Jumat, 03 Juli 2020

Romantika Aisyah 6






Setelah Sutinah ditempatkan di rumah sakit jiwa, Aisyah hidupnya semakin menderita. Ia tinggal bersama adiknya di rumah tanpa ada orang dewasa yang menemani. Dimas, selaku bapaknya tidak setiap hari datang ke rumah, karena dirinya sudah terjajah oleh keegoannya. Dimas lebih disbukkan dengan Bu Berta.

Bi Onah, tetangga terdekat Aisyah, setiap hari selalu datang ke rumah Aisyah sekadar melihat kondisi dua bocah yang hidupnya serba kekeurangan. Orang-orang sekitar pun banyak yang memberi bantuan makanan ala kadarnya.

Banyak yang menawari Aisyah untuk tinggal bersama mereka, tapi Aisyah menolaknya. Dia tidak mau merepotkan banyak orang, apalagi menjadi beban orang lain. Aisyah sudah terbiasa hidup mandiri sejak masih ada emaknya, karena emaknya memang tak berdaya.

“Aisyah, tinggallah bersama Bibi. Bibi kasihan melihat kamu hidup berdua sama adikmu yang masih kecil. Apa kamu tidak merasa capek, tiap hari harus bekerja mengurusi adikmu, mencuci pakaian sendiri, masak, sedangkan anak-anak seusiamu asyik bermain dan sekolah?” kata Bi Onah membujuk Aisyah.

“Enggak, Bi. Biar Aisyah tinggal di rumah ini saja bersama dede. Kalau Aisyah tinggal di rumah Bibi, nanti siapa yang mengurus rumah ini? Terus nanti kalau Emak pulang, pasti Emak mencari Aisyah. Kasihan Emak, Bi,” jawab Aisyah jujur.

Bocah sekecil Aisyah, sudah mempunyai pandangan hidup. Dalam keadaan terhimpit pun, dia masih saja memikirkan emaknya. Aisyah terpaksa harus hidup terpisah dari emaknya karena keadaan yang mendesak. Emak yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya, yang selalu menjadi penyemangat hidupnya.

“Bibi jangan terlalu khawatirkan Aisyah. Aisyah enggak merasa capek kok, Bi. Lagian juga, Bapak suka datang bawa makanan buat Aisyah dan adik,” jawab Aisyah sambil sesekali mengipas-ngipaskan kain untuk adiknya karena kegerahan.

“Ya sudah, kalau kamu enggak mau diajak tinggal bareng sama Bibi. Bibi juga enggak maksa. Bibi cuma khawatir, takut kalau kamu kenapa-kenapa. Oh, ya, sekarang Bibi punya TV lo, lumayan, lah, buat hiburan. Kalau Aisyah mau nonton, datang saja ke rumah Bibi, ya!” kata Bi Onah membujuk Aisyah.

Mendengar Bi Onah punya TV, matanya berbinar-binar. Sudah lama Aisyah ingin melihat TV. Selama ini dia hanya mendengar cerita dari orang. Itu pun cerita dari hasil menguping omongan orang-orang yang kebetulan sedang mengobrol.  

“Apa, Bi? Tipi? Waah! Aku mau, aku mau, Bi. Sudah lama aku ingin liat tipi. Ayo, Bi, sekarang kita ke rumah Bibi,” ucap Aisyah sambil bergegas bersiap-siap berangkat.

“Eh, tunggu dulu Aisyah, ini adikmu gimana? Masa mau ditinggal sendirian? Ayo, bawa adikmu juga, jangan lupa bawa sekalian baju gantinya,” kata Bi Onah mengingatkan Aisyah.

Bi Onah tak tega melihat Aisyah harus mengendong adiknya. “Sini, biar Bibi yang gendong adikmu. Kamu bawa saja peralatan seperlunya.” Mereka pun berangkat menuju rumah Bi Onah.

Setibanya di rumah Bi Onah, Aisyah langsung duduk di hadapan TV. Aisyah merasa terkagum-kagum. Wajahnya memancarkan kegembiraan yang tak terkira. Televisi berukuran 17 inci yang terletak di sudut ruangan rumah Bi Onah, bagi Aisyah, itu adalah pemandangan yang menakjubkan, karena sebelumnya Aisyah tidak pernah membayangkan seperti apa tayangan televisi itu.

Dalam tayangan TV itu kadang terlintas ada teks yang harus dibaca. Aisyah tidak mengerti tulisan apa yang ada dalam tayangan itu. Merasakan hal seperti itu, Aisyah semakin mengebu ingin belajar membaca.

“Ah! Aku tak mengerti! Tulisan apa itu? Aku ingin bisa baca, biar aku mengerti nama makanan atau minuman yang dibawa bapak. Aku malu bertanya terus sama Bapak. Tapi, bagaimana aku bisa baca, kalau sekolah saja tidak?” ucap Aisyah dalam hati.

“Nanti kalau Bapak pulang, aku mau bicara sama Bapak. Aku mau sekolah, biar bisa baca tapi, kalau aku sekolah, nanti dede bayi sama siapa? Apa mau, Bi Onah mengurus dede? Aisyah bicara sendiri dalam hati.

Hari-hari selanjutnya, Aisyah selalu ke rumah Bi Onah. Menonton televisi adalah hiburan yang sangat menyenangkan bagi Aisyah. Namun, kesengan itu tidak berjalan lama. Asep, anaknya Bi Onah yang seusia Aisyah merasa tidak nyaman dengan kedatangan Aisyah setiap hari untuk menonton televisi di rumahnya.

Asep memiliki tubuh yang tambun, hitam, dan bermata besar. Jika sedang marah, orang-orang merasa takut, karena ada saja benda yang dilempar. Walaupun masih anak- anak, karena tubuhnya yang besar, Asep nampak seperti orang dewasa.

 “Hey! Aisyah, apa kamu tidak bosan, hah? Tiap hari kerjanya nonton saja! Adikmu juga, buat kotor rumah saja. Ayo! Sana pulang, berisik, tahu!” bentak asep sambil bertolak pinggang.

Belum juga Aisyah berkemas pulang, Asep membentak lagi, “Eeh ini anak enggak bisa dibilangin, ya? Kamu budek, apa? Ayo, pulang! Pulang sana!” Kali ini Asep membentak sambil mengacungkan sapu. Sapu itu hendak dipukulkan ke Aisyah.

Aisyah kaget bukan kepalang. Dia langsung membereskan perlengkapan adiknya hendak segera pulang. “I-iya, Sep, aku akan segera pulang. Maaf … Aisyah sudah ganggu, ya?” jawab Aisyah ketakutan.

Melihat gelagat seperti itu, Aisyah pun segera berkemas. Saat itu Aisyah lupa, kalau pukul dua belas, Asep pulang dari sekolah. Biasanya, Aisyah pulang dari rumah Bi Onah sebelum Asep datang. Dasar apes, Aisyah ketahuan Asep nonton TV.

Melihat kejadian seperti itu, Bi Onah merasa tidak enak hati kepada Aisyah. Dilerainya Asep ketika memarahi Aisyah. “Asep! Kamu ini apa-apaan, sih? Kebiasaan, kamu ya, bentak-bentak seenaknya. Kasihan kan, Aisyah,” kata Bi Onah melerai Asep.

“Lo, Mamah kok malah belain si Aisyah, sih? Tuh! Lihat Mah, rumah kita berantakan dan kotor kan, gara-gara si Aisyah dan adiknya itu!” jawab Asep sambil menunjuk-nunjuk perlengkapan Aisyah yang tergeletak di lantai.

“Ya sudah, nanti juga Aisyah rapikan lagi, dia sudah biasa kok, begitu,” bela Bi Onah.

“Enggak mau. Pokoknya Asep mau dia pergi. Ih! Asep sumpek lihat mereka! ucap Asep bertambah marah.

“Asep!” Bi Onah pun balik membentak Asep.

“Sudah, Bi. Enggak apa-apa, Aisyah pulang saja. Lagian ini sudah siang, kok. Sudah waktunya salat Zuhur. Maafin Aisyah, ya, sudah bikin kotor di rumah Bibi. Aisyah pulang, Bi. Assalamualaikum,” kata Aisyah.

“Oh iya, Aisyah. Untung kamu mengingatkan Bibi. Bibi juga belum salat Zuhur. Maafin si Asep, ya. Jangan diambil hati. Dia memang suka begitu kalau ada maunya. Sudah lama si Asep itu ingin dibeliin hape. Maafin dia, ya, Aisyah,kata Bi Onah.

Aisyah pun pulang bersama adiknya dengan perasaan kecewa. “Dek, kita pulang, ya. Coba, di rumah kita ada TV, ya. Kita enggak usah repot-repot nonton di rumah orang. Hmm … tapi apa mungkin kita punya TV ya, Dek? Listrik saja, kita enggak ada.”

Dari kejauhan, Aisyah melihat asap hitam mengepul tinggi. Beberapa orang berlari menuju arah asap itu. “Kebakaran kebakaran!”

“Hah, kebakaran? Rumah siapa yang kebakaran?” tanya Aisyah dalam hati.

“Itu … itu sepertinya … dekat rumahku. Jangan-jangan …” Aisyah mulai curiga. Kecurigaan Aisyah bertambah ketika beberapa orang ada yang berteriak, “Aisyah! Aisyah di mana?”

Aisyah pun berlari menuju rumahnya. Sekujur tubuh Aisyah terasa lemas. Dia melihat rumahnya sudah habis dilalap si jago merah. Tak ada barang yang tersisa. Semuanya hangus terbakar. Aisyah menagis sambil memeluk erat adiknya.

“Dek, gimana ini? Rumah kita kebakaran, huhu … hu … di mana kita tinggal sekarang? Kakak enggak tahu harus ke mana. Huhuhu …” ucap Aisyah lirih.

“Bapaak Emaaak tolooong!” teriak Aisyah.

“Oaa … oaa …. Adik bayi pun seolah turut merasakan kepanikan suasana pada saat itu.

Aisyah berteriak meminta tolong. Namun, tak seorang pun yang memperhatikan teriakannya. Semua orang sibuk memadamkan api. Jerit tangis Aisyah dan adiknya tak dihiraukan.

Nasib Aisyah begitu tragis. Kesengsaraan yang begitu menghimpit rupanya tak cukup untuk menguji kehidupan Aisyah, seorang bocah yang selalu ditimpa musibah. Namun, ia tetap tegar menghadapi semua ujian dari Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat Berkah di SDN Karanganyar

  Masya Allah Tabarakallah, rezeki buat anak-anak soleh dan solehan siswa SDN Karanganyar. Hari ini, Jumat, 01 September 2023 ada seorang ha...