Sabtu, 04 Juli 2020

Romantika Aisyah 12



 

Enam tahun berlalu sudah. Aisyah sekarang sudah duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Aisyah tumbuh menjadi anak yang cerdas, sehingga setiap tahun selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Aisyah juga anak yang rajin. Dia selalu membantu pekerjaan orang tuanya.

Aisyah tidak lagi harus menjajakan dagangannya di sekolah, sebab Sutinah diberi kepercayaan untuk mengelola kantin sekolah. Dari penghasilannya itu, Sutinah dapat membiayai kehidupannya. Kini, perekonomian keluarga Aisyah agak membaik, tidak seterpuruk enam tahun silam. Kondisi seperti ini cukup membuat keluarga Sutinah bahagia.

Seperti biasanya, menjelang malam sebelum tidur, Sutinah selalu bercerita untuk anak-anaknya. Ada cerita tentang kisah para rasul, dongeng-dongeng lucu, atau apa pun yang dapat menghibur anak-anaknya. Kadang mereka tertawa bersama, kadang juga mereka bertanya-tanya tentang keberadaan Dimas.

Namun, ujian bagi keluarga Aisyah belum juga usai. Saat menjelang tidur, terdengar suara ketukan pintu. Serta merta mereka pun terperanjat, karena sebelumnya tidak pernah ada orang yang berkunjung pada malam hari. Aisyah dan Akbar langsung memeluk Sutinah, mereka sangat ketakutan.

“Mak, siapa itu di luar? Dari tadi mengetuk-ngetuk pintu terus, Aisyah takut, Mak.” Aisyah ketakutan.

“Iya, Mak. Akbar juga takut. Jangan-jagan dia itu orang jahat,” lanjut Akbar.

“Tenang, tenang. Semuanya tenang, ya. Kita berdoa saja semoga itu bukan orang jahat.” Sutinah berusaha untuk menenangkan anak-anaknya.

Sutinah pun memberanikan diri untuk membuka pintu itu. Perlahan dibukanya pintu itu, dan betapa terkejutnya, ternyata Dimas yang berada di luar itu. “Akang?” Sutinah hampir ternganga karena merasa tidak percaya akan kedatangan Dimas.

“Sutinah ” ucap Dimas. Dipeluknya Sutinah begitu erat. “Mana anak-anak?” tanya Dimas kemudian. Mendengar percakapan emaknya di luar, Aisyah dan Akbar pun berhamburan ke luar. “Bapaaak!” serempak mereka berteriak memanggil bapaknya.

Pertemuan yang sangat mengharukan antara mereka. Selama enam tahun Dimas baru menampakkan dirinya. Semua itu ia lakukan karena Dimas masih dibayang-bayangi rasa takut. Apalagi berita yang dia dengar, polisi terus-terusan memantau kampung itu.Tanpa permisi lagi, Dimas segera masuk ke dalam rumah.

“Ayo, ayo masuk,” kata Dimas tergesa-gesa sambil melihat keadaan di sekitar luar rumah. Khawatir ada yang melihat.

Penampilan Dimas sekarang sangat berbeda dengan Dimas yang dulu. Badannya agak gemukan, tidak kurus seperti dulu. Pakaiannya pun bagus dan rapi. Kegembiraan tercurah semuanya.

“Kalian sudah pada besar-besar, ya. Maafkan Bapak, baru kali ini bapak menemui kalian. Bukannya Bapak tega menelantarkan kalian, tapi Bapak … Bapak” ucap Dimas terbata-bata.

“Sudahlah, Kang, tidak usah diteruskan. Kami sudah tahu semuanya. Enam tahun bukan waktu yang sebentar untuk menunggu. Selama ini, Akang ke mana saja? Mengapa begitu tega meninggalkan kami?” Sutinah bertanya sambil memeluk anak-anaknya.

“Sudahlah, Sutinah, sekarang jangan banyak bertanya dulu. Aku ke sini hanya mampir saja. Aku enggak bisa lama-lama. Aku ditunggu seseorang. Aku ke sini untuk membawa Aisyah, itu pun kalau Aisyahnya mau. Sekarang, aku tinggal di Jakarta. Kehidupanku sekarang cukup lumayan,” jawab Dimas tergesa-gesa.

Aisyah mendengarkan percakapan emak dan bapaknya. Selintas ia sangat senang, karena akan dibawa bapaknya pergi ke Jakarta. Namun, Aisyah merasa heran, kenapa bapaknya hanya mau membawa dia? Mengapa emak dan adiknya tidak dibawa ikut serta?

“Aisyah, ayo, Nak, sekarang kamu berkemas, kita akan ke Jakarta sekarang,” ajak Dimas tergesa-gesa.

“Apa? Ke Jakarta? Terus, Emak sama Akbar juga diajak?” tanya Aisyah.

“Enggak, Bapak hanya bisa membawa kamu saja. Biarlah emak sama adikmu tinggal dulu sementara di kampung. Nanti, kalau sudah tiba waktunya, Emak sama Akbar menyusul ke jakarta,” jelas Dimas.

Enggak, Aisyah enggak mau, kalau cuma Aisyah yang dibawa. Emak sama Akbar juga harus dibawa,” gertak Aisyah.

“Aduh, gimana, sih, kalian ini? Ayo, cepatlah sedikit, sebelum ada orang lain yang tahu. Aisyah, ayo, kita berangkat sekarang. Bapak lagi terburu-buru, nih,” ucap Dimas sambil mendorong-dorong tubuh Aisyah agar segera berkemas. Aisyah saat itu sangat panik. Perasannya berkecamuk tak menentu, dia bingung antara ikut dengan bapaknya, atau tinggal bersama emaknya.

“Tapi, Pak, kalau Aisyah pergi sama Bapak, nanti yang bantuin Emak siapa?” tanya Aisyah.

“Ah, sudahlah. Kan, adikmu sudah besar. Dia sudah bisa bantu emakmu. Dulu juga kamu waktu seusia adikmu, kamu bisa, kan, bantuin emakmu? Sekarang ayo, Aisyah, cepat. Kita berangkat,” jawab Dimas.

“Kang, jangan paksa Aisyah. Biarlah dia yang menentukan pilihan. Nak, kalau kamu ingin pergi bersama bapakmu, berangkatlah, jangan khawatirkan Emak di sini. Biar Emak sama adikmu saja menunggu di sini. Bukannya kamu ingin tahu Jakarta?” Sutinah membujuk Aisyah.

“Emak yakin, enggak keberatan kalua Aisyah pergi?” tanya Aisyah memelas.

“Iya, Sayang. Di Jakarta nanti kamu yang rajin belajar, ya. Kabari Emak kalau sudah sampai di sana. Emak doakan kamu supaya di Jakarta cita-citamu tercapai,” ucap Sutinah sambil memeluk Aisyah.

“Tid! Tiiid!” Suara klakson mobil di luar memberikan isyarat kepada Dimas untuk segera hengkang dari rumah itu. Tanpa banyak basa-basi lagi, Dimas pun segera keluar dari rumah itu. Aisyah pun jadi terbawa panik, dia tidak sempat berbicara apa-apa lagi kepada emaknya, karena tangan Dimas begitu gesit meraih tangan Aisyah untuk segera pergi dari rumah itu.

“Aisyah … kamu harus bawa ini! Aisyah, Aisyah!” seru Sutinah.

“Kak Aisyah tadi sudah berangkat, Mak, sama Bapak.” jawab Akbar yang dari tadi hanya duduk dan memperhatikan orang-orang bicara.

“Apa? Kamu yakin, Nak, bapak sama kakakmu sudah pergi?” tanya Sutinah.

“Iya, Mak. Tuh, mereka,” kata Akbar sambil menunjuk ke luar rumah. Saat itu pula terdengar deru suara mobil melaju.

“Aisyaaah ….” Sutinah pun hanya mampu berteriak. Tangannya masih menggenggam Al-Qur’an yang biasa dibaca Aisyah. “Harusnya tadi kamu bawa ini, Nak. Kenapa bapakmu begitu tergesa-gesa?” Sutinah menghempaskan tubuhnya ke kursi sambil terisak.

Kini, tinggallah Sutinah bersama Akbar, adiknya Aisyah. Aisyah dengan terpaksa harus ikut bapaknya ke Jakarta.



***



Di dalam mobil, Aisyah duduk di jok belakang. Dimas memegang setir. Di sampingnya ada seorang perempuan cantik, putih, dan bermata sipit. Rambutnya lurus berponi. Seulas senyum sinsis terlempar untuk Aisyah.

Melihat seorang perempuan seperti itu di samping bapaknya, Aisyah merasa risih. Ada perasaan tidak nyaman pada diri Aisyah. Dia merasakan senyuman perempuan itu tidak tulus. Aisyah hanya pasrah saja, dia masih bingung harus berbuat apa.

Suasana di mobil saat itu begitu tegang. Mata Dimas masih menatap liar tertuju ke luar. Dia sangat mengkhawatirkan ada orang yang mengenalinya. Tidak ada percakapan sepatah kata pun. Setelah perjalan agak menjauh dari Kampung Sukamiskin, akhirnya Dimas memulai percakapan.

“Aisyah, kenalkan, ini Tante Meyda. Ayo, kasih salam untuk Tante,” seru Dimas.

Mendengar seruan bapaknya, Aisyah tidak langsung menuruti. Aisyah malah terbengong-bengong. Dalam hatinya bertanya-tanya, “Tante Meyda? Siapa dia? Kok, seperti orang Cina? Apa dia teman Bapak? Emmh, kira-kira … dia orangnya baik enggak, ya? Kok, tatapannya sinis gitu?

“Aisyah! Eh kok, malah bengong? Ayo, beri salam buat Tante Meyda!” seru Dimas lagi. Aisyah pun terperanjat, dan langsung menjulurkan tangannya untuk memberi salam kepada Tante Meyda.

“A Aisyah.” Dengan ragu, Aisyah memperkenalkan dirinya kepada Tante Meyda. Meyda menyambutnya dingin. Tidak ada ekspresi hangat.Meyda,” ucap Meyda sambil melepaskan tangan Aisyah.

“Oh, jadi ini anakmu yang sering kau ceritakan itu, Dim? Hmm … cantik juga. Lumayan, lah,kata perempuan berkulit putih itu.

“Aisyah, kalau ngantuk tidur saja. Perjalan kita masih lama. Mungkin sekitar tiga jam lagi kita baru tiba di Jakarta,ucap Dimas.

“Enggak, Pak. Aisyah belum ngantuk. Wah! Bagus banget, ya … banyak lampu warna-warni, gedung gede-gede … kalau Emak sama adik diajak, pasti mereka juga senang, ya, Pak. Nanti kita ajak Emak sama De Akbar, ya, Pak! Oh, ya, Tante Meyda ini siapa?” ucap Aisyah yang terkagum-kagum melihat pemandangan kota menuju Jakarta.

“Sudahlah, Aisyah. Semuanya nanti Bapak ceritakan di rumah. Sekarang, kamu tidur! Kamu harus nurut sama Bapak. Kalau kata Bapak tidur, ya tidur,” kata Dimas tegas. Aisyah pun hanya bisa menuruti perintah bapaknya. Aisyah merebahkan tubuhnya. Matanya dipejamkan, walaupun belum mengantuk. Dia pura-pura tertidur.

Karena belum mengantuk, Aisyah pun dapat mendengar percakapan bapaknya dengan Tante Meyda. Mereka bicara pelan, tapi telinga Aisyah cukup tajam untuk mendengarkan percakapan mereka.

“Dimas, permintaanmu sudah aku kabulkan. Sekarang, aku akan menagih janjimu. Secepatnya kita akan menikah. Sudah terlalu lama kita hidup tanpa ikatan. Anakku juga sudah dekat dengan kamu. Aku sangat mencintaimu, Dimas. Tak peduli kamu sudah beristri dan punya anak. Pokoknya, kamu harus jadi suamiku. Titik,” gertak Meyda.

“Iya, Mey, iya. Aku tahu itu. Tapi, aku masih punya permintaan.”

“Permintaan apa lagi, Dimas? Segalanya sudah aku berikan. Rumah, mobil, kedudukan di kantor, bahkan permintaan supaya anakmu dibawa juga sudah aku penuhi. Masih kurang juga?” tanya Meyda.

“Enggak, Mey. Itu sudah cukup bagiku. Aku hanya minta Aisyah kau anggap seperti anakmu juga. Jangan bedakan dia dengan anakmu. Dia anak yang rajin, masa kecilnya selalu menderita. Aku merasa berdosa sudah menelantarkan dia selama enam tahun,” pinta Dimas memelas.

“Oke, kamu harus percaya aku. Aku akan jadi ibu yang baik untuk anakmu, seperti kamu yang sudah berbuat baik untuk anakku. Jadi, besok segera kita urus pernikahan kita. Deal?”

Deal. Besok kita menikah.” ucap Dimas sambil tersenyum manis, karena keinginannya sudah kesampaian.

Mendengar percakapan seperti itu, barulah Aisyah mengerti, kalau perempuan yang di samping bapaknya itu adalah calon ibu tirinya. “Bapak mau kawin lagi? Gimana dengan nasib Emak di kampung? Pantas saja Bapak lama enggak pulang-pulang. Rupanya Bapak sudah menemukan kebahagiannya di Jakarta. Ah, Bapak, kenapa harus seperti ini? Aku jadi menyesal ikut sama Bapak,ucap Aisyah dalam hati.

Entah apa lagi yang diperbincangkan Dimas dan Meyda, pendengaran Aisyah sudah tidak jelas, dan Aisyah pun tertidur lelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat Berkah di SDN Karanganyar

  Masya Allah Tabarakallah, rezeki buat anak-anak soleh dan solehan siswa SDN Karanganyar. Hari ini, Jumat, 01 September 2023 ada seorang ha...