   terperanjat. Bagai mendengar petir di siang bolong Tante Meyda berkata seperti itu.

“Apa Bu, dia calon suami ibu?” tanya Aisyah  

“Ya, kenapa? Kurang jelas?” jawab Meyda sambil melotot

“Lalu ..., bagaimana dengan bapak, Bu?” tanya Aisyah  penuh keheranan

“Biar saja bapakmu membusuk di penjara, aku menyesal menikah dengan bapakmu, aku pikir dia orang baik-baik. Hh! Dibalik keluguannya ternyata bapakmu seorang pembunuh!” ucap Meyda kesal

“Tapi Bu, itu kan belum tentu benar, kasus bapak masih dalam penyelidikan polisi, makanya sampai sekarang belum ada putusan.” jawab Aisyah   tegas

“Sampai kapan ibu harus menunggu, Aisyah? Sudah, sekarang bukan waktunya unutk berdebat. Ibu hanya ingin mengatakan bahwa mulai besok silakan Kamu angkat kaki dari rumah ini.”

“Bu ...,” ucap Aisyah   meminta kepastian

“Kenapa? Bukannya itu maumu, Kamu sudah lama kan ... mau pergi dari rumah ini? Nah, sekaranglah waktunya. Pergi sana! Temui ibumu di kampung!” seru Meyda sambil melempar uang ke arah Aisyah.

Uang itu jatuh pas mengenai kaki Aisyah. Merasa terhinakan diperlakukan seperti itu, lalu Aisyah pun memungut uang itu, perlahan ia berdiri kembali ... ditatapnya wajah ibu tirinya dengan tatapan sinis. Reaksi yang tak terduga, tiba-tiba Aisyah   melemparkan kembali uang itu ke arah ibu tirinya.

“Silakan ibu ambil kembali uang itu, dengan senang hati aku akan pergi dari rumah ini.” Aisyah melawan ibu tirinya. Dibalikkan tubuhnya dan secepatnya Aisyah berlari meninggalkan tempat itu

“Eeh ..., kurang ajar ya kamu, beraninya kamu melawan  ibu. hh? Awas ya Kamu!” ....” gertak Meyda sambil hendak mengejar Aisyah. Untung saja si tamu lelaki itu melerai Meyda yang hendak menyerang Aisyah.

“Sudah, sudah, gak usah dikejar, biarkan dia pergi sendiri. Ayo sayang, sekarang mending kita teruskan perbincangan kita.” ucap lelaki itu.

Meyda pun melepaskan kepergian Aisyah begitu saja. Tak ada ucapan selamat tinggal, tak ada basa-basi. Aisyah berlalu begitu saja.



***

Begitu berat derita yang ditanggung Aisyah. Setelah bapaknya masuk penjara, kini ia diusir oleh ibu tirinya. Padahal seharusnya Aisyah meyiapkan diri untuk kelanjutan sekolahnya. Ia melangkah tak menentu. Belum ada tujuan yang pasti.

Selintas terbayang wajah emaknya yang merindu kepulangan dirinya, wajah adiknya yang selalu merengek meminta sesuatu, hawa perkampungan yang sejuk. Namun, bayangannya terhentak seketika ketika ia sadar bahwa bapaknya sekarang sedang menunggu uluran tangan seseorang agar terbebas dari tuduhan sebagai pembunuh.

Hatinya kian bekecamuk, Aisyah masih dalam kebimbangan, hendak kemana kakinya melangkah. “Ya Allah berilah petunjuk-Mu, harus kemana aku sekarang?” doa Aisyah dalam hati.

Seolah mendapat petunjuk, akhirnya Aisyah memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Untunglah Aisyah selalu menyisihkan uang jajan pemberian bapaknya. Tanpa berpikir panjang lagi, Aisyah pun bergegas mencari kendaraan umun menuju kampung halamannya.

Ia memilih menggunakan kereta. Walaupun belum pernah sama sekali ia bepergian dengan menggunakan kereta, tapi karena banyak bertanya akhirnya ia pun memberanikan diri naik kereta supaya cepat sampai di kampung halaman.

Laju kereta menghanyutkan lamunan Aisyah menerawang enam tahun yang lalu. Berbagai peristiwa yang ia alami datang berkelebat silih berganti dalam benaknya. Bayangannya masih kuat melekat ketika ia hidup dalam kesengsaraan. Emaknya yang sakit jiwa, kurang makanan, kebakaran rumah, perlakuan bengis dari Asep, mengurus adiknya yang masih bayi, semua itu ia jalani seorang diri. Satu-satunya orang yang menolong Aisyah pada waktu itu Bi Onah, pun rumahnya malah ketiban longsor. Hingga akhirnya Aisyah dibawa bapaknya ke Jakarta.

Tak terasa kereta pun berhenti di stasiun Bandung. Aisyah turun dari kereta, terus menyusuri jalan mencari arah pulang. Ia hampir lupa letak rumah emaknya, yang masih diingatnya adalah sekolah SD tempat ia belajar dulu. Dari situ dia dapat menelusuri rumahnya.

Berdebar hati Aisyah ketika sudah sampai di kampung halamannya. Orang – orang yang ia temui tidak mengenalinya, karena perawakan Aisyah sekarang tinggi, putih, dan bersih. Kecantikannya semakin terpacar karena ia selalu tersenyum kepada siapa pun yang ia temui.

Di tengah perjalanan ia bertemu dengan Mang Kuyan.  

“Mang, ... ini Mang Kuyan kan? Sehat Mang?” ucap Aisyah sambil menjulurkan tangannya hendak menyalami  Mang Kuyan. Mang Kuyan mengernyitkan alisnya, dia tidak mengenali Aisyah.

“Iya, Neng teh siapa?” tanya Mang Kuyan heran.

“Saya Aisyah, Mang. Anaknya Bu Sutinah, Mang masih ingat kan?” jawab Aisyah sambil tersenyum manis.

“Hah! Bener ini teh Aisyah?” kata Mang Kuyan sambil mengedip ngedipkan matanya untuk meyakinkan penglihatannya.

“Iya Mang, sudah lama ya kita gak ketemu, Aisyah kangen sama emak, adik, kampung ini ..., hmmm masih seperti yang dulu ya Mang.”  ucap Aisyah sambil melihat keadaan sekeliling.

“Kemana aja Kamu Aisyah? Wah ..., sekarang Kamu tambah cantik ya, Mamang sampai pangling.”

“Aisyah selama ini tinggal di Jakarta Mang.”

“Jakarta?  Sama siapa? Kerja?”

“Aisyah tinggal sama ...”

Aisyah tidak melanjutkan  perkataannya. Ia sadar kalau memberitahukan yang sebenarnya bahwa ia tinggal bersama bapaknya, pasti masalah ini akan jadi masalah besar.

“A ..., anu, Aisyah di Jakarta kerja Mang, jadi Aisyah tinggal bersama majikan.” jawab Aisyah gugup. Ia terpaksa harus berbohong demi menjaga rahasia keberadaan bapaknya.

“Ooh ..., ya pantesan, penampilan kamu sekarang seperti anak gedongan, ayo mamang antar ke rumahmu.”

“Gak usah Mang, trimakasih, biar Aisyah jalan sendiri aja.”

Aisyah pun melanjutkan perjalannya. Menyusuri pematang sawah, melewati jalan setapak, hingga akhirnya sampai di depan rumah. Aisyah berhenti sejenak sebelum masuk ke rumah. dipandanginya keadaan sekitar rumah. Ada rasa menyelinap di dada, kembali bayangan masa lalunya berkelebat. Ditepisnya bayanag masa lalu itu, karena ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan emak dan adiknya.

Assalamuialaikum ...,” ucap Aisyah perlahan. Sengaja ia tidak menyaringkan suaranya agar tidak membuat emak terkejut. Tidak terdengar suara emak menyahut. Lalu Aisyah pun masuk ke rumah.

“Mak ... De...., Assalamualaikum ... Aisyah pulang Mak.”

Masih juga belum ada sahutan. Aisyah penasaran, rumah tidak di kunci tapi emak dan adiknya tidak ada di rumah. Ia melihat-lihat setiap sudut ruangan di rumah itu. masih seperti dulu. Sambil menunggu emak dan adiknya, ia duduk di atas dipan yang menjadi tempat pembaringannya dulu. Kembali bayangan itu membawa Aisyah ke masa lalu.

“Braak ...!” terdenagr suara dari luar. Aisyah terperanjat. Ia menduga emak dan adiknya datang. Lalu ia bangkit dari pembaringan, segera keluar untuk menemui emaknya. Dan ternyata memang benar dugaannya.

“Maaak ...” Aisyah memanggil emaknya setengah berteriak. Lalu dipeluk dan diciuminya. Namun, emaknya hanya mematung, tidak membalas pelukannya. Emaknya belum sadar bahwa yang datang adalah Aisyah. Anak yang selama ini selalu dirindukan siang dan malam.

“Ini siapa?” tanya Sutinah

“Ini Aisyah Mak ....” jawab Aisyah  terisak sambil menempelkan telapak tangan emaknya ke wajah Aisyah.

“Aisyah pulang Mak..., hu hu.” tangis Aisyah pecah mencurahkan berbagai rasa kepada emaknya.

“De, ini kakak Aisyah, sudah besar kamu ya De.” Aisyah gantian memeluk adiknya. Akhirnya mereka berpelukan dalam tangis yang mengharukan.

***

Setelah mencurahkan rasa rindu yang begitu dalam. Aisyah pun mulai menceritakan perjalanan hidupnya selama ia tinggal di Jakarta bersama bapaknya. Aisyah sangat hati-hati dalam merangkai kata-kata, karena ia tidak mau emaknya syok mendengar cerita Aisyah yang penuh liku di Jakarta.

Namun, emaknya cukup mengerti dan bisa menerima kenyataan hidup apa adanya. Sutinah tidak begitu mempedulikan nasib suaminya. Ia pikir, biarlah suaminya menanggung akibat perbuatannya mendekam di penjara. Lain dengan Aisyah, ia ingin bapaknya diselamatkan, karena Aisyah yakin kalau bapaknya tidak terlibat kasus pembunuhan itu.

Kedatangan Aisyah membuat warga kampung terkejut. Hampir semua orang mendatangi rumah Aisyah. Mereka sekadar ingin tahu keberadaan Aisyah selama menghilang dari kampung selama enam tahun.

Aisyah pun berbagi kisah kepada warga kampung yang datang berkunjung ke rumahnya. Namun, satu hal yang tidak bisa ia ceritakan  kepada warga, yaitu keberadaan bapaknya yang mendekam di penjara.

1 komentar:

Jumat Berkah di SDN Karanganyar

  Masya Allah Tabarakallah, rezeki buat anak-anak soleh dan solehan siswa SDN Karanganyar. Hari ini, Jumat, 01 September 2023 ada seorang ha...