Bab
16
Aisyah
Pulang
Sebulan
sudah Dimas mendekam di terali besi. Namun, belum juga ada keputusan hakim yang
manjatuhkan hukuman kepada Dimas. Selama sebulan pula pula hidup Aisyah
terkatung-katung. Tante Meyda semakin semena-mena memperlakukan Aisyah.
Kekesalannya
pada Dimas, ditumpahkan kepada Aisyah. Aisyah nyaris seperti pembantu. Aisyah sudah tak sanggup lagi tinggal di rumah
Tante Meyda. Dia ingin berontak, pergi dari rumah itu. Tapi bagaimana dengan
nasib bapaknya? Jika berontak pada Tante Meyda, khawatir Tante Meyda tidak bisa
menolong bapaknya.
Namun,
Aisyah melihat kejadian yang janggal di
rumah itu. Tante Meyda sering jalan bersama lelaki lain. Bahkan, sering ada
tamu lelaki yang selalu mengunjungi Tante Meyda. Hingga pada suatu saat,
Aisyah memergoki ibu tirinya sedang
berbincang dengan seorang lelaki di ruang tamu.
“Hey!
Aisyah ... anak gak tahu diuntung ya,
kalau mau masuk rumah ketuk dulu dong pintunya!” bentak Meyda
“I
..., iya Bu, Maaf, Aisyah gak tahu
kalau di rumah sedang ada tamu.”
Aisyah tampak gugup karena dibentak oleh Meyda di hadapan
tamu itu.
“Ya
sudah masuk sana, ngapain Kamu masih berdiri di situ?” bentak Meyda kemudian.
Aisyah pun menuruti perintah ibu tirinya. Lalau masuk
ke kamarnya. Dihempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dalam keadaan telentang, kedua
tangannya dijadikan bantalan, pandangannya menerawang ke atas langit-langit
kamar.
“Aku
sama sekali tak menyangka, kalau Tante Meyda setega itu pada bapak. Aku pikir,
dia akan membantu bapak keluar dari tahanan. Eh ..., ia malah sibuk dengan
tamu-tamu lelakinya. Mungkinkah Tante Meyda melupakan bapak?” kata hati Aisyah
mempertanyakan sikap ibu tirinya.
“Aisyah
...!” suara Tante Meyda membuyarkan lamunan Aisyah.
Spontas
Aisyah bangkit dari pembaringannya,
lalu menghampiri ibu tirinya. Pandangannya sungguh tidak nyaman, karena
Aisyah melihat tamu lelaki itu
tangannya melingkar di bahu ibu tirinya.
“Iya
Bu.”
“Duduk!”
“Aisyah,
kenalkan ini ..., ini calon suami ibu.” kata Meyda.
Aisyah terperanjat. Bagai mendengar petir di siang
bolong Tante Meyda berkata seperti itu.
“Apa
Bu, dia calon suami ibu?” tanya Aisyah
“Ya,
kenapa? Kurang jelas?” jawab Meyda sambil melotot
“Lalu
..., bagaimana dengan bapak, Bu?” tanya Aisyah
penuh keheranan
“Biar
saja bapakmu membusuk di penjara, aku menyesal menikah dengan bapakmu, aku
pikir dia orang baik-baik. Hh! Dibalik keluguannya ternyata bapakmu seorang
pembunuh!” ucap Meyda kesal
“Tapi
Bu, itu kan belum tentu benar, kasus bapak masih dalam penyelidikan polisi,
makanya sampai sekarang belum ada putusan.” jawab Aisyah tegas
“Sampai
kapan ibu harus menunggu, Aisyah? Sudah, sekarang bukan waktunya unutk
berdebat. Ibu hanya ingin mengatakan bahwa mulai besok silakan Kamu angkat kaki
dari rumah ini.”
“Bu
...,” ucap Aisyah meminta kepastian
“Kenapa?
Bukannya itu maumu, Kamu sudah lama kan ... mau pergi dari rumah ini? Nah,
sekaranglah waktunya. Pergi sana! Temui ibumu di kampung!” seru Meyda sambil
melempar uang ke arah Aisyah.
Uang
itu jatuh pas mengenai kaki Aisyah. Merasa terhinakan diperlakukan seperti itu,
lalu Aisyah pun memungut uang itu, perlahan ia berdiri kembali ... ditatapnya
wajah ibu tirinya dengan tatapan sinis. Reaksi yang tak terduga, tiba-tiba
Aisyah melemparkan kembali uang itu ke
arah ibu tirinya.
“Silakan
ibu ambil kembali uang itu, dengan senang hati aku akan pergi dari rumah ini.” Aisyah
melawan ibu tirinya. Dibalikkan tubuhnya dan secepatnya Aisyah berlari
meninggalkan tempat itu
“Eeh
..., kurang ajar ya kamu, beraninya kamu melawan ibu. hh? Awas ya Kamu!” ....” gertak Meyda
sambil hendak mengejar Aisyah. Untung saja si tamu lelaki itu melerai Meyda
yang hendak menyerang Aisyah.
“Sudah,
sudah, gak usah dikejar, biarkan dia pergi sendiri. Ayo sayang, sekarang
mending kita teruskan perbincangan kita.” ucap lelaki itu.
Meyda
pun melepaskan kepergian Aisyah begitu saja. Tak ada ucapan selamat tinggal,
tak ada basa-basi. Aisyah berlalu begitu saja.
***
Begitu
berat derita yang ditanggung Aisyah. Setelah bapaknya masuk penjara, kini ia
diusir oleh ibu tirinya. Padahal seharusnya Aisyah meyiapkan diri untuk
kelanjutan sekolahnya. Ia melangkah tak menentu. Belum ada tujuan yang pasti.
Selintas
terbayang wajah emaknya yang merindu kepulangan dirinya, wajah adiknya yang
selalu merengek meminta sesuatu, hawa perkampungan yang sejuk. Namun,
bayangannya terhentak seketika ketika ia sadar bahwa bapaknya sekarang sedang
menunggu uluran tangan seseorang agar terbebas dari tuduhan sebagai pembunuh.
Hatinya
kian bekecamuk, Aisyah masih dalam kebimbangan, hendak kemana kakinya
melangkah. “Ya Allah berilah petunjuk-Mu, harus kemana aku sekarang?” doa
Aisyah dalam hati.
Seolah
mendapat petunjuk, akhirnya Aisyah memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
Untunglah Aisyah selalu menyisihkan uang jajan pemberian bapaknya. Tanpa
berpikir panjang lagi, Aisyah pun bergegas mencari kendaraan umun menuju
kampung halamannya.
Ia
memilih menggunakan kereta. Walaupun belum pernah sama sekali ia bepergian
dengan menggunakan kereta, tapi karena banyak bertanya akhirnya ia pun
memberanikan diri naik kereta supaya cepat sampai di kampung halaman.
Laju
kereta menghanyutkan lamunan Aisyah menerawang enam tahun yang lalu. Berbagai
peristiwa yang ia alami datang berkelebat silih berganti dalam benaknya.
Bayangannya masih kuat melekat ketika ia hidup dalam kesengsaraan. Emaknya yang
sakit jiwa, kurang makanan, kebakaran rumah, perlakuan bengis dari Asep,
mengurus adiknya yang masih bayi, semua itu ia jalani seorang diri.
Satu-satunya orang yang menolong Aisyah pada waktu itu Bi Onah, pun rumahnya
malah ketiban longsor. Hingga akhirnya Aisyah dibawa bapaknya ke Jakarta.
Tak
terasa kereta pun berhenti di stasiun Bandung. Aisyah turun dari kereta, terus
menyusuri jalan mencari arah pulang. Ia hampir lupa letak rumah emaknya, yang
masih diingatnya adalah sekolah SD tempat ia belajar dulu. Dari situ dia dapat
menelusuri rumahnya.
Berdebar
hati Aisyah ketika sudah sampai di kampung halamannya. Orang – orang yang ia
temui tidak mengenalinya, karena perawakan Aisyah sekarang tinggi, putih, dan
bersih. Kecantikannya semakin terpacar karena ia selalu tersenyum kepada siapa
pun yang ia temui.
Di
tengah perjalanan ia bertemu dengan Mang Kuyan.
“Mang,
... ini Mang Kuyan kan? Sehat Mang?” ucap Aisyah sambil menjulurkan tangannya
hendak menyalami Mang Kuyan. Mang Kuyan
mengernyitkan alisnya, dia tidak mengenali Aisyah.
“Iya,
Neng teh siapa?” tanya Mang Kuyan heran.
“Saya Aisyah, Mang. Anaknya Bu Sutinah,
Mang masih ingat kan?” jawab Aisyah sambil tersenyum manis.
“Hah! Bener ini teh Aisyah?” kata Mang
Kuyan sambil mengedip ngedipkan matanya untuk meyakinkan penglihatannya.
“Iya Mang, sudah lama ya kita gak
ketemu, Aisyah kangen sama emak, adik, kampung ini ..., hmmm masih seperti yang
dulu ya Mang.” ucap Aisyah sambil
melihat keadaan sekeliling.
“Kemana aja Kamu Aisyah? Wah ..., sekarang
Kamu tambah cantik ya, Mamang sampai pangling.”
“Aisyah selama ini tinggal di Jakarta
Mang.”
“Jakarta? Sama siapa? Kerja?”
“Aisyah tinggal sama ...”
Aisyah tidak melanjutkan perkataannya. Ia sadar kalau memberitahukan
yang sebenarnya bahwa ia tinggal bersama bapaknya, pasti masalah ini akan jadi
masalah besar.
“A ..., anu, Aisyah di Jakarta kerja
Mang, jadi Aisyah tinggal bersama majikan.” jawab Aisyah gugup. Ia terpaksa
harus berbohong demi menjaga rahasia keberadaan bapaknya.
“Ooh ..., ya pantesan, penampilan kamu
sekarang seperti anak gedongan, ayo mamang antar ke rumahmu.”
“Gak usah Mang, trimakasih, biar Aisyah
jalan sendiri aja.”
Aisyah pun melanjutkan perjalannya.
Menyusuri pematang sawah, melewati jalan setapak, hingga akhirnya sampai di
depan rumah. Aisyah berhenti sejenak sebelum masuk ke rumah. dipandanginya
keadaan sekitar rumah. Ada rasa menyelinap di dada, kembali bayangan masa
lalunya berkelebat. Ditepisnya bayanag masa lalu itu, karena ia sudah tidak
sabar ingin bertemu dengan emak dan adiknya.
“Assalamuialaikum
...,” ucap Aisyah perlahan. Sengaja ia tidak menyaringkan suaranya agar tidak
membuat emak terkejut. Tidak terdengar suara emak menyahut. Lalu Aisyah pun
masuk ke rumah.
“Mak ... De...., Assalamualaikum ... Aisyah pulang Mak.”
Masih juga belum ada sahutan. Aisyah
penasaran, rumah tidak di kunci tapi emak dan adiknya tidak ada di rumah. Ia
melihat-lihat setiap sudut ruangan di rumah itu. masih seperti dulu. Sambil
menunggu emak dan adiknya, ia duduk di atas dipan yang menjadi tempat pembaringannya
dulu. Kembali bayangan itu membawa Aisyah ke masa lalu.
“Braak ...!” terdenagr suara dari luar.
Aisyah terperanjat. Ia menduga emak dan adiknya datang. Lalu ia bangkit dari
pembaringan, segera keluar untuk menemui emaknya. Dan ternyata memang benar
dugaannya.
“Maaak ...” Aisyah memanggil emaknya
setengah berteriak. Lalu dipeluk dan diciuminya. Namun, emaknya hanya mematung,
tidak membalas pelukannya. Emaknya belum sadar bahwa yang datang adalah Aisyah.
Anak yang selama ini selalu dirindukan siang dan malam.
“Ini siapa?” tanya Sutinah
“Ini Aisyah Mak ....” jawab Aisyah terisak sambil menempelkan telapak tangan
emaknya ke wajah Aisyah.
“Aisyah pulang Mak..., hu hu.” tangis
Aisyah pecah mencurahkan berbagai rasa kepada emaknya.
“De, ini kakak Aisyah, sudah besar kamu
ya De.” Aisyah gantian memeluk adiknya. Akhirnya mereka berpelukan dalam tangis
yang mengharukan.
***
Setelah mencurahkan rasa rindu yang
begitu dalam. Aisyah pun mulai menceritakan perjalanan hidupnya selama ia
tinggal di Jakarta bersama bapaknya. Aisyah sangat hati-hati dalam merangkai
kata-kata, karena ia tidak mau emaknya syok mendengar cerita Aisyah yang penuh
liku di Jakarta.
Namun, emaknya cukup mengerti dan bisa
menerima kenyataan hidup apa adanya. Sutinah tidak begitu mempedulikan nasib
suaminya. Ia pikir, biarlah suaminya menanggung akibat perbuatannya mendekam di
penjara. Lain dengan Aisyah, ia ingin bapaknya diselamatkan, karena Aisyah
yakin kalau bapaknya tidak terlibat kasus pembunuhan itu.
Kedatangan Aisyah membuat warga kampung
terkejut. Hampir semua orang mendatangi rumah Aisyah. Mereka sekadar ingin tahu
keberadaan Aisyah selama menghilang dari kampung selama enam tahun.
Aisyah pun berbagi kisah kepada warga
kampung yang datang berkunjung ke rumahnya. Namun, satu hal yang tidak bisa ia
ceritakan kepada warga, yaitu keberadaan
bapaknya yang mendekam di penjara.
Terbaik ibu
BalasHapus