Bab 17
Tragedi Angkot
Menjauh
dari kehidupan kota, membuat hati Aisyah merasa lega. Kehidupan di kampung
membuat perasaan Aisyah merasa nyaman, walaupun fasilitas kehidupan serba
sederhana. Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, Sutinah masih berjualan kue
di SD tempat dulu Aisyah sekolah.
Akbar,
adiknya Aisyah, walaupun masih kecil, dia sudah bisa membantu pekerjaan emaknya
melayani pembeli. Dagangan Sutinah cukup laris. Pembeli rata-rata menyukai
makanan jajanan yang dijual Sutinah.
Pada
suatu malam menjelang tidur Aisyah berkata pada emaknya, “Mak, apa kita gak
akan melihat bapak? Mungkin bapak kangen sama kita. Kasihan loh Mak, bapak itu
sebenarnya gak bersalah.”
“Gak
bersalah gimana, bapakmu telah menghilangkan nyawa orang lain, kok gak
bersalah.” sahut emaknya
“Kata
bapak, Bu Berta itu dalam keadaan mabuk, dia sudah sempoyongan sebelum kena
pukulan bapak. Bapak juga gak terlalu keras mukulnya, karena tenaga bapak sudah
melemah semalaman dikurung di kamar gelap,
digerayangi tikus dan kecoa.”
timpal Aisyah.
“Aisyah,
sudahlah jangan terlalu memikirkan bapakmu, biarkan bapakmu sadar akan
kelakuannya, bapakmu itu layak mendapatkan perlakuan seperti itu, karena bapak
terlalu sering menyakiti hati emak.”
“Kamu
masih ingat kan waktu kecil, bapakmu lebih memilih hidup bersama wanita gendut
itu dari pada dengan kita. Bapakmu sering memukuli emak karena emak tidak mau
menandatangani surat cerai, sampai emak harus dirawat berbulan-bulan di rumah
sakit jiwa. Terus, setelah emak sembuh, eh ..., bapak malah kabur lagi dan ...
hidup bersama orang cina itu.” Sutinah memaparkan peristiwa masa lalu.
“Ya
Mak ..., Aisyah mengerti semua itu, tapi setidaknya bapak masih menyimpan rasa
sama emak. Bukannya bapak dulu juga sering nengokin emak di rumah sakit? Bahkan
bapak dulu juga kan sempat ngenterin emak pulang ke rumah. Bahkan, bapak sempat
hidup terlunta-lunta, karena selalu was-was diincar polisi.” Aisyah pun
memaparkan peristiwa masa lalu.
“Aisyah
..., begitu mulya hatimu Nak, padahal semasa kecil hidup kamu itu sangat
menderita, kamu harus bekerja, mengurusi ibu yang sakit-sakitan yang seharusnya
semua itu dilakukan bapakmu.” ucap Sutinah sambil membelai-belai rambut Aisyah.
“Iya
Mak, tapi kan pada akhirnya bapak membawa Aisyah ke Jakarta. Bapak sudah
menyekolahkan Aisyah sampai lulus SMA, Aisyah sangat bersyukur walaupun Aisyah
harus menjalani hari-hari di Jakarta penuh dengan rintangan, dan
sebenarnya...,” ucap Aisyah terputus.
“Sebenarnya
kenapa, Aisyah?” tanya emaknya heran.
“Ah,
sudahlah Mak itu mungkin perasaan Aisyah saja yang terlalu mengkhawatirkan
bapak.” Aisyah tidak meneruskan perkataannya ia tega kalau emaknya tahu bahwa
perlakuan ibu tirinya begitu kejam pada Aisyah. Bahkan sebenarnya bapaknya
diperlakukan seperti robot penghasil uang.
Ibu tirinya sering menghianati bapaknya.
“Ya,
sebaiknya kita tidur, bukannya besok kamu harus ke kota, besok hari pertama
kamu kuliah kan Aisyah?” ucap Sutinah menyudahi perbincangan.
***
Sejak
dulu Aisyah ingin menimba ilmu tentang dunia hukum. Tak tanggung-tanggung,
Fakultas hukum ia sabet dari Perguruan Tinggi Negeri ternama di kota Bandung.
Aisyah dapat masuk ke Perguruan Timggi
Negeri malaui jalur bidik misi, sehingga tidak terlalu banyak uang untuk
membiayai perkuliahan Aisyah.
Namun,
tetap saja, risiko sehari-hari harus terpenuhi. Aisyah pun mencari celah-celah
penghasilan. Bermodalkan handphone
pemberian bapaknya waktu sekolah di SMA, Aisyah berusaha mendulang rupiah dari
beberapa fasilitas hapenya.
Tidak
ada waktu sedetik pun yang terbuang sia-sia. Setiap detik, ia manfaatkan waktu
untuk bekerja dan belajar. Aisyah bertekad keras untuk lulus kuliah secepatnya,
dan sesegera mungkin bekerja.
Seperti
biasanya, Aisyah selalu berjalan kaki setiap mau berangkat kuliah. Rumah Aisyah
cukup jauh untuk sampai ke pinggiran kota. Dia harus melewati dulu pematang
sawah yang berkelok-kelok. Setelah sampai di tepi kampung, barulah ia naik mobil
angkutan kota menuju kampus.
“Kiri
...!” ucap Aisyah menyetop mobil Angkutan Kota.
Mobil
pun menepi menghampiri Aisyah. Lalu Aisyah masuk dan memilih jok yang paling
belakang, supaya tidak mengganggu lalau lalang penumpang yang turun naik.
Tampak beberapa pria sudah duduk di jok tengah.
“Silakan
Teh ...,” ujar salah seorang pria mempersilakan Aisyah duduk di pinggirnya.
“O
ya, trimakasih A, biar saya di pojok saja.” jawab Aisyah dingin.
“Kerja?”
tanya pria itu lagi sambil memandang Aisyah.
Aisyah
hanya menggelengkan kepala, lalu dia mengeluarkan buku bacaannya, tanpa menghiraukan
pandangan pemuda itu Aisyah langsung larut dalam bacaan.
Sesekali
Aisyah melihat jalan yang dilalui. Aisyah heran, karena jalan yang dilaluinya
itu tidak seperti jalan yang biasa dilewati. Lalu Aisyah menutup bukunya dan
memasukkannya ke dalam tas. Aisyah melihat penumpang hanya tinggal berdua,
dirinya dan pemuda yang bertanya tadi.
Semakin
lama, semakin asing jalan yang dilalui. Akhirnya Aisyah pun bertanya kepada
supir. “Pir, kita kemana ini? Kok lewat sini?”
Supir
itu tidak memberikan jawaban. Tiba-tiba pria tadi menutup pintu angkot. Deg!
Jantung Aisyah berdebar kencang. Aisyah punya firasat yang tidak baik. Mobil
pun berhenti di tempat yang sepi jauh dari jalan raya.
Pri
tadi memandang Aisyah dengan tatapan tajam. Lalu dia mengeluarkan sebuah benda
dari balik bajunya. Aisyah panik. Firasatnya mengataka bahwa ia akan diperdayai
oleh pria tadi.
“Owh
pisau?!” jerit hati Aisyah. “Apakan dia akan membunuhku? Atau dia akan ....”
dalam hatinya terus berkecamuk berbagai pertanyaan. Jiwa Aisyah terancam.
“Serahkan
barang-barangmu! Cepat!” pria itu menodongkan pisau ke arah Aisyah. Tubuh
Aisyah gemetar ketakutan. Aisyah tidak segera menyerahkan tasnya, Aisyah malah
memeluk tasnya erat-erat. Si pria itu kesal dengan sikap Aisyah yang
mempertahankan barangnya.
Bret
...! Tas itu direbutnya. Lalu dilemparkan pada supir.
“Jangan
A ... saya mohon, jangan ambil barang saya hk hk hk.” ucap Aisyah sambil
menggigil ketakutan.
“A
ha ha ha ..., sini manis, cantik juga wajahmu.” ucap pria itu sambil menggerayangi
tubuh Aisyah. Aisyah meronta, berteriak minta tolong. Seluruh kekuatan tubuhnya
dia kerahkan untuk melawan pria yang hendak menggagahi Aisyah.
Aisyah
berteriak sekencang-kencangnya, “Tolooong ...!”
“Silakan
kamu berteriak lebih keras lagi, di sini gak akan ada orang yang mendengarmu,
ahahha ...”
“Jangan
sentuh aku! Kamu ambil saja tas itu, tapi jangan sentuh aku, turunkan aku di
sini! Aku mohon ...A, aku ini orang susah, jangan lagi ditambah kesusahanku A,
aku mohon ... hu hu.” Aisyah merintih memohon agar dirinya tidak diperdayai.
“Diam!
Jangan banyak omong!” bentak pria itu.
Terjadilah
perlawanan yang sengit, Aisyah terus-terusan berteriak sekencang-kencangnya,
meronta dan terus meronta. Aisyah mengeluarkan seluruh kekuatannya. Namun,
apalah daya ..., pria itu begitu kuat untuk dilawan. Sekujur tubuh Aisyah
melemah dan akhirnya terkulai. Pandangan Aisyah mulai meremang, hingga akhirnya
gelap gulita tak ingat apa-apa lagi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar