Sabtu, 04 Juli 2020

Romantika Aisyah 17



Bab 17

Tragedi Angkot


Menjauh dari kehidupan kota, membuat hati Aisyah merasa lega. Kehidupan di kampung membuat perasaan Aisyah merasa nyaman, walaupun fasilitas kehidupan serba sederhana. Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, Sutinah masih berjualan kue di SD tempat dulu Aisyah sekolah.

Akbar, adiknya Aisyah, walaupun masih kecil, dia sudah bisa membantu pekerjaan emaknya melayani pembeli. Dagangan Sutinah cukup laris. Pembeli rata-rata menyukai makanan jajanan yang dijual Sutinah.

Pada suatu malam menjelang tidur Aisyah berkata pada emaknya, “Mak, apa kita gak akan melihat bapak? Mungkin bapak kangen sama kita. Kasihan loh Mak, bapak itu sebenarnya gak bersalah.”

“Gak bersalah gimana, bapakmu telah menghilangkan nyawa orang lain, kok gak bersalah.” sahut emaknya

“Kata bapak, Bu Berta itu dalam keadaan mabuk, dia sudah sempoyongan sebelum kena pukulan bapak. Bapak juga gak terlalu keras mukulnya, karena tenaga bapak sudah melemah semalaman dikurung di kamar gelap,  digerayangi tikus   dan kecoa.” timpal Aisyah.

“Aisyah, sudahlah jangan terlalu memikirkan bapakmu, biarkan bapakmu sadar akan kelakuannya, bapakmu itu layak mendapatkan perlakuan seperti itu, karena bapak terlalu sering menyakiti hati emak.”

“Kamu masih ingat kan waktu kecil, bapakmu lebih memilih hidup bersama wanita gendut itu dari pada dengan kita. Bapakmu sering memukuli emak karena emak tidak mau menandatangani surat cerai, sampai emak harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit jiwa. Terus, setelah emak sembuh, eh ..., bapak malah kabur lagi dan ... hidup bersama orang cina itu.” Sutinah memaparkan peristiwa masa lalu.

“Ya Mak ..., Aisyah mengerti semua itu, tapi setidaknya bapak masih menyimpan rasa sama emak. Bukannya bapak dulu juga sering nengokin emak di rumah sakit? Bahkan bapak dulu juga kan sempat ngenterin emak pulang ke rumah. Bahkan, bapak sempat hidup terlunta-lunta, karena selalu was-was diincar polisi.” Aisyah pun memaparkan peristiwa masa lalu.

“Aisyah ..., begitu mulya hatimu Nak, padahal semasa kecil hidup kamu itu sangat menderita, kamu harus bekerja, mengurusi ibu yang sakit-sakitan yang seharusnya semua itu dilakukan bapakmu.” ucap Sutinah sambil membelai-belai rambut Aisyah.

“Iya Mak, tapi kan pada akhirnya bapak membawa Aisyah ke Jakarta. Bapak sudah menyekolahkan Aisyah sampai lulus SMA, Aisyah sangat bersyukur walaupun Aisyah harus menjalani hari-hari di Jakarta penuh dengan rintangan, dan sebenarnya...,” ucap Aisyah terputus.

“Sebenarnya kenapa, Aisyah?” tanya emaknya heran.

“Ah, sudahlah Mak itu mungkin perasaan Aisyah saja yang terlalu mengkhawatirkan bapak.” Aisyah tidak meneruskan perkataannya ia tega kalau emaknya tahu bahwa perlakuan ibu tirinya begitu kejam pada Aisyah. Bahkan sebenarnya bapaknya diperlakukan seperti robot penghasil uang.  Ibu tirinya sering menghianati bapaknya.

“Ya, sebaiknya kita tidur, bukannya besok kamu harus ke kota, besok hari pertama kamu kuliah kan Aisyah?” ucap Sutinah menyudahi perbincangan.



***

Sejak dulu Aisyah ingin menimba ilmu tentang dunia hukum. Tak tanggung-tanggung, Fakultas hukum ia sabet dari Perguruan Tinggi Negeri ternama di kota Bandung. Aisyah dapat  masuk ke Perguruan Timggi Negeri malaui jalur bidik misi, sehingga tidak terlalu banyak uang untuk membiayai perkuliahan Aisyah.

Namun, tetap saja, risiko sehari-hari harus terpenuhi. Aisyah pun mencari celah-celah penghasilan. Bermodalkan handphone pemberian bapaknya waktu sekolah di SMA, Aisyah berusaha mendulang rupiah dari beberapa fasilitas hapenya.

Tidak ada waktu sedetik pun yang terbuang sia-sia. Setiap detik, ia manfaatkan waktu untuk bekerja dan belajar. Aisyah bertekad keras untuk lulus kuliah secepatnya, dan sesegera mungkin bekerja.

Seperti biasanya, Aisyah selalu berjalan kaki setiap mau berangkat kuliah. Rumah Aisyah cukup jauh untuk sampai ke pinggiran kota. Dia harus melewati dulu pematang sawah yang berkelok-kelok. Setelah sampai di tepi kampung, barulah ia naik mobil angkutan kota menuju kampus.

“Kiri ...!” ucap Aisyah menyetop mobil Angkutan Kota.

Mobil pun menepi menghampiri Aisyah. Lalu Aisyah masuk dan memilih jok yang paling belakang, supaya tidak mengganggu lalau lalang penumpang yang turun naik. Tampak beberapa pria sudah duduk di jok tengah.

“Silakan Teh ...,” ujar salah seorang pria mempersilakan Aisyah duduk di pinggirnya.

“O ya, trimakasih A, biar saya di pojok saja.” jawab Aisyah dingin.

“Kerja?” tanya pria itu lagi sambil memandang Aisyah.

Aisyah hanya menggelengkan kepala, lalu dia mengeluarkan buku bacaannya, tanpa menghiraukan pandangan pemuda itu Aisyah langsung larut dalam bacaan.

Sesekali Aisyah melihat jalan yang dilalui. Aisyah heran, karena jalan yang dilaluinya itu tidak seperti jalan yang biasa dilewati. Lalu Aisyah menutup bukunya dan memasukkannya ke dalam tas. Aisyah melihat penumpang hanya tinggal berdua, dirinya dan pemuda yang bertanya tadi.

Semakin lama, semakin asing jalan yang dilalui. Akhirnya Aisyah pun bertanya kepada supir. “Pir, kita kemana ini? Kok lewat sini?”

Supir itu tidak memberikan jawaban. Tiba-tiba pria tadi menutup pintu angkot. Deg! Jantung Aisyah berdebar kencang. Aisyah punya firasat yang tidak baik. Mobil pun berhenti di tempat yang sepi jauh dari jalan raya.

Pri tadi memandang Aisyah dengan tatapan tajam. Lalu dia mengeluarkan sebuah benda dari balik bajunya. Aisyah panik. Firasatnya mengataka bahwa ia akan diperdayai oleh pria tadi.

“Owh pisau?!” jerit hati Aisyah. “Apakan dia akan membunuhku? Atau dia akan ....” dalam hatinya terus berkecamuk berbagai pertanyaan. Jiwa Aisyah terancam.

“Serahkan barang-barangmu! Cepat!” pria itu menodongkan pisau ke arah Aisyah. Tubuh Aisyah gemetar ketakutan. Aisyah tidak segera menyerahkan tasnya, Aisyah malah memeluk tasnya erat-erat. Si pria itu kesal dengan sikap Aisyah yang mempertahankan barangnya.

Bret ...! Tas itu direbutnya. Lalu dilemparkan pada supir.

“Jangan A ... saya mohon, jangan ambil barang saya hk hk hk.” ucap Aisyah sambil menggigil ketakutan.

“A ha ha ha ..., sini manis, cantik juga wajahmu.” ucap pria itu sambil menggerayangi tubuh Aisyah. Aisyah meronta, berteriak minta tolong. Seluruh kekuatan tubuhnya dia kerahkan untuk melawan pria yang hendak menggagahi Aisyah.

Aisyah berteriak sekencang-kencangnya, “Tolooong ...!”

“Silakan kamu berteriak lebih keras lagi, di sini gak akan ada orang yang mendengarmu, ahahha ...”

“Jangan sentuh aku! Kamu ambil saja tas itu, tapi jangan sentuh aku, turunkan aku di sini! Aku mohon ...A, aku ini orang susah, jangan lagi ditambah kesusahanku A, aku mohon ... hu hu.” Aisyah merintih memohon agar dirinya tidak diperdayai.

“Diam! Jangan banyak omong!” bentak pria itu.

Terjadilah perlawanan yang sengit, Aisyah terus-terusan berteriak sekencang-kencangnya, meronta dan terus meronta. Aisyah mengeluarkan seluruh kekuatannya. Namun, apalah daya ..., pria itu begitu kuat untuk dilawan. Sekujur tubuh Aisyah melemah dan akhirnya terkulai. Pandangan Aisyah mulai meremang, hingga akhirnya gelap gulita tak ingat apa-apa lagi.



***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat Berkah di SDN Karanganyar

  Masya Allah Tabarakallah, rezeki buat anak-anak soleh dan solehan siswa SDN Karanganyar. Hari ini, Jumat, 01 September 2023 ada seorang ha...