Jumat, 03 Juli 2020

Romantika Aisyah 3



 

Berita meninggalnya Abah Maksum di kampung itu membuat warga kampung merasa iba pada Aisyah. Sungguh sangat menyayat hati. Anak sekecil Aisyah harus menanggung duka nestapa seperti itu. Secara sukarela warga kampung mengurus jenazah Abah sebagaimana lazimnya.

Abah adalah satu-satunya tumpuan hidup keluaga Aisyah. Kondisinya memang sudah renta. Walaupun sudah tua, tapi Abah masih bisa bekerja serabutan, semisal menjadi buruh nyangkul di sawah, menjadi kuli bangunan, atau apa pun yang bisa Abah lakukan. Demi sesuap nasi, Abah rela bekerja apa saja.

Kepergian Abah tentunya akan sangat menoreh kenangan tersendiri bagi warga kampung. Tak ada lagi lantunan suara azan khas Abah Maksum. Hampir seluruh warga kampung itu mengenal sosok Abah. Sosok pekerja yang tekun, telaten, penyabar, walaupun upah yang ia terima tidaklah seberapa.

Isak tangis keluarga menambah haru suasana. Aisyah tak henti-hentinya menangis. Jerit tangis Aisyah begitu menyayat. Dalam hatinya bertanya-tanya,Kenapa Abah pergi secepat ini? Kepada siapa lagi aku minta uang jajan kalau Emak sama Bapak enggak punya uang? Bagaimana kabar Emak sama Bapak? Apakah mereka sudah tahu Abah meninggal? Bagaimana ini?”

Akhirnya, meledaklah tangisan Aisyah. “Abaaah! Jangan pergi, Abah! Kenapa Abah pergi enggak bilang-bilang? Sekarang Aisyah sama siapa? Emak enggak tahu gimana nasibnya di ruma sakitBapaak, cepat pulang, Pak! Aisyah takut sendirian di rumah, hu hu hu ….

“Ssh ssh ssh … sudah, sudahlah, Aisyah. Jangan menangis seperti itu. Kamu tidak sendirian di sini, ada banyak tetangga yang membantumu nanti. Sabar ya, sayang,” ucap Bi Onah sambil merangkul Aisyah. Bi Onah adalah salah seorang warga kampung yang rumahnya tak jauh dari rumah Aisyah.

“Ya, Aisyah … tidak baik meratapi orang yang meninggal seperti itu. Sebaiknya kamu doakan Abah agar masuk surga dan bisa pergi dengan tenang. Sekarang, kamu ngaji, ya. Bacakan surat Yasin untuk abahmu,” bujuk Pak Ustaz. Sepertinya Aisyah pun menuruti nasihat Pak Ustaz.

Al-Qur’an lusuh kesayangannya pun diraihnya. Aisyah mulai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kali ini Aisyah membaca lebih tartil seolah ingin menghantarkan abahnya ke tempat peristirahatan dengan sempurna. Orang-orang yang mendengarkan alunan suara Aisyah terhanyut dalam suasana duka.

Entah sudah berapa jam Aisyah duduk bersimpuh di samping jenazah Abah. Suara parau Aisyah melantunkan ayat suci Al-Qur’an dalam surat Yasin terdengar sangat menyayat hati. Betapa tidak, di tengah lantunannya itu sesekali Aisyah terisak nestapa.

“Pak Ustaz, jangan dimakamkan dulu, ya. Emak sama Bapak belum pulang,” pinta Aisyah kepada Pak Ustaz yang memimpin pengurusan jenazah. Ditatapnya wajah orang-orang yang ada di sekitar rumah, Aisyah berharap ada seseorang yang memberikan kabar tentang emak dan bapaknya. Namun, orang-orang itu hanya menundukkan kepala seakan memberikan isyarat bahwa mereka tidak punya kabar apa pun tentang orang tuanya.

Hari sudah semakin siang, kabar tentang emaknya Aisyah belum juga di dapat. Orang-orang sudah mulai gelisah, karena jenzah belum juga dikebumikan. Terdengar beberapa orang berbisi-bisik untuk menyegerakan proses pemakaman. Tak terbayangkan perasaan Aisyah pada waktu itu, bocah seusia Aisyah sudah dihadapkan pada problematika yang sulit.

Siang berganti sore. Di tengah kegelisahan orang-orang di rumah duka, mereka dikagetkan dengan datanganya mobil pick-up milik Pak Lurah. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah Aisyah. Biasanya, mobil itu digunakan untuk mengangkut sayuran. Serempak perhatian semua orang tertuju pada mobil itu.

“Sutinah pulang Sutinah pulang.” Beberapa orang hampir bersamaan mengatakan kepulangan Sutinah. Mendengar suara kepulangan Sutinah, Aisyah pun setengah berlari memburu keluar sambil berteriak “Emaaak ... Bapaaak!” Kembali tangis Aisyah pun pecah. Kali ini tangisannya lebih keras dari sebelumnya, seolah ingin mencurahkan segala rasa yang sejak tadi terpendam.

Kembali suasana duka mewarnai suasana di rumah itu. Sutinah, emaknya Aisyah, pulang bersama suaminya. Sutinah turun dari mobil perlahan, karena kondisinya belum begitu pulih setelah melahirkan tadi malam. Nampak seorang petugas rumah sakit menggendong bayi, turut mengantarkan kepulangan Sutinah.

Dalam kondisi lemah tak berdaya, Sutinah pun langsung memburu Abah yang sudah terbungkus kain kafan. Sutinah menangis sejadi-jadinya. Tangisan Sutinah membuat orang-orang tak kuasa menahan tangis. Kembali suasana haru menyerbu rumah duka itu.

Sang bayi pun seakan turut mengiringi suasana duka. Tangisan bayi kian menambah kepiluan suasana sore itu. Sebagian ibu-ibu yang masih ada di rumah duka, turut mengurus bayi. Begitulah kehidupan. Datangnya ajal tak bisa diduga, demikian juga kelahiran jabang bayi tak dapat ditolak. Itulah takdir, sebagaimana Allah berkehendak, maka itulah yang terbaik untuk hamba-Nya.



***



Suasana senja di pemakaman Kampung Sukamiskin mengantarkan kepergian Abah Maksum. Sutinah, anak semata wayang Abah Maksum tak kuasa untuk mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir. Terlebih Aisyah, dia hanya mampu menatap kepergian rombongan jenazah ke pemakaman. Dia lebih memilih menemani emaknya di rumah.

Aisyah mulai disibukkan mengurus ibunya yang masih lemah setelah melahirkan. Suka duka bercampur suka cita. Kehadiran bayi di rumah itu dapat mengobati duka lara Aisyah, sepeninggal abahnya. Aisyah, bocah kecil berperawakan kurus, begitu cekatan dalam mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Tak selayaknya seusia Aisyah harus mengerjakan pekerjaan yang begitu kompleks. Mulai dari menanak nasi, mencuci pakaian, mencuci piring, menyapu lantai, bahkan sekarang pekerjaannya ditambah dengan menjaga adik kecil yang baru saja lahir.

Beberapa hari berlalu. Kesehatan Sutinah sudah agak pulih. Kondisi ini setidaknya dapat mengurangi beban pekerjaan Aisyah. Hingga pada suatu malam, Aisyah tertidur di atas pangkuan emaknya. Sutinah tak tega untuk membangunkan Aisyah. Ditatapnya wajah Aisyah sambil dibelai-belai rambutnya yang terurai panjang.

“Aisyah, betapa malang nasibmu, Nak. Mungkin kamu terlalu lelah menjalani kehidupan ini. Maafkan Emak yang selalu merepotkanmu. Tidak selayaknya kamu bekerja secapek ini, Nak. Harusnya, Emak yang melakukan ini semua, tapi apalah daya … kondisi Emak begitu rapuh. Badan ini rasanya lemas sekali, terlebih sekarang adikmu juga membutuhkan perawatan. Emak merasa menjadi seorang ibu yang tidak berguna,” ucap Sutinah lirih sambil menahan isak tangisnya.

Rupanya Aisyah mendengar ucapan emaknya. “Mak, sudahlah … Aisyah enggak apa-apa, kok. Aisyah kuat, kok, bekerja. Aisyah rela menjalani ini semua, yang penting Emak sehat, dede bayi juga sehat,” ucap Aisyah dengan suara serak.

“Kamu enggak tidur, Nak? Emak pikir, kamu sudah tidur,tanya Emak kaget mengira Aisyah sudah tertidur.

“Belum, Mak. Sudah lama Aisyah enggak tidur di pangkuan Emak,” kata Aisyah sambil tersenyum bahagia. Ia begitu merasakan suasana nyaman tidur di pangkuan emaknya.  

Sesekali Aisyah membuka matanya sambil mengubah posisi tidurnya, sekadar memastikan bahwa emaknya baik-baik saja. Dengan suara parau, Aisyah bertanya kepada emaknya,Mak, Bapak mana? Sudah malam begini, kok enggak ada di rumah?

“Bapakmu kan, malam ini kebagian ronda. Jadi mungkin, Bapak tidurnya di pos ronda.”

“Kok Bapak ngerondanya tiap malam sih, Mak? Bapak si Junengsih, teman Aisyah, cuma semalam aja. Itu pun kadang ada, kadang enggak.” Pertanyaan polos meluncur begitu saja dari mulut Aisyah.

“Ya … Sebenarnya jadwal ngeronda Bapak juga cuma satu malam. Nah, malam-malam yang lainnya Bapak mengganti bapak-bapak lain yang enggak bisa ngeronda karena kesibukannya. Lumayanlah, Bapak dapat uang pengganti. Makanya, kita masih bisa makan, walaupun Bapak enggak kerja,” jelas Sutinah meyakinkan.

“Oh, begitu ya, Mak. Kasihan, Bapak setiap malam pasti kedinginan tidur di pos ronda,” ucap Aisyah. Aisyah pun bangkit dari pangkuan emaknya. Diikatnya rambut yang terurai dan duduk sila menghadap Emak dengan semangat.

“Lo, kok kamu malah bangun? Ada apa, Nak?” tanya Emak kaget.

“Boleh tidak, Mak, Aisyah ngeronda gantikan Bapak? Biar Bapak bisa tidur di rumah, menjaga Emak dan adik bayi. Boleh, kan, Mak?” tanya Aisyah polos. Kepolosannya itu membuat Sutinah tertawa kecil.

“He-he-he, Aisyah Aisyah Masa anak kecil ngeronda? Mana bisa, Nak? Memangnya Aisyah berani kalau ada maling di kampung kita? Yang ngeronda kan harus bisa menangkap maling itu,” jawab emak. Keceriaan nampak terbersit sedikit pada wajah Sutinah, karena dia merasa terhibur dengan petanyaan lucu dari Aisyah.

“Oh gitu ya, Mak? Memangnya di kampung kita suka ada maling, Mak?” Lagi-lagi Aisyah bertanya dengan kepolosannya. Aisyah jadi penasaran. Dia selalu saja ingin serba tahu tentang suatu hal, termasuk masalah ronda.

Malam ini Sutinah dan Aisyah berbincang begitu asyiknya, hingga tak terasa malam pun semakin larut. Aisyah tertidur di pangkuan emaknya. Sutinah memindahkan posisi tidur Aisyah di sebelah bayinya. Sutinah tidur bersama kedua anaknya dengan lelap.

Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara kentongan. “Tong tong tong!” Suara kentongan saling bersahutan. “Maliing maliiing ….Petugas ronda pun berteriak teriak. Teriakan itu mendakan adanya maling di kampung itu. Sudah beberapa hari kejadian seperti itu terulang. Namun, maling yang diteriaki oleh peronda itu masih saja gentayangan.

Sutinah dan Aisyah terperanjat kaget mendengar suara kentongan dan teriakan. Tidur nyenyak mereka hanya sesaat saja. Baru saja Aisyah dan Sutinah terlelap, kini hati mereka gelisah tak menentu mendengar orang-orang teriak.

Suara kentongan itu semakin jelas terdengar. “Bu Sutinah … Bu!” terdengar suara peronda memanggil-manggil Sutinah. “Bu … bangun, Bu. Tadi kami melihat malingnya lari ke arah rumah Ibu,” teriak beberapa orang.

“Dor dor dor!” suara pintu digedor sangat keras. Sutinah pun segera bangun dari tempat tidur, setengah berlari menuju pintu. Kaget bukan kepalang pintunya digedor petugas ronda. Dibukanya pintu rumah lebar-lebar. Terlihat para petugas ronda sedang memeriksa sekeliling rumah Sutinah.

“Ibu baik-baik saja? Ibu enggak kenapa-kenapa? Apa Ibu enggak lihat ada orang yang masuk rumah ini? Tadi kami mengejar maling, dan arahnya menuju ke rumah ini!” jelas Mang Kuyan terengah-engah.

“Apa? Maling? Masuk rumah ini? Eu a aku enggak lihat, Mang. Perasaan, enggak ada orang masuk,” jawab Sutinah gugup. Kegugupan Sutinah bertambah ketika Mang Kuyan bersama teman rondanya masuk tanpa permisi.

“Eh, kalian mau apa?” tanya Sutinah sambil menahan Mang kuyan masuk rumah. “Memangnya kalian yakin, maling itu masuk rumahku?” tanya Sutinah penasaran.

“Bu … sudah beberapa hari ini kampung kita kedatangan maling. Kami berusaha untuk menangkap maling itu. Nah, malam ini maling itu datang lagi. Setiap ketahuan dan dikejar, selalu saja maling itu larinya ke rumah ini,” jawab Mang Kuyan masih terengah-engah.

Keributan di luar membuat Aisyah terbangun dari tidurnya. Aisyah pun segera ke luar rumah. “Maak ada apa ribut-ribut?” tanya Aisyah sambil mengucek-ngucek matannya karena masih mengantuk. “Kenapa orang-orang masuk ke rumah kita? Mereka siapa, Mak?” Aisyah terus bertanya karena merasa ada yang aneh dengan suasana seperti itu.

Mang Kuyan memaksa masuk rumah dan memeriksa setiap ruangan. Dia tak menghiraukan larangan Sutinah, karena dia merasa yakin kalau maling itu ada di sekitar rumah ini.

“Mereka itu yang bertugas ronda malam ini. Sekarang bagian Mang Kuyan dan teman-temannya yang ronda. Mereka sedang mengejar maling. Katanya maling itu masuk rumah kita,” papar Sutinah kepada Aisyah.

“Hey, Aisyah … kamu lihat ada orang yang masuk ke rumah ini, enggak?” tanya Mang Kuyan lebih tegas lagi. Seolah-olah Mang Kuyan tak percaya dengan jawaban Sutinah.

Sejenak Aisyah berpikir. “Kenapa mereka mengejar maling sampai ke rumah ini? Aisyah pun langsung teringat bapaknya yang tidak ada di rumah karena mendapat tugas meronda.

“Lo, Mang, Bapak mana?” tanya Aisyah.

“Kamu ini, ditanya malah balik nanya. Mana Mang tahu di mana bapakmu,” jawab Mang Kuyan dengan nada ketus.

“Bukannya Bapak juga ngeronda malam ini? Kok Bapak enggak ada? Emang ngejar malingnya enggak barengan, ya, Mang?” tanya Aisyah.

“Apa katamu? Bapakmu ngeronda malam ini? Oh … jadi malam ini bapakmu enggak ada di rumah? Hey, dengar, ya, Aisyah, Bu Sutinah … si Dimas itu sudah lama enggak pernah ngeronda. Kalau enggak percaya, tanya tuh sama bapak-bapak yang lagi ngeronda sekarang.”

“Apa? Bapak enggak pernah ngeronda? Ah, Mang Kuyan bohong,” ujar Aisyah dengan nada kesal.

“Eeh dasar bocah! Dibilangin, kok malah ngeyel!” hardik Mang Kuyan.

“Sudah, sudah. Sekarang bapak-bapak sudah memeriksa rumah kami, kan? Dan malingnya tidak ada di sini. Jadi, silakan bapak-bapak cari di tempat lain saja. Di rumah ini ada bayi, kasihan, khawatirnya dia terganggu dengan keributan ini. Maaf, ya, bapak-bapak, kalau memang nanti kami melihat maling itu berkeliaran di rumah ini, kami akan teriak minta tolong,” papar Sutinah menyudahi perbincangan.

Mang kuyan dan teman-temanya segera meninggalkan rumah Sutinah. Aisyah sempat mendengar gerutuan bapak-bapak petugas ronda itu sebelum keluar. Mereka mengatakan, “Jangan-jangan, si Dimas maling itu.” Perkataan itu Aisyah simpan dalam hati saja. Aisyah merasa belum saatnya bertanya kepada emaknya.

“Aisyah … nah, seperti itulah tugas yang meronda itu, Aisyah masih mau jadi petugas ronda? Kerjaannya itu, ya, ngejar maling seperti tadi. Ayo! Sekarang kita tidur lagi, kasihan dede bayinya tidur sendirian. Yuk,” ajak emak sambil merangkul Aisyah.

Aisyah tak segera menuruti ajakan emaknya. Dia masih teringat gerutuan petugas ronda tadi yang mencurigai bapaknya maling. Walaupun dengan berat hati, Aisyah bertanya juga kepada emaknya, “Mak, kalau Bapak ngerondanya di mana?”

Sebenarnya, Sutinah pun sudah curiga dengan suaminya yang pergi rronda tiap malam. Tapi, kecurigaannya tak pernah ditunjukkan. Bagi Sutinah apa pun yang dilakukan suaminya di luar rumah, itu hanya semata-mata untuk mencari nafkah keluarganya.

Baru saja Sutinah mau menjawab pertanyaan Aisyah, tiba- tiba terengar suara barang jatuh dari arah dapur. “Praang!” Mereka kaget bukan kepalang. Spontan mereka berpelukan ketakutan.

“Mak suara apa itu? Aisyah takut, Mak. Jangan-jangan, itu maling.” Aisyah memeluk erat emaknya sambil menangis ketakutan.

“Tenang, tenang, Aisyah. Kita harus tenang, kita berdoa saja semoga itu kucing yang lompat dari atas genting dapur.” Sutinah berusaha meyakinkan Aisyah.

Akhirnya, dalam keadaan yang mencekam, Sutinah dan Aisyah memberanikan diri berjalan ke arah dapur. Mereka harus tahu, suara apa itu tadi. Tak ada benda yang dijadikan sebagai alat pemukul, kecuali sapu ijuk dan sapu lidi. Aisyah memegang sapu lidi, sedangkan emaknya memegang sapu ijuk.

Seperti detektif dalam film-film di TV, Aisyah dan emaknya mengendap-endap berjalan berjinjit ke arah dapur. Tidak ada cahaya sedikit pun, gelap. Perlahan-lahan, emaknya menyalakan lentera cadangan yang menempel di dinding bambu dapur.

Apa yang mereka dapatkan di dapur itu? Serempak mereka menjerit, “Bapaaak!”  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat Berkah di SDN Karanganyar

  Masya Allah Tabarakallah, rezeki buat anak-anak soleh dan solehan siswa SDN Karanganyar. Hari ini, Jumat, 01 September 2023 ada seorang ha...