Enam tahun berlalu sudah. Aisyah sekarang sudah duduk di bangku
kelas enam sekolah dasar. Aisyah tumbuh menjadi anak yang cerdas, sehingga setiap tahun selalu mendapatkan peringkat
pertama di kelasnya. Aisyah juga anak yang rajin. Dia selalu membantu pekerjaan
orang tuanya.
Aisyah tidak lagi harus menjajakan
dagangannya di sekolah, sebab Sutinah diberi kepercayaan untuk mengelola kantin
sekolah. Dari penghasilannya itu, Sutinah dapat membiayai kehidupannya. Kini,
perekonomian keluarga Aisyah agak membaik, tidak seterpuruk enam tahun silam. Kondisi
seperti ini cukup membuat keluarga Sutinah bahagia.
Seperti biasanya, menjelang malam
sebelum tidur, Sutinah selalu bercerita untuk anak-anaknya. Ada cerita tentang kisah para rasul, dongeng-dongeng lucu, atau apa pun yang dapat menghibur anak-anaknya. Kadang mereka tertawa
bersama, kadang juga mereka bertanya-tanya tentang keberadaan Dimas.
Namun, ujian bagi keluarga Aisyah
belum juga usai. Saat menjelang tidur, terdengar suara ketukan pintu. Serta
merta mereka pun terperanjat, karena sebelumnya tidak pernah ada orang yang
berkunjung pada malam hari. Aisyah dan Akbar langsung memeluk Sutinah, mereka sangat
ketakutan.
“Mak, siapa itu di luar? Dari tadi
mengetuk-ngetuk pintu terus, Aisyah takut, Mak.” Aisyah ketakutan.
“Iya, Mak. Akbar juga takut. Jangan-jagan dia
itu orang jahat,” lanjut Akbar.
“Tenang, tenang. Semuanya tenang, ya. Kita berdoa saja
semoga itu bukan orang jahat.” Sutinah berusaha untuk menenangkan anak-anaknya.
Sutinah pun memberanikan diri untuk
membuka pintu itu. Perlahan dibukanya pintu itu, dan betapa terkejutnya, ternyata Dimas yang berada di luar itu. “Akang?” Sutinah hampir
ternganga karena merasa tidak percaya akan kedatangan Dimas.
“Sutinah …” ucap Dimas. Dipeluknya Sutinah begitu erat. “Mana
anak-anak?” tanya Dimas kemudian. Mendengar percakapan emaknya di luar, Aisyah
dan Akbar pun berhamburan ke luar. “Bapaaak!” serempak mereka berteriak
memanggil bapaknya.
Pertemuan yang sangat mengharukan antara
mereka. Selama enam tahun Dimas baru menampakkan dirinya. Semua itu ia lakukan
karena Dimas masih dibayang-bayangi rasa takut. Apalagi berita yang dia dengar,
polisi terus-terusan memantau kampung itu.Tanpa permisi lagi, Dimas segera masuk ke dalam rumah.
“Ayo, ayo masuk,” kata Dimas tergesa-gesa sambil
melihat keadaan di sekitar luar rumah. Khawatir ada yang melihat.
Penampilan Dimas sekarang sangat
berbeda dengan Dimas yang dulu. Badannya agak gemukan, tidak kurus seperti dulu. Pakaiannya pun bagus dan rapi.
Kegembiraan tercurah semuanya.
“Kalian sudah pada besar-besar, ya. Maafkan Bapak, baru kali ini bapak menemui
kalian. Bukannya Bapak
tega menelantarkan kalian, tapi Bapak … Bapak …” ucap Dimas terbata-bata.
“Sudahlah, Kang, tidak usah diteruskan. Kami sudah tahu semuanya. Enam tahun bukan waktu yang sebentar
untuk menunggu. Selama ini, Akang ke mana saja? Mengapa begitu tega meninggalkan
kami?” Sutinah bertanya sambil memeluk anak-anaknya.
“Sudahlah, Sutinah, sekarang jangan
banyak bertanya dulu. Aku ke sini
hanya mampir saja. Aku enggak bisa
lama-lama. Aku ditunggu seseorang. Aku ke sini
untuk membawa Aisyah, itu pun kalau Aisyahnya mau. Sekarang, aku tinggal di
Jakarta. Kehidupanku sekarang cukup lumayan,” jawab Dimas tergesa-gesa.
Aisyah mendengarkan percakapan emak
dan bapaknya. Selintas ia sangat senang, karena akan dibawa bapaknya pergi ke
Jakarta. Namun, Aisyah merasa heran, kenapa bapaknya hanya mau membawa dia? Mengapa emak dan adiknya tidak dibawa ikut serta?
“Aisyah, ayo, Nak, sekarang kamu
berkemas, kita akan ke Jakarta sekarang,” ajak Dimas tergesa-gesa.
“Apa? Ke Jakarta? Terus, Emak sama Akbar juga diajak?” tanya
Aisyah.
“Enggak, Bapak hanya bisa membawa kamu
saja. Biarlah emak sama adikmu tinggal dulu sementara di kampung. Nanti, kalau sudah tiba waktunya, Emak sama Akbar menyusul ke jakarta,” jelas Dimas.
“Enggak, Aisyah enggak mau, kalau cuma Aisyah yang
dibawa. Emak sama Akbar juga harus dibawa,” gertak Aisyah.
“Aduh, gimana, sih, kalian ini? Ayo, cepatlah sedikit, sebelum ada orang lain yang tahu. Aisyah, ayo, kita berangkat sekarang. Bapak lagi terburu-buru, nih,” ucap Dimas sambil mendorong-dorong tubuh Aisyah agar segera
berkemas. Aisyah saat itu sangat panik. Perasannya berkecamuk tak menentu, dia
bingung antara ikut dengan bapaknya, atau
tinggal bersama emaknya.
“Tapi, Pak, kalau Aisyah pergi sama Bapak, nanti yang bantuin Emak siapa?”
tanya Aisyah.
“Ah, sudahlah. Kan, adikmu sudah besar. Dia sudah bisa bantu emakmu. Dulu juga kamu waktu seusia adikmu, kamu bisa, kan, bantuin emakmu? Sekarang ayo, Aisyah, cepat. Kita berangkat,” jawab Dimas.
“Kang, jangan paksa Aisyah. Biarlah dia yang menentukan pilihan. Nak, kalau kamu ingin pergi bersama bapakmu, berangkatlah, jangan khawatirkan Emak di sini.
Biar Emak sama adikmu saja menunggu di
sini. Bukannya kamu ingin tahu Jakarta?” Sutinah
membujuk Aisyah.
“Emak yakin, enggak keberatan kalua Aisyah pergi?” tanya Aisyah memelas.
“Iya, Sayang. Di Jakarta nanti kamu yang rajin belajar, ya. Kabari Emak kalau sudah sampai di sana. Emak doakan kamu supaya di
Jakarta cita-citamu tercapai,” ucap Sutinah sambil memeluk Aisyah.
“Tid! Tiiid!” Suara klakson mobil di luar memberikan isyarat kepada Dimas untuk
segera hengkang dari rumah itu. Tanpa banyak basa-basi lagi, Dimas pun segera keluar dari rumah
itu. Aisyah pun jadi terbawa panik, dia tidak sempat berbicara apa-apa lagi
kepada emaknya, karena tangan Dimas begitu gesit meraih tangan Aisyah untuk
segera pergi dari rumah itu.
“Aisyah … kamu harus bawa ini! Aisyah, Aisyah!” seru Sutinah.
“Kak Aisyah tadi sudah berangkat,
Mak, sama Bapak.” jawab Akbar yang dari tadi hanya duduk dan memperhatikan
orang-orang bicara.
“Apa? Kamu yakin, Nak, bapak sama kakakmu sudah pergi?”
tanya Sutinah.
“Iya, Mak. Tuh, mereka,” kata Akbar sambil menunjuk ke luar rumah. Saat itu pula terdengar
deru suara mobil melaju.
“Aisyaaah ….” Sutinah pun hanya
mampu berteriak. Tangannya masih menggenggam Al-Qur’an yang biasa dibaca
Aisyah. “Harusnya tadi kamu bawa ini, Nak. Kenapa bapakmu begitu tergesa-gesa?”
Sutinah menghempaskan
tubuhnya ke kursi sambil terisak.
Kini, tinggallah Sutinah bersama Akbar, adiknya Aisyah. Aisyah dengan
terpaksa harus ikut bapaknya ke Jakarta.
***
Di dalam mobil, Aisyah duduk di jok belakang. Dimas memegang setir. Di sampingnya ada seorang perempuan
cantik, putih, dan bermata sipit. Rambutnya lurus berponi. Seulas senyum sinsis
terlempar untuk Aisyah.
Melihat seorang perempuan seperti
itu di samping bapaknya, Aisyah merasa risih. Ada perasaan tidak nyaman pada
diri Aisyah. Dia merasakan senyuman perempuan itu tidak tulus. Aisyah hanya
pasrah saja, dia masih bingung harus berbuat apa.
Suasana di mobil saat itu begitu
tegang. Mata Dimas masih menatap liar tertuju ke luar. Dia sangat mengkhawatirkan ada
orang yang mengenalinya. Tidak ada percakapan sepatah kata pun. Setelah
perjalan agak menjauh dari Kampung Sukamiskin, akhirnya Dimas memulai
percakapan.
“Aisyah, kenalkan, ini Tante Meyda. Ayo, kasih salam untuk Tante,” seru Dimas.
Mendengar seruan bapaknya, Aisyah tidak langsung menuruti. Aisyah malah terbengong-bengong. Dalam hatinya bertanya-tanya, “Tante
Meyda? Siapa dia? Kok, seperti orang Cina? Apa dia teman Bapak?
Emmh, kira-kira … dia orangnya baik enggak, ya? Kok, tatapannya sinis gitu?”
“Aisyah! Eh … kok, malah bengong? Ayo, beri salam buat Tante Meyda!” seru Dimas lagi. Aisyah
pun terperanjat, dan langsung menjulurkan tangannya untuk memberi salam kepada Tante Meyda.
“A … Aisyah.” Dengan ragu, Aisyah memperkenalkan dirinya kepada Tante Meyda. Meyda menyambutnya dingin. Tidak ada ekspresi hangat. “Meyda,” ucap Meyda sambil melepaskan
tangan Aisyah.
“Oh, jadi ini anakmu yang sering kau
ceritakan itu, Dim? Hmm … cantik
juga. Lumayan, lah,” kata perempuan berkulit putih itu.
“Aisyah, kalau ngantuk tidur saja. Perjalan kita masih lama. Mungkin sekitar
tiga jam lagi kita baru tiba di Jakarta,” ucap Dimas.
“Enggak, Pak. Aisyah belum ngantuk.
Wah! Bagus banget, ya … banyak lampu warna-warni, gedung gede-gede … kalau Emak
sama adik diajak, pasti mereka juga senang, ya, Pak. Nanti kita ajak Emak sama De Akbar, ya, Pak! Oh, ya, Tante Meyda ini siapa?” ucap Aisyah yang
terkagum-kagum melihat pemandangan kota menuju Jakarta.
“Sudahlah, Aisyah. Semuanya nanti Bapak ceritakan di rumah. Sekarang, kamu tidur! Kamu harus nurut sama Bapak.
Kalau kata Bapak tidur, ya tidur,” kata Dimas
tegas. Aisyah pun hanya bisa menuruti perintah bapaknya. Aisyah merebahkan
tubuhnya. Matanya dipejamkan, walaupun belum mengantuk. Dia pura-pura tertidur.
Karena belum mengantuk, Aisyah pun dapat mendengar percakapan bapaknya dengan Tante Meyda. Mereka bicara pelan, tapi telinga Aisyah cukup tajam
untuk mendengarkan percakapan mereka.
“Dimas, permintaanmu sudah aku
kabulkan. Sekarang, aku akan menagih janjimu.
Secepatnya kita akan menikah. Sudah terlalu lama kita hidup tanpa ikatan.
Anakku juga sudah dekat dengan kamu. Aku sangat mencintaimu, Dimas. Tak peduli
kamu sudah beristri dan punya anak. Pokoknya, kamu harus jadi suamiku. Titik,” gertak
Meyda.
“Iya, Mey, iya. Aku tahu itu. Tapi, aku masih punya permintaan.”
“Permintaan apa lagi, Dimas? Segalanya
sudah aku berikan. Rumah, mobil, kedudukan di kantor, bahkan permintaan supaya
anakmu dibawa juga sudah aku penuhi. Masih kurang
juga?” tanya Meyda.
“Enggak, Mey. Itu sudah cukup bagiku.
Aku hanya minta Aisyah kau anggap
seperti anakmu juga. Jangan bedakan dia dengan anakmu. Dia anak yang rajin,
masa kecilnya selalu menderita. Aku merasa
berdosa sudah menelantarkan dia selama enam tahun,” pinta Dimas memelas.
“Oke, kamu harus percaya aku. Aku akan jadi ibu yang baik untuk anakmu, seperti kamu yang sudah berbuat baik untuk anakku. Jadi, besok segera kita urus pernikahan kita. Deal?”
“Deal. Besok kita menikah.” ucap Dimas sambil tersenyum manis, karena
keinginannya sudah kesampaian.
Mendengar percakapan seperti itu,
barulah Aisyah mengerti, kalau perempuan yang di samping bapaknya itu adalah
calon ibu tirinya. “Bapak mau kawin lagi? Gimana dengan nasib Emak di kampung? Pantas saja Bapak lama enggak
pulang-pulang. Rupanya Bapak sudah menemukan kebahagiannya di Jakarta. Ah, Bapak,
kenapa harus seperti ini? Aku jadi menyesal ikut sama Bapak,” ucap Aisyah dalam hati.
Entah apa lagi yang diperbincangkan Dimas dan Meyda, pendengaran Aisyah sudah
tidak jelas, dan Aisyah pun tertidur lelap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar