Aisyah terperangkap di sebuah ruangan. Kini Aisyah harus menghadapi
preman yang tadi menggertak komplotan Thomas. Di satu sisi Aisyah lega karena terlapas dari ancama komplotan Thomas,
tetapi di sisi lain Aisyah tercekam dengan kedatangan sosok preman yang
menyeramkan.
Aisyah merasa bimbang, apakah dia
harus berterima kasih pada preman itu? Ataukah preman itu ada maksud lain?
Bagaimana caranya agar Aisyah bisa keluar dari tempat persembunyian, sedangkan
preman itu masih ada di sekitar itu?
“Halo, gadis manis … Aku tahu kamu sedang sembunyi di sudut itu. Ayo keluar, Sayang! Bukannya aku sudah menolongmu? Ayolah, tunjukan rasa terima kasihmu padaku.” Sang preman meminta agar Aisyah
keluar dari tempat persembunyiannya.
Mendengar suara preman seperti itu,
Aisyah merasakan ada hal yang kurang baik. Pasti preman itu meminta sesuatu
imbalan. Aisyah masih membungkam dirinya. Dia tidak berani untuk menampakkan
dirinya di hadapan preman itu.
“Ayolah, Sayang … jangan takut. Abang enggak akan berbuat macam-macam kok, sama kamu.” Suara preman itu semakin mendekat. Aisyah semakin
tercekam. Pikirannya kalut tak menentu. Dia masih juga belum berani muncul.
“Prang!” Terdengar suara benda
dibanting. Aisyah terperanjat sampai hilang kontrol lalu berteriak karena rasa
takut sudah sampai ke ubun-ubun kepala. Teriakan Aisyah pun terdengar oleh
preman itu, sehingga dia dapat mengetahui
posisi persembunyian Aisyah.
“Oh, rupanya kamu mau main kucing-kucingan ya, sama Abang? Ayo, miauw … miauw,” ucap preman itu dengan gaya menggoda.
Akhirnya Aisyah pun berdiri, dan
menampakkan diri dari tempat persembunyiannya. Bersimbah keringat di sekujur
tubuhnya. Bergetar bibirnya ketika mau memulai bicara.
“I … i-ya, Bang. Aku di sini,” ucap Aisyah gugup.
“Nah, gitu, dong, Sayang. Ayo sini mendekat ke Abang. Cantik juga ya, wajahmu. Lumayan nih, buat bersenang-senang sore ini. Ahaha …” ucap preman tersebut sambil
perlahan menuju Aisyah.
Semakin mendekat preman itu, Aisyah
pun semakin melangkah mundur. Saat itu waktu sudah mau menjelang magrib.
Keadaan sekitar sudah terlihat samar-samar. Tak ada seorang pun yang tahu
kejadian yang sedang berlangsung pada saat itu, karena tempat itu jarang
disinggahi orang.
Suasana semakin menegangkan ketika
si preman itu mulai berlaku kurang ajar pada Aisyah. Dengan sekali gertak, Aisyah pun dapat tertangkap. Mulutnya dibekap. Aisyah tak dapat
berkutik, ia hampir kehabisan napas. Perasaanya kacau
tak menentu, tapi Aisyah masih ingat Allah.
Dalam hatinya ia menjerit meminta
pertolongan Allah. “Ya Allah, lindungilah hamba-Mu ini dari
malapetaka yang akan menimpa diri hamba. Ya
Allah, ampuni hamba-Mu ini, ya Allaaah ....”
Ketika kepanikan mulai membuncah,
tiba-tiba preman itu terkulai lemas dan … brug! Jatuh. Aisyah heran, kenapa tiba-tiba preman itu tersungkur.
Ternyata, Rama memukul preman itu dari belakang. Kedatangan Rama tak diketahuinya. Aisyah terbelalak
melihat Rama ada di hadapannya.
“Rama?” ucap Aisyah keheranan.
“Ayo Aisyah, segera kita tinggalkan tempat ini.” ucap Rama sambil menarik
lengan Aisyah. Aisyah pun mengikuti langkah Rama. Mereka berlari meninggalkan
tempat itu. Selamatlah Aisyah dari ancaman preman.
Langkah Aisyah tidak segesit Rama, sehingga
ia agak terseret-seret larinya. Hampir beberapa kali mau terjatuh. Karena
merasa kewalahan mengikuti langkahnya Rama, Aisyah pun menarik tangan Rama
berusaha untuk menahannya.
“Tunggu … tunggu, Rama,” ucap Aisyah terengah-engah.
Rama pun menghentikan langkahnya.
“Hey, kenapa berhenti? Ayo lari lagi, posisi kita belum aman, Aisyah. Nanti preman itu akan mengejar kita.” Rama pun terengah-engah dan
terus menyeret Aisyah. Akhirnya Aisyah pun mengikuti kembali langkah Rama.
Setelah sekian jauh mereka berlari,
sampailah di sebuah tempat yang nyaman. “Kita istirahat di sini saja dulu,” ucap Rama.
Mereka melepas lelah. Secara tak
sengaja mereka beradu pandangan. Ada getaran aneh yang menyelinap di hati
Aisyah. Namun, Aisyah segera menepis perasaan itu. Rama menatap Aisyah dengan tatapan penuh rasa.
“Ram, sudah dua kali kamu selamatkan aku. Aku … aku tidak
tahu harus bagaimana caranya berterima kasih padamu,” ucap Aisyah lirih.
“Ah, sudahlah, jangan kau pikirkan
itu. Sekarang aku antar kamu pulang, ya. Ayo, kita naik taksi saja supaya cepat sampai ke rumahmu,” ucap Rama memalingkan pandangannnya dari Aisyah. Dia tidak mau
semakin lama memandang Aisyah semakin dalam perasaannya pada Aisyah.
“Sebentar, Ram. Kenapa kamu begitu baik sama aku? Bukankah kamu
itu komplotannya si Thomas, geng sekolah yang selalu membuat kerusuhan di
sekolah?” tanya Aisyah heran.
“Nanti saja kuceritakan. Tuh, ada taksi lewat. Ayo, cepat sedikit, Aisyah.”
Taksi pun melaju dengan kencang membawa Rama dan Aisyah. Di dalam taksi Rama menceritakan semuanya. Dia masuk komplotan Thomas sebenarnya
untuk menyelamatkan Aisyah. Rama tahu kalau Thomas sering menjahili Aisyah.
Ketika Rama mendapatkan persembunyian
Aisyah, Rama sengaja tidak memberitahukan kepada teman-temannya. Ketika
komplotan Thomas lari karena digertak preman, Rama putar balik tanpa
sepengetahuan teman-temannya. Rama merasa khawatir dengan kondisi Aisyah saat
itu. Hingga akhirnya Rama dapat menyelamatkan Aisyah dari cengkraman preman.
Mendengar penjelasan Rama seperti
itu, meneteslah air mata Aisyah. Dia tidak menyangka, ternyata ada orang yang
sepeduli itu pada dirinya. Secara tidak sadar Aisyah memegang tangan Rama untuk
mengucapka rasa terima kasihnya.
“Rama … entah apa jadinya waktu itu
jika kamu tidak meyelamatkanku. Mungkin aku
sudah …” ucap Aisyah sambil terisak, tak
sanggup lagi meneruskan ucapannya. Kali ini Aisyah benar-benar terguncang,
karena hampir saja dirinya ternodai oleh preman itu.
“Ssst …” ucap Rama sambil menempelkan telunjuknya di bibir Aisyah. Rama
menatap wajah Aisyah dengan penuh iba. Aisyah terperanjat mendapat perlakuan
seperti itu dari Rama. Aisyah tak sanggup menatap balik pandangan Rama. Aisyah
memalingkan wajahnya dan tertunduk malu.
Suasana hening sesaat, yang
terdengar hanya deru taksi yang melaju kencang menuju rumah
Aisyah. Tidak ada pembicaraan sepatah kata pun di antara mereka. Namun, hati
meraka berbicara tentang sebuah rasa.
***
Waktu tak terasa berlalu, hingga akhirnya Aisyah lulus SMA. Dunia
putih abu pun akan segera berlalu. Aisyah berhasil meraih predikat sebagai
siswa teladan. Keteladan itu tidak diperoleh dengan mudah. Aisyah harus
bergelut dengan problematika hidup.
Buah dari kerja kerasnya menjadi
siswa teladan, Aisyah mendapat beasiswa melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi negeri.
Kesempatan ini ia gunakan supaya bisa bertemu dengan emak dan adiknya. Aisyah memilih
perguruan tinggi di kota keharannya, Bandung.
Pada suatu ketika, Aisyah menyampaikan
rencana kuliahnya kepada Dimas dan ibu tirinya.
“Pak, Aisyah mau kuliah di Bandung
saja,” kata Aisyah.
“Lo, kenapa harus di Bandung,
Aisyah?” tanya Dimas.
“Aisyah rasa, kota Bandung lebih nyaman untuk belajar. Bandung hawanya sejuk, di Jakarta hawanya panas sekali,” jawab
Aisyah sambil mengipas-ngipaskan kertas undangan karena kegerahan.
“Oh iya, Aisyah hampir lupa. Ini ada surat undangan dari sekolah. Bapak bisa datang, kan, ke acara perpisahan siswa?” ucap Aisyah sambil mengasongkan surat
undangan kepada bapaknya.
Belum sempat Dimas mengambil surat
itu, Tante Meyda sudah menyambarnya dengan gesit.
“Hmm … memang kamu anak yang cerdas,
Aisyah. Selamat, ya. Ibu juga boleh kan, hadir di acara perpisahan ini?” tanya Meyda berlagak manis.
“Wah, Aisyah sangat senang kalau Ibu juga mau hadir dalam acara ini. Dan memang, undangan ini kan, untuk dua orang,” ucap Aisyah kegirangan.
“Ya sudah, besok kita berangkat.
Tapi sebelumnya, Bapak mau merayakan kelulusan kamu. Malam nanti kita makan di luar,
ya? Gimana, Mey? Setuju?” Dimas merajuk Meyda supaya
menyetujui rencananya.
Meyda hanya mengangguk tanda setuju.
Sebenarnya, dia keberatan. Tapi di hadapan Dimas, Meyda pura-pura bersikap manis pada Aisyah.
***
“Kita makan di sini saja, ya. Makanannya enak.
Aisyah pasti suka,” kata Dimas.
“Wah, ini bagus sekali tempatnya. Apa tidak di tempat lain saja, Pak? Makanan di sini
pasti mahal-mahal. Sayang, kan, uangnya,” ucap Aisyah polos.
“Aku setuju. Memang Aisyah, kamu itu anak yang cerdas. Ibu juga kurang suka makanan di tempat ini. Kita putar balik saja, Jon, cari restoran yang Aisyah suka,” ucap Meyda mendukung pernyataan Aisyah.
“Ya sudah, kalau kalian maunya
begitu, kita cari tempat lain saja.”
Setelah mendapatkan tempat yang
sesuai dengan keinginan Aisyah, mereka mulai memesan makanan yang tertera dalam daftar menu. Suasana
seperti ini jarang sekali terjadi. Perasaan Aisyah malam itu sangat
berbinar-binar, walaupun ada sedikit rasa luka di hatinya. Aisyah membayangkan
kebersamaannya dengan emak dan adiknya.
“Harusnya Emak dan De Akbar pun hadir dalam acara ini.
Tapi, bagaimana mungkin aku dapat berkumpul dengan mereka? Ibu pasti melarangnya,” ucap Aisyah dalam
hati sambil melamun.
Tiba-tiba lamunannya dibuyarkan oleh
suara gertakan, “Jangan bergerak!”
“Saudara Dimas, Anda kami tangkap.”
Seseorang menodongkan pistolnya ke
arah Dimas. yang lainnya membekuk Dimas. Sontak mereka pun terperanjat. Wajah
Dimas mendadak pucat. Meyda kaget dan merasa keheranan. Mengapa orang itu
menodongkan pistol ke arah Dimas. Mengapa mereka memanggil Joni dengan sebutan
Dimas? Siapa Dimas?
Aisyah ternganga menyaksikan adegan
yang sanagt mengejutkan itu. Aisyah pun panik. Malam ini bukannya kebahagiaan
yang didapat, malah musibah yang didapat. Bapaknya ditangkap polisi dalam kasus
pembunuhan Berta.
Akhirnya, pelarian selama enam tahun berujung sampai di sini. Dimas tidak
bisa mengelak lagi. Penyamarannya menjadi sosok Joni terbongkar sudah. Dimas
hanya bisa pasrah, tidak berontak sedikit pun.
“Tunggu, Pak Polisi, ada apa ini? Dia Joni, bukan Dimas. Kalian mungkin
salah orang, suami saya orang baik-baik, tidak mungkin dia membunuh,” ucap Meyda penuh tanya.
“Maaf, Bu. Silakan Ibu datang ke kantor polisi jika
ingin tahu lebih banyak tentang suami Ibu,” jawab polisi itu tegas.
Polisi itu membawa Dimas ke kantor polisi. Suasana yang tadinya menyenangkan, seketika berubah menjadi menegangkan. Meyda dan
Aisyah mengikuti mobil polisi sampai ke kantor polisi.
Sesampainya di kantor polisi,
sebelum diinterogasi oleh petugas, Dimas menceritakan tragedi beberapa tahun
silam kepada Meyda dan Aisyah, bahwa dia pernah memukul Berta sampai meninggal.
Kemudian ia hidup secara nomaden, sampai akhirnya bertemu dengan Meyda.
Dimas terpaksa harus mengganti nama
menjadi Joni dan menjauh dari tempat kejadian.
Dimas terpaksa harus meninggalkan anak dan istrinya di kampung. Semua itu ia
lakukan demi menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Selama dua belas tahun
Dimas menjadi buronan polisi.
Mendengar semua itu, Meyda terkulai
lemas. Antara percaya dan tidak. Dia baru tahu siapa Joni yang sebenarnya. Dia
tidak menyangka sama sekali, Joni yang ia kenal karena sikapnya yang romantis,
jujur, ulet bekerja, ternyata dia adalah seorang pembunuh.
“Joni, aku sama sekali tidak
menyangka kamu bisa berbuat sekeji itu. Yang
aku tahu Kamu adalah sorang pria yang setia, jujur, dan sangat menyayangiku.
Aku tak percaya dengan semua ini, Jon,” ucap Meyda lirih.
“Mey, sebenarnya aku tidak seperti
yang kamu bayangkan. Aku … aku sama sekali tidak berniat untuk membunuh. Waktu itu aku
dalam keadaan terancam. Aku dalam cengkeraman wanita lintah darat. Dia sangat berkuasa sekali, sehingga aku tak bisa berkutik sedikit
pun,” jelas Dimas.
“Ah, sudahlah, Jon. Aku kecewa sama kamu.
Ternyata aku selama ini dibohongi.
Aku sangat menyesal,” ucap Meyda kesal.
“Mey, percaya sama aku, Mey. Tolong aku, tolong keluarkan aku dari sini,” pinta Dimas memelas.
Aisyah tidak banyak bicara. Ia hanya
mengimak saja percakapan antara bapaknya dengan ibu tirinya. Aisyah merasa kalut dan dilema. Dalam hatinya ia berkata, “Seandainya Bapak di penjara, aku harus tinggal
di mana? Apakah mungkin Tante Meyda mau menerimaku tinggal di rumahnya?
Seandainya tidak … aku harus bagaimana? Kasihan Bapak. Atau mungkinkah ini
petunjuk buatku, sudah saatnya aku bertemu dengan emak dan adikku?”
Usai berbincang dengan Meyda, Dimas
pun segera ditangani oleh polisi. Hingga menunggu proses pengadilan, Meyda dan
Aisyah pulang dengan berjuta rasa yang tiada menentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar