Kampung Sukamiskin dirundung duka nestapa. Hangusnya gubuk itu
menambah pedih kehidupan dua bocah terlantar. Bertubi-tubi Aisyah diuji
kesabaran oleh Sang Pencipta. Kesengsaraan sudah nyata di depan mata.
Aisyah berdiri mematung melihat
onggokan puing-puing sisa kebakaran. Semuanya ludes terbakar. Tak ada satu
benda pun yang selamat. Yang tersisa hanyalah baju yang melekat di tubuh. Itu
pun sudah dipakai beberapa hari, sehingga tampak dekil dan bau.
Adiknya tak pernah lepas dari
gendongannya. Ke mana pun dia pergi, adiknya selalu
dibawa. Air matanya mengalir tiada henti. Ia hanya mampu meratap, menangis, dan menanti uluran tangan orang-orang sekitar.
Dalam tangisnya, dia berucap, “Dek, sekarang kita tinggal di mana? Barang-barang kita semuanya hangus terbakar. Kita sekarang enggak punya apa-apa. Kepada siapa kita minta tolong, Dek? Hu hu hu … Bapak belum juga datang. Ya Allah,
aku harus ke mana? Aku tak tahu harus berbuat apa.”
Selintas dia terpikir sosok Bu
Berta. “Apakah kita harus datang ke rumah Bu Berta, ya, Dek? Ah, tidak! Aku tidak mau
kejadian beberapa hari yang lalu terulang. Maksud kita mau ketemu Bapak, eh …
dia malah mengusir kita ya, Dek. Bapak sama sekali enggak bela kita,” ucap Aisyah kepada adiknya yang
belum mengerti apa-apa.
Ditatapnya wajah adiknya dengan penuh kasih sayang, lalu diciumnya berulang kali. Didekapnya erat-erat seolah Aisyah
tidak mau terpisahkan dengan adiknya. Karena hanya adiknya yang menjadi
penyemangat hidup.
Rasa berdosa terhadap ibunya kian mendera. Aisyah tidak bisa menjaga rumahnya dengan
selamat. Rumah tempat berkumpul bersama emak dan bapaknya kini tinggallah
kenangan.
“Aisyah, kaukah itu?” tanya seseorang mengagetkan Aisyah.
Aisyah pun menoleh ke arah suara yang
memanggilnya. Penglihatannya agak samar karena masih tersisa asap reruntuhan
yang terbakar. Dia berharap yang memanggilnya adalah Emak. Namun, harapan Aisyah kandas. Ternyata yang memanggilnya
adalah Bapak.
“Bapaak!” jerit Aisyah.
“Aisyah, sini, Nak!” kata Dimas.
Akhirnya, Dimas pun muncul setelah mendapat kabar tentang kebakaran
rumahnya. Waktu peristiwa itu terjadi, Dimas sedang pergi di luar kota.
Kepergiannya menemani Bu Berta untuk belanja keperluan wanita yang telah
merebut status Sutinah.
Aisyah pun menghampiri bapaknya dengan setengah berlari. Kesedihan yang ia alami, rasanya ingin
ditumpahkan kepada bapaknya. “Ayo Dek, kita ke Bapak. Bapak datang, Alhamdulillah,” ucap Aisyah kepada adiknya sambil
membetulkan gendongannya.
“Awas jatuh, Nak. Hati-hati,” ujar Dimas sambil mengulurkan
tangannya.
Baru saja Dimas mau merangkul
anak-anaknya, tiba-tiba tangan Berta menepis tangan Aisyah. Dimas tidak tahu
kalau Berta mengikutinya. Berta tidak mau tangan Dimas menjamah kedua bocah
itu, karena kondisinya yang kotor dan bau. Dia tidak sadar kalau kedua bocah
itu adalah anak kandung Dimas.
“Hey, Aisyah! Jangan mendekat! Itu badanmu kotor sekali,” bentak Berta.
Dimas yang menyaksikan adegan itu
langsung berpaling ke arah Berta. Dia tidak menyangka kalau Berta akan berbuat
setega itu. Betapapun bejatnya Dimas, ia masih punya hati nurani melihat
kondisi anaknya seperti itu.
“Berta! Dia anak-anakku. Tega sekali kamu melarang mereka mendekat padaku,” ujar Dimas memelas.
“Ya, aku tahu mereka anakmu. Tapi mereka itu kotor dan bau. Nanti kamu terbawa kotor, aku tidak mau itu,” jawab Berta ketus.
“Justru karena mereka kotor dan bau, aku harus memandikan mereka. Mereka butuh
pertolongan,” ucap Dimas.
“Biar warga kampung saja yang
mengurus bocah-bocah itu. Ayo, Dimas, masih banyak yang harus kita
kerjakan di rumah,” bentak Berta lagi.
“Berta … Berta, tunggu! Tunggu dulu, aku tak
tega melihatnya! Kamu dengar, dia memanggil-manggilku terus, mungkin mereka belum makan. Kamu dengar itu,
Berta,” ucap Dimas memohon dan berusaha
melepas pegangan tangan Berta.
“Suruh saja mereka mandi sendiri. Enggak usah kamu repot-repot memandikan
mereka. Atau, biasanya juga warga kampung ini
yang mengurus mereka. Kita masih banyak pekerjaan!” ujar Berta sambil menarik tangan Dimas agar segera
meninggalkan tempat itu. Mata Berta melotot ke arah Aisyah.
Langkah Aisyah pun terhenti. Rasa rindu pada bapaknya tak dapat tercurahkan. Aisyah takut
berhadapan dengan Berta. Akhirnya, langkah Aisyah pun mundur perlahan.
“Bapak … Bapak mau ke mana, Pak? Aisyah ikut … hiks hiks,” isak Aisyah. Namun, isak tangis Aisyah tak dihiraukannya. Dimas
lebih memilih mengikuti ajakan Berta meninggalkan tempat itu.
Kini, bukan saja tangisan Aisyah yang memangil-manggil ayahnya. Adik Aisyah pun ikut menangis.
Akhirnya, kedua bocah itu ditinggalkan di
antara onggokan puing-puing sisa kebakaran.
Tangisan bocah itu pun memancing
pendengaran orang-orang sekitar yang kebetulan sedang berada di situ. Mereka
turut menyaksikan adegan tadi. Sungguh sangat menyayat di hati. Hampir semua
orang mengumpat Dimas dan Berta.
“Dasar, wong gendeng, kok
tega anaknya ditelantarkan begitu?”
“Ya, begitulah kalau sudah dimabuk
harta!”
“Wong edan!”
“Si Dimas itu mungkin matanya sudah
buta, telinganya sudah tuli. Anaknya merengek-rengek gini, kok dibiarkan. Dasar sinting!”
Begitulah warga kampung menghujat
kelakuan Dimas. Aisyah yang sejak tadi mematung di situ pun mendengar hujatan
warga kampung kepada bapaknya. Ditutupnya telinga
rapat-rapat, ia tak mau lagi mendengar perkaatan jelek untuk bapaknya.
Karena jaraknya belum begitu jauh, sebenarnya
Dimas pun mendengar hujatan warga pada dirinya. Namun, pada saat itu Dimas tak
bisa berbuat apa-apa. Dimas hanya bisa mengikuti kemauan Berta. Berta terus
saja menarik tangan Dimas. Dimas tak berani melawan. Dia hanya bisa memandangi
anak-anaknya dari kejauhan.
“Aisyah … Akbar, sabar dulu ya, Nak. Bapak belum bisa berbuat apa-apa. Maafkan Bapak. Tunggu … tunggu
waktunya. Bapak janji, Bapak pasti akan membawamu, Nak. Jangan kau dengar omongan orang-orang itu!” jerit suara dalam hati Dimas.
Aisyah pun sama, hanya bisa
memandangi ayahnya dari kejauhan. Aisyah tak tega melihat bapaknya
diseret-seret Berta. Lebih baik Aisyah menghentikan panggilannya, daripada
bapaknya terus-terusan diseret Berta.
Postur tubuh Berta yang tinggi besar
sangat memungkinkan untuk menyeret-nyeret Dimas yang berperawakan kurus. Dimas
seakan terseok-seok mengikuti langkah Berta yang tenaganya seperti kuda.
Akhirnya, warga kampung pun satu per satu meninggalkan tempat kebakaran itu.
Satu per satu pula Aisyah memandangi
orang-orang yang meninggalkan tempat itu. Akankah ada pertolongan dari mereka?
Aisyah sangat berharap satu di antara mereka ada yang meraihnya. Namun, tak ada
seorang pun yang mengajak Aisyah pulang.
“Dek, kita pulang ke mana?” tanya Aisyah kepada adiknya. Karena tidak ada yang mau
menolong, akhirnya Aisyah pun menagis lagi, sambil terus mengayun-ayunkan
gendongan adiknya. Suasana bertambah pilu, karena adiknya pun turut menangis.
Dalam keadaan
terhimpit begini, Aisyah teringat emaknya. “Emak, tolong Aisyah, Mak. Maak …
Aisyah harus sama siapa?” isak tangis kedua bocah itu mengiringi hari yang
mulai gelap.
“Aisyah … Aisyah!”
Mendengar suara orang memanggil
namanya, Aisyah pun menghentikan tangisannya. Suara itu begitu akrab di telinga
Aisyah.
“Bi Onah? Bibi … tolong Aisyah, Bi. Bapak
pergi lagi. Aisyah enggak tahu harus tinggal sama siapa. Aisyah sudah enggak
punya apa-apa, Aisyah … Aisyah ….” Aisyah tak dapat maneruskan
kata-katanya. Dia terkulai lemas. Adiknya hampir jatuh. Bi Onah pun dengan sigap segera merangkul Aisyah.
“Toloong … tolong!” teriak Bi Onah.
Bi Onah tak mampu harus mengurus kedua bocah
itu sendirian. Ia berteriak meminta tolong. Teriakan Bi Onah pun terdengar oleh
warga yang kebetulan lewat hendak menuju masjid untuk salat berjamaah Magrib. Tak lama kemudian, datang beberapa warga menghampiri Bi Onah yang
meminta tolong.
“Tolong bapak-bapak, ibu-ibu, tolong
saya! Ini si Aisyah sepertinya mau pingsan, badannya lemas sekali. Ini juga
adiknya dari tadi menangis terus. Saya tadi ke sini karena mendengar suara
Aisyah yang meminta tolong,” ucap Bi Onah dengan nada panik.
“Lo, bukannya tadi ada bapaknya?
Lah, ke mana itu si Dimas? Aku kira dia
membawa anak-anak ini. Wah! Dasar sontoloyo itu si Dimas, kok tega
meninggalkan anaknya dalam situasi begini?” ucap salah seorang warga.
“Sudah, sudah, jangan banyak bicara. Ayo, bawa anak ini ke masjid saja. Kasihan, mungkin anak ini belum
makan dari siang.” Warga lain mengingatkan.
“Jangan, jangan, biar dibawa ke rumahku saja,” kata Bi Onah.
Mendengar Bi Onah hendak membawa
Aisyah ke rumahnya, Aisyah pun menguatkan dirinya untuk menolak. Perlahan dia berucap, “Jangan, Pak, jangan dibawa ke rumah Bi
Onah. Biar saya di masjid saja.”
“Aisyah, kenapa, Nak? Kamu enggak
mau ke rumah Bibi?” tanya Bi Onah heran.
“Aisyah takut, Bi. Aisyah takut sama Asep. Biarlah Aisyah di masjid saja.” Lalu Aisyah pun terkulai lemas tak
berdaya.
Tampak kesibukan warga kampung
mengurus kedua bocah itu. Aisyah dan adiknya dibawa ke rumah Bi Onah sesuai
permintaan Bi Onah. Permintaan Aisyah diabaikannya, karena Bi Onah pikir,
biarlah nanti dia yang mengurus Asep supaya Aisyah mau tinggal di rumahnya.
Beberapa saat kemudian, Aisyah sudah
berada di rumah Bi Onah. Aisyah baru tersadar dari pingsannya. Aisyah membuka
matanya pelan-pelan. Dia masih lemas. “Aku di mana? Adikku mana?” tanya Aisyah dengan suara parau.
“Tenang, Aisyah. Kamu sekarang ada di rumah Bibi. Tuh, adikmu lagi digendong Bi Tuti,” jawab Bi Onah.
“Ah, syukurlah kamu sudah sadar. Aisyah, kamu tenang dulu, ya, ini adikmu Bibi gendong,” kata Bi Tuti. Bi Tuti adalah saudaranya Bi Onah. Rumahnya tak jauh dari rumah Bi Onah.
Ketika tersadar bahwa dirinya berada
di rumah Bi Onah, Aisyah pun segera bangkit. “Apa? Ini di rumah Bi Onah? A-aku harus pergi, Bi. Aku … aku takut sama Asep,” kata Aisyah kaget.
Memang, ketika itu, Aisyah melihat Asep yang sedang berdiri di antara
kerumunan orang-orang. Seperti biasanya,
Asep selalu memelototi Aisyah. Memang, Asep kurang suka dengan kehadiran Aisyah
di rumahnya.
“Hey … tenang, Aisyah. Kamu mau
pergi ke mana? Bukannya kamu masih lemas?
Sudah, jangan hiraukan si Asep. Biar nanti Bibi yang urus. Sekarang kamu mandi saja
dulu, terus, makan, ya,” kata Bi Onah.
Berada di antara dua pilihan memang
bukan kondisi yang menyenangkan. Begitu pun dengan Aisyah. Dia merasa dilema
antara butuh pertolongan Bi Onah dan takut terhadap Asep. Bocah seumuran Aisyah memang belum
saatnya dihadapkan pada masalah seberat itu.
Akhirnya, Aisyah memutuskan untuk
menerima tawaran dari Bi Onah, walaupun harus melawan rasa takut terhadap Asep.
Aisyah berpikir, seandainya dia memilih untuk tinggal di masjid, belum tentu dia
sanggup merawat adiknya seorang diri.
Atas musibah yang dijalani Aisyah,
banyak warga kampung yang merasa simpati. Rumah Bi Onah hampir setiap hari
kedatangan tamu. Mereka berkunjung sekadar memberikan bantuan makanan atau
pakaian seadanya. Warga kampung secara bergantian mengurus Akbar, adiknya
Aisyah.
Setelah kebakaran itu terjadi ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar