Setelah Sutinah ditempatkan di rumah sakit jiwa, Aisyah hidupnya
semakin menderita. Ia tinggal bersama adiknya di rumah tanpa ada orang dewasa
yang menemani. Dimas, selaku bapaknya tidak setiap hari datang ke rumah, karena
dirinya sudah terjajah oleh keegoannya. Dimas lebih disbukkan dengan Bu Berta.
Bi Onah, tetangga terdekat Aisyah,
setiap hari selalu datang ke rumah Aisyah sekadar melihat kondisi dua bocah
yang hidupnya serba kekeurangan. Orang-orang sekitar pun banyak yang memberi bantuan makanan ala kadarnya.
Banyak yang menawari Aisyah untuk
tinggal bersama mereka, tapi Aisyah
menolaknya. Dia tidak mau merepotkan banyak orang, apalagi menjadi beban orang
lain. Aisyah sudah terbiasa hidup mandiri sejak masih ada emaknya, karena emaknya memang tak berdaya.
“Aisyah, tinggallah bersama Bibi. Bibi
kasihan melihat kamu hidup berdua sama adikmu yang masih kecil. Apa kamu tidak
merasa capek, tiap hari harus bekerja mengurusi adikmu, mencuci pakaian
sendiri, masak, sedangkan anak-anak seusiamu asyik bermain dan sekolah?” kata
Bi Onah membujuk Aisyah.
“Enggak, Bi. Biar Aisyah tinggal di
rumah ini saja bersama dede. Kalau Aisyah
tinggal di rumah Bibi, nanti siapa yang mengurus rumah ini? Terus nanti kalau Emak pulang, pasti Emak mencari Aisyah. Kasihan Emak, Bi,” jawab Aisyah jujur.
Bocah sekecil Aisyah, sudah
mempunyai pandangan hidup. Dalam keadaan terhimpit pun, dia masih saja
memikirkan emaknya. Aisyah terpaksa harus hidup terpisah dari emaknya karena keadaan yang mendesak. Emak yang selama ini menjadi tumpuan
hidupnya, yang selalu menjadi
penyemangat hidupnya.
“Bibi jangan terlalu khawatirkan
Aisyah. Aisyah enggak merasa capek kok, Bi. Lagian juga, Bapak suka datang bawa makanan buat Aisyah dan adik,”
jawab Aisyah sambil sesekali mengipas-ngipaskan kain untuk adiknya karena
kegerahan.
“Ya sudah, kalau kamu enggak mau diajak tinggal bareng sama Bibi. Bibi juga enggak maksa. Bibi cuma khawatir, takut kalau kamu
kenapa-kenapa. Oh, ya, sekarang Bibi punya TV lo, lumayan, lah, buat hiburan. Kalau Aisyah mau nonton, datang saja ke rumah Bibi, ya!” kata
Bi Onah membujuk Aisyah.
Mendengar Bi Onah punya TV, matanya
berbinar-binar. Sudah lama Aisyah ingin melihat TV. Selama ini dia hanya mendengar
cerita dari orang. Itu pun cerita dari hasil menguping
omongan orang-orang yang kebetulan sedang mengobrol.
“Apa, Bi? Tipi? Waah! Aku mau, aku mau, Bi. Sudah lama aku ingin liat tipi. Ayo, Bi, sekarang kita ke rumah Bibi,” ucap Aisyah sambil bergegas
bersiap-siap berangkat.
“Eh, tunggu dulu Aisyah, ini adikmu
gimana? Masa mau ditinggal sendirian? Ayo, bawa adikmu juga, jangan lupa bawa
sekalian baju gantinya,” kata Bi Onah mengingatkan Aisyah.
Bi Onah tak tega melihat Aisyah
harus mengendong adiknya. “Sini, biar Bibi yang
gendong adikmu. Kamu bawa saja peralatan seperlunya.” Mereka pun berangkat menuju rumah Bi Onah.
Setibanya di rumah Bi Onah, Aisyah
langsung duduk di hadapan TV. Aisyah merasa terkagum-kagum.
Wajahnya memancarkan kegembiraan yang tak terkira. Televisi berukuran 17 inci yang terletak di sudut ruangan rumah
Bi Onah, bagi Aisyah, itu adalah pemandangan yang menakjubkan, karena
sebelumnya Aisyah tidak pernah membayangkan seperti apa tayangan televisi itu.
Dalam tayangan TV itu kadang
terlintas ada teks yang harus dibaca. Aisyah tidak mengerti tulisan apa yang
ada dalam tayangan itu. Merasakan hal seperti itu, Aisyah semakin mengebu ingin
belajar membaca.
“Ah! Aku tak mengerti! Tulisan apa itu? Aku ingin bisa baca,
biar aku mengerti nama makanan atau minuman
yang dibawa bapak. Aku malu bertanya terus sama Bapak. Tapi, bagaimana aku bisa
baca, kalau sekolah saja tidak?” ucap Aisyah dalam hati.
“Nanti kalau Bapak pulang, aku mau bicara
sama Bapak. Aku mau sekolah, biar bisa baca … tapi, kalau aku sekolah, nanti dede bayi sama siapa? Apa mau, Bi Onah mengurus dede?” Aisyah bicara sendiri dalam hati.
Hari-hari selanjutnya, Aisyah selalu ke rumah Bi Onah. Menonton televisi adalah hiburan yang sangat menyenangkan bagi Aisyah.
Namun, kesengan itu tidak berjalan lama.
Asep, anaknya Bi Onah yang seusia Aisyah
merasa tidak nyaman dengan kedatangan Aisyah setiap hari untuk menonton televisi di rumahnya.
Asep memiliki tubuh yang tambun,
hitam, dan bermata besar. Jika sedang
marah, orang-orang merasa takut, karena ada saja benda yang dilempar. Walaupun
masih anak- anak, karena tubuhnya yang besar, Asep nampak seperti orang dewasa.
“Hey! Aisyah, apa kamu tidak bosan, hah? Tiap hari
kerjanya nonton saja! Adikmu juga, buat kotor rumah saja. Ayo! Sana pulang, berisik, tahu!” bentak asep sambil bertolak pinggang.
Belum juga Aisyah berkemas pulang,
Asep membentak lagi, “Eeh … ini anak enggak bisa dibilangin, ya?
Kamu budek, apa? Ayo, pulang! Pulang sana!” Kali ini Asep membentak sambil mengacungkan sapu. Sapu
itu hendak dipukulkan ke Aisyah.
Aisyah kaget bukan kepalang. Dia
langsung membereskan perlengkapan adiknya hendak segera pulang. “I-iya, Sep,
aku akan segera pulang. Maaf … Aisyah sudah ganggu, ya?” jawab Aisyah ketakutan.
Melihat gelagat seperti itu, Aisyah pun segera berkemas. Saat itu Aisyah lupa, kalau pukul dua
belas, Asep pulang dari sekolah. Biasanya, Aisyah pulang dari rumah Bi Onah sebelum Asep datang. Dasar apes,
Aisyah ketahuan Asep nonton TV.
Melihat kejadian seperti itu, Bi
Onah merasa tidak enak hati kepada Aisyah. Dilerainya Asep ketika memarahi
Aisyah. “Asep! Kamu ini apa-apaan, sih? Kebiasaan, kamu ya, bentak-bentak seenaknya. Kasihan
kan, Aisyah,” kata Bi Onah melerai Asep.
“Lo, Mamah kok malah belain si
Aisyah, sih? Tuh! Lihat Mah, rumah kita berantakan dan kotor kan, gara-gara si
Aisyah dan adiknya itu!” jawab Asep sambil menunjuk-nunjuk perlengkapan Aisyah
yang tergeletak di lantai.
“Ya sudah, nanti juga Aisyah rapikan
lagi, dia sudah biasa kok, begitu,” bela Bi Onah.
“Enggak mau. Pokoknya Asep mau dia pergi. Ih! Asep
sumpek lihat mereka!” ucap Asep bertambah marah.
“Asep!” Bi Onah pun balik membentak
Asep.
“Sudah, Bi. Enggak apa-apa,
Aisyah pulang saja. Lagian ini sudah siang, kok. Sudah waktunya salat Zuhur. Maafin Aisyah, ya, sudah bikin kotor di
rumah Bibi. Aisyah pulang, Bi. Assalamualaikum,” kata Aisyah.
“Oh iya, Aisyah. Untung kamu mengingatkan
Bibi. Bibi juga belum salat Zuhur. Maafin si Asep, ya. Jangan diambil hati. Dia
memang suka begitu kalau ada maunya. Sudah lama si
Asep itu ingin dibeliin hape. Maafin dia, ya, Aisyah,” kata Bi Onah.
Aisyah pun pulang bersama adiknya
dengan perasaan kecewa. “Dek, kita pulang, ya. Coba, di rumah kita ada TV, ya. Kita enggak usah repot-repot nonton di
rumah orang. Hmm … tapi apa mungkin kita punya TV ya, Dek? Listrik saja, kita enggak ada.”
Dari kejauhan, Aisyah melihat asap hitam mengepul tinggi. Beberapa orang berlari
menuju arah asap itu. “Kebakaran … kebakaran!”
“Hah, kebakaran? Rumah siapa yang
kebakaran?” tanya Aisyah dalam hati.
“Itu … itu sepertinya … dekat
rumahku. Jangan-jangan …” Aisyah mulai curiga. Kecurigaan Aisyah bertambah
ketika beberapa orang ada yang berteriak, “Aisyah! Aisyah di mana?”
Aisyah pun berlari menuju rumahnya.
Sekujur tubuh Aisyah terasa lemas. Dia melihat rumahnya sudah habis dilalap si
jago merah. Tak ada barang yang tersisa. Semuanya hangus terbakar. Aisyah
menagis sambil memeluk erat adiknya.
“Dek, gimana ini? Rumah kita kebakaran, hu … hu … hu … di mana kita tinggal sekarang? Kakak enggak tahu harus ke mana. Hu … hu … hu …” ucap Aisyah lirih.
“Bapaak … Emaaak … tolooong!” teriak Aisyah.
“Oaa … oaa ….” Adik bayi pun
seolah turut merasakan kepanikan suasana pada saat itu.
Aisyah berteriak meminta tolong.
Namun, tak seorang pun yang memperhatikan teriakannya. Semua orang sibuk
memadamkan api. Jerit tangis Aisyah dan adiknya tak dihiraukan.
Nasib Aisyah begitu tragis.
Kesengsaraan yang begitu menghimpit rupanya tak cukup untuk menguji kehidupan
Aisyah, seorang bocah yang selalu ditimpa musibah. Namun, ia tetap tegar
menghadapi semua ujian dari Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar