Berita meninggalnya Abah Maksum di kampung itu membuat warga
kampung merasa iba pada Aisyah. Sungguh sangat menyayat hati. Anak sekecil Aisyah
harus menanggung duka nestapa seperti itu. Secara sukarela warga kampung
mengurus jenazah Abah sebagaimana lazimnya.
Abah adalah satu-satunya tumpuan
hidup keluaga Aisyah. Kondisinya memang sudah renta. Walaupun sudah tua, tapi Abah
masih bisa bekerja serabutan, semisal menjadi buruh nyangkul di sawah, menjadi
kuli bangunan, atau apa pun yang bisa Abah lakukan. Demi sesuap nasi, Abah rela bekerja apa saja.
Kepergian Abah tentunya akan sangat menoreh kenangan tersendiri bagi warga
kampung. Tak ada lagi lantunan suara azan khas Abah Maksum. Hampir seluruh
warga kampung itu mengenal sosok Abah. Sosok
pekerja yang tekun, telaten, penyabar, walaupun upah yang ia terima tidaklah
seberapa.
Isak tangis keluarga menambah haru
suasana. Aisyah tak henti-hentinya menangis. Jerit tangis Aisyah begitu
menyayat. Dalam hatinya bertanya-tanya, “Kenapa Abah pergi secepat ini? Kepada siapa lagi aku minta uang jajan kalau Emak sama Bapak enggak punya uang? Bagaimana kabar Emak sama Bapak? Apakah mereka sudah tahu Abah meninggal? Bagaimana ini?”
Akhirnya, meledaklah tangisan Aisyah. “Abaaah! Jangan pergi, Abah! Kenapa Abah pergi enggak bilang-bilang? Sekarang Aisyah sama siapa? Emak enggak tahu gimana nasibnya di ruma sakit … Bapaak, cepat pulang, Pak! Aisyah takut sendirian di rumah, hu hu
hu ….”
“Ssh ssh ssh … sudah, sudahlah,
Aisyah. Jangan menangis seperti itu. Kamu tidak sendirian di sini, ada banyak
tetangga yang membantumu nanti. Sabar ya, sayang,” ucap Bi Onah sambil merangkul Aisyah. Bi Onah adalah salah
seorang warga kampung yang rumahnya tak jauh dari rumah Aisyah.
“Ya, Aisyah … tidak baik meratapi
orang yang meninggal seperti itu. Sebaiknya kamu doakan Abah agar masuk surga dan bisa pergi dengan tenang. Sekarang, kamu ngaji, ya. Bacakan surat Yasin untuk abahmu,” bujuk Pak
Ustaz. Sepertinya Aisyah pun menuruti nasihat Pak Ustaz.
Al-Qur’an lusuh kesayangannya pun
diraihnya. Aisyah mulai melantunkan ayat-ayat
suci Al-Qur’an. Kali ini Aisyah membaca lebih tartil seolah ingin menghantarkan abahnya ke tempat peristirahatan dengan sempurna. Orang-orang yang mendengarkan alunan suara Aisyah terhanyut dalam suasana
duka.
Entah sudah berapa jam Aisyah duduk
bersimpuh di samping jenazah Abah. Suara parau Aisyah melantunkan
ayat suci Al-Qur’an dalam surat Yasin terdengar sangat menyayat hati. Betapa
tidak, di tengah lantunannya itu sesekali Aisyah terisak nestapa.
“Pak Ustaz, jangan dimakamkan dulu, ya. Emak sama Bapak belum pulang,” pinta Aisyah kepada Pak Ustaz yang memimpin pengurusan jenazah. Ditatapnya wajah orang-orang yang ada di sekitar rumah, Aisyah berharap ada seseorang yang
memberikan kabar tentang emak dan bapaknya. Namun, orang-orang itu hanya
menundukkan kepala seakan memberikan isyarat bahwa mereka tidak punya kabar apa
pun tentang orang tuanya.
Hari sudah semakin siang, kabar
tentang emaknya Aisyah belum juga di dapat. Orang-orang sudah mulai gelisah,
karena jenzah belum juga dikebumikan. Terdengar beberapa orang berbisi-bisik
untuk menyegerakan proses pemakaman. Tak terbayangkan perasaan Aisyah pada
waktu itu, bocah seusia Aisyah sudah dihadapkan pada problematika yang sulit.
Siang berganti sore. Di tengah kegelisahan orang-orang di rumah duka, mereka dikagetkan
dengan datanganya mobil pick-up milik
Pak Lurah. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah Aisyah. Biasanya, mobil itu digunakan untuk mengangkut sayuran. Serempak perhatian
semua orang tertuju pada mobil itu.
“Sutinah pulang … Sutinah pulang.” Beberapa orang hampir bersamaan mengatakan
kepulangan Sutinah. Mendengar suara kepulangan Sutinah, Aisyah pun setengah
berlari memburu keluar sambil berteriak “Emaaak ... Bapaaak!” Kembali tangis
Aisyah pun pecah. Kali ini tangisannya lebih keras dari sebelumnya, seolah
ingin mencurahkan segala rasa yang sejak tadi terpendam.
Kembali suasana duka mewarnai suasana di rumah itu. Sutinah, emaknya Aisyah, pulang bersama suaminya. Sutinah turun dari mobil perlahan, karena
kondisinya belum begitu pulih setelah melahirkan tadi malam. Nampak seorang
petugas rumah sakit menggendong bayi, turut mengantarkan kepulangan Sutinah.
Dalam kondisi lemah tak berdaya, Sutinah pun langsung memburu Abah yang sudah terbungkus kain kafan. Sutinah menangis
sejadi-jadinya. Tangisan Sutinah membuat orang-orang tak kuasa menahan tangis.
Kembali suasana haru menyerbu rumah duka itu.
Sang bayi pun seakan turut
mengiringi suasana duka. Tangisan bayi kian menambah kepiluan suasana sore itu.
Sebagian ibu-ibu yang masih ada di rumah duka, turut mengurus bayi. Begitulah
kehidupan. Datangnya ajal tak bisa diduga, demikian juga kelahiran jabang bayi tak dapat ditolak. Itulah takdir, sebagaimana Allah berkehendak, maka itulah
yang terbaik untuk hamba-Nya.
***
Suasana senja di pemakaman Kampung
Sukamiskin mengantarkan kepergian Abah Maksum. Sutinah, anak semata wayang Abah Maksum tak kuasa untuk mengantarkan
ayahnya ke peristirahatan terakhir. Terlebih Aisyah, dia
hanya mampu menatap kepergian rombongan jenazah
ke pemakaman. Dia lebih memilih menemani emaknya di rumah.
Aisyah mulai disibukkan mengurus
ibunya yang masih lemah setelah melahirkan. Suka duka bercampur suka cita.
Kehadiran bayi di rumah itu dapat mengobati duka lara Aisyah, sepeninggal abahnya. Aisyah, bocah kecil berperawakan kurus, begitu cekatan dalam mengerjakan
berbagai pekerjaan rumah tangga. Tak selayaknya seusia Aisyah harus mengerjakan
pekerjaan yang begitu kompleks. Mulai dari menanak nasi, mencuci pakaian,
mencuci piring, menyapu lantai, bahkan sekarang pekerjaannya ditambah dengan
menjaga adik kecil yang baru saja lahir.
Beberapa hari berlalu. Kesehatan
Sutinah sudah agak pulih. Kondisi ini setidaknya dapat mengurangi beban pekerjaan
Aisyah. Hingga pada suatu malam, Aisyah tertidur di atas pangkuan
emaknya. Sutinah tak tega untuk membangunkan Aisyah. Ditatapnya wajah Aisyah sambil dibelai-belai rambutnya yang terurai
panjang.
“Aisyah, betapa malang nasibmu, Nak. Mungkin kamu terlalu lelah menjalani kehidupan ini. Maafkan Emak yang selalu merepotkanmu. Tidak selayaknya kamu
bekerja secapek ini, Nak. Harusnya, Emak yang melakukan ini semua, tapi apalah
daya … kondisi Emak begitu rapuh. Badan ini rasanya
lemas sekali, terlebih sekarang adikmu juga membutuhkan perawatan. Emak merasa
menjadi seorang ibu yang tidak berguna,” ucap Sutinah
lirih sambil menahan isak tangisnya.
Rupanya Aisyah mendengar ucapan
emaknya. “Mak, sudahlah … Aisyah enggak apa-apa, kok. Aisyah kuat, kok, bekerja.
Aisyah rela menjalani ini semua, yang penting Emak sehat, dede bayi juga sehat,” ucap Aisyah dengan suara serak.
“Kamu enggak tidur, Nak? Emak pikir, kamu sudah tidur,” tanya Emak kaget mengira Aisyah sudah
tertidur.
“Belum, Mak. Sudah lama Aisyah enggak tidur di pangkuan Emak,” kata Aisyah sambil tersenyum
bahagia. Ia begitu merasakan suasana nyaman tidur di pangkuan emaknya.
Sesekali Aisyah membuka matanya
sambil mengubah posisi tidurnya, sekadar memastikan bahwa emaknya baik-baik
saja. Dengan suara parau, Aisyah bertanya kepada emaknya, “Mak, Bapak mana? Sudah malam begini, kok enggak ada di rumah?”
“Bapakmu kan, malam ini kebagian ronda. Jadi mungkin, Bapak tidurnya di pos ronda.”
“Kok Bapak ngerondanya tiap malam
sih, Mak? Bapak si Junengsih, teman Aisyah, cuma semalam aja. Itu pun kadang ada, kadang enggak.” Pertanyaan polos meluncur begitu saja dari mulut Aisyah.
“Ya … Sebenarnya jadwal ngeronda Bapak juga cuma
satu malam. Nah, malam-malam yang lainnya Bapak mengganti bapak-bapak lain yang enggak bisa ngeronda karena kesibukannya. Lumayanlah, Bapak dapat uang
pengganti. Makanya, kita masih bisa makan, walaupun Bapak enggak kerja,” jelas
Sutinah meyakinkan.
“Oh, begitu ya, Mak. Kasihan, Bapak … setiap malam pasti kedinginan tidur
di pos ronda,” ucap Aisyah. Aisyah pun bangkit
dari pangkuan emaknya. Diikatnya rambut yang terurai dan duduk sila menghadap Emak dengan semangat.
“Lo, kok kamu malah bangun? Ada apa, Nak?” tanya Emak kaget.
“Boleh tidak, Mak, Aisyah ngeronda gantikan Bapak? Biar Bapak bisa tidur di rumah, menjaga Emak dan adik bayi. Boleh, kan, Mak?” tanya Aisyah polos.
Kepolosannya itu membuat Sutinah tertawa kecil.
“He-he-he, Aisyah … Aisyah … Masa anak kecil
ngeronda? Mana bisa, Nak? Memangnya Aisyah berani kalau ada maling di kampung kita? Yang ngeronda kan
harus bisa menangkap maling itu,” jawab emak. Keceriaan nampak
terbersit sedikit pada wajah Sutinah, karena dia merasa terhibur dengan
petanyaan lucu dari Aisyah.
“Oh … gitu ya, Mak? Memangnya di kampung kita suka ada maling, Mak?” Lagi-lagi Aisyah bertanya
dengan kepolosannya. Aisyah jadi penasaran. Dia selalu saja ingin serba tahu
tentang suatu hal, termasuk masalah ronda.
Malam ini Sutinah dan Aisyah
berbincang begitu asyiknya, hingga tak terasa malam pun semakin larut. Aisyah tertidur
di pangkuan emaknya. Sutinah memindahkan posisi tidur Aisyah di sebelah
bayinya. Sutinah tidur bersama kedua anaknya dengan lelap.
Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan
suara kentongan. “Tong … tong … tong!” Suara kentongan saling bersahutan.
“Maliing … maliiing ….” Petugas ronda pun berteriak teriak.
Teriakan itu mendakan adanya maling di kampung itu. Sudah beberapa hari kejadian seperti itu terulang. Namun, maling
yang diteriaki oleh peronda itu
masih saja gentayangan.
Sutinah dan Aisyah terperanjat kaget
mendengar suara kentongan dan teriakan. Tidur nyenyak mereka hanya sesaat saja. Baru saja Aisyah dan Sutinah terlelap,
kini hati mereka gelisah tak menentu mendengar orang-orang teriak.
Suara kentongan itu semakin jelas
terdengar. “Bu Sutinah … Bu!” terdengar suara peronda memanggil-manggil Sutinah. “Bu … bangun, Bu. Tadi kami melihat malingnya lari ke arah rumah Ibu,” teriak beberapa orang.
“Dor dor dor!” suara pintu digedor
sangat keras. Sutinah pun segera bangun dari tempat tidur, setengah berlari
menuju pintu. Kaget bukan kepalang pintunya digedor petugas ronda. Dibukanya
pintu rumah lebar-lebar. Terlihat para petugas ronda sedang memeriksa
sekeliling rumah Sutinah.
“Ibu baik-baik saja? Ibu enggak kenapa-kenapa? Apa Ibu enggak lihat ada orang yang masuk rumah
ini? Tadi kami mengejar maling, dan arahnya
menuju ke rumah ini!” jelas Mang Kuyan terengah-engah.
“Apa? Maling? Masuk rumah ini? Eu … a … aku enggak lihat, Mang. Perasaan, enggak ada orang masuk,” jawab Sutinah gugup. Kegugupan Sutinah bertambah ketika Mang
Kuyan bersama teman rondanya masuk tanpa permisi.
“Eh, kalian mau apa?” tanya Sutinah sambil menahan Mang kuyan masuk
rumah. “Memangnya kalian yakin, maling itu masuk rumahku?” tanya
Sutinah penasaran.
“Bu … sudah beberapa hari ini kampung kita kedatangan maling. Kami
berusaha untuk menangkap maling itu. Nah, malam ini
maling itu datang lagi. Setiap ketahuan dan dikejar, selalu saja maling itu larinya ke rumah
ini,” jawab Mang Kuyan masih
terengah-engah.
Keributan di luar membuat Aisyah
terbangun dari tidurnya. Aisyah pun segera ke luar rumah. “Maak … ada apa ribut-ribut?” tanya Aisyah sambil mengucek-ngucek matannya karena masih mengantuk.
“Kenapa orang-orang masuk ke rumah kita? Mereka siapa, Mak?” Aisyah terus
bertanya karena merasa ada yang aneh dengan suasana seperti itu.
Mang Kuyan memaksa masuk rumah dan
memeriksa setiap ruangan. Dia tak menghiraukan larangan Sutinah, karena dia
merasa yakin kalau maling itu ada di sekitar rumah ini.
“Mereka itu yang bertugas ronda
malam ini. Sekarang bagian Mang Kuyan dan teman-temannya yang ronda.
Mereka sedang mengejar maling. Katanya maling itu masuk rumah kita,” papar Sutinah kepada Aisyah.
“Hey, Aisyah … kamu lihat ada orang yang masuk ke rumah ini, enggak?” tanya Mang Kuyan lebih tegas
lagi. Seolah-olah Mang Kuyan tak percaya dengan jawaban Sutinah.
Sejenak Aisyah berpikir. “Kenapa mereka mengejar maling sampai ke rumah ini?” Aisyah pun langsung teringat
bapaknya yang tidak ada di rumah karena mendapat tugas meronda.
“Lo, Mang, Bapak mana?” tanya Aisyah.
“Kamu ini, ditanya malah balik nanya. Mana Mang tahu di mana bapakmu,” jawab Mang Kuyan dengan nada
ketus.
“Bukannya Bapak juga ngeronda malam ini? Kok Bapak enggak ada? Emang ngejar malingnya enggak barengan, ya, Mang?” tanya Aisyah.
“Apa katamu? Bapakmu ngeronda malam
ini? Oh … jadi malam ini bapakmu enggak ada di rumah? Hey, dengar, ya, Aisyah, Bu Sutinah … si Dimas
itu sudah lama enggak pernah ngeronda. Kalau enggak percaya, tanya tuh sama bapak-bapak yang lagi ngeronda sekarang.”
“Apa? Bapak enggak pernah ngeronda? Ah, Mang Kuyan bohong,” ujar Aisyah dengan nada kesal.
“Eeh … dasar bocah! Dibilangin, kok malah
ngeyel!” hardik Mang Kuyan.
“Sudah, sudah. Sekarang bapak-bapak sudah memeriksa rumah kami, kan? Dan malingnya tidak ada di sini. Jadi, silakan bapak-bapak cari di
tempat lain saja. Di rumah ini ada bayi, kasihan, khawatirnya dia terganggu
dengan keributan ini. Maaf, ya, bapak-bapak, kalau memang nanti kami melihat maling itu
berkeliaran di rumah ini, kami akan teriak minta tolong,” papar Sutinah menyudahi perbincangan.
Mang kuyan dan teman-temanya segera
meninggalkan rumah Sutinah. Aisyah sempat mendengar gerutuan bapak-bapak petugas ronda itu sebelum keluar. Mereka mengatakan, “Jangan-jangan, si Dimas maling itu.” Perkataan itu
Aisyah simpan dalam hati saja. Aisyah merasa belum saatnya bertanya kepada
emaknya.
“Aisyah … nah, seperti itulah tugas
yang meronda itu, Aisyah masih mau jadi petugas ronda? Kerjaannya itu, ya, ngejar maling seperti tadi. Ayo!
Sekarang kita tidur lagi, kasihan dede bayinya tidur sendirian. Yuk,” ajak emak sambil merangkul Aisyah.
Aisyah tak segera menuruti ajakan
emaknya. Dia masih teringat gerutuan petugas ronda tadi yang mencurigai
bapaknya maling. Walaupun dengan berat hati, Aisyah bertanya juga kepada emaknya, “Mak, kalau Bapak ngerondanya di mana?”
Sebenarnya, Sutinah pun sudah curiga dengan suaminya yang pergi rronda tiap malam. Tapi, kecurigaannya tak pernah ditunjukkan. Bagi
Sutinah apa pun yang dilakukan suaminya di luar rumah, itu hanya semata-mata
untuk mencari nafkah keluarganya.
Baru saja Sutinah mau menjawab
pertanyaan Aisyah, tiba- tiba terengar suara barang jatuh dari arah dapur.
“Praang!” Mereka kaget bukan kepalang. Spontan
mereka berpelukan ketakutan.
“Mak … suara apa itu? Aisyah takut, Mak. Jangan-jangan, itu maling.” Aisyah memeluk erat
emaknya sambil menangis ketakutan.
“Tenang, tenang, Aisyah. Kita harus tenang, kita berdoa saja semoga itu kucing yang lompat dari atas genting dapur.” Sutinah
berusaha meyakinkan Aisyah.
Akhirnya, dalam keadaan yang
mencekam, Sutinah dan Aisyah memberanikan diri berjalan ke arah dapur. Mereka
harus tahu, suara apa itu tadi. Tak ada benda yang dijadikan sebagai alat
pemukul, kecuali sapu ijuk dan sapu lidi. Aisyah memegang sapu lidi, sedangkan
emaknya memegang sapu ijuk.
Seperti detektif dalam film-film di
TV, Aisyah dan emaknya mengendap-endap berjalan berjinjit ke arah dapur. Tidak
ada cahaya sedikit pun, gelap. Perlahan-lahan, emaknya menyalakan lentera cadangan yang menempel di dinding bambu
dapur.
Apa yang mereka dapatkan di dapur
itu? Serempak mereka menjerit, “Bapaaak!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar