Tiga bulan kemudian.
“Plak, plak!” Terdengar suara tamparan
keras. “Blug!” Suara tendangan menghantam benda
terdengar jelas. Begitulah suara-suara yang terengar oleh Aisyah setiap kali bapaknya
pulang. Selalu saja ada keributan di rumah. Tidak ada perlawanan dari Emak. Emak hanya menjerit, mengaduh, dan merintih kesakitan.
Aisyah sudah terlalu sering melihat
kekerasan bapaknya yang dilakukan terhadap emaknya. Aisyah tak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menutup telinga
rapat-rapat agar keajdian itu tidak terdengar. Satu hal yang selalu dilakukan Aisyah pada saat bapaknya
melakukan kekerasan adalah memeluk adiknya erat-arat. Setumpuk doa dia
panjatkan untuk keselamatan emaknya.
“Ampun … ampun, Kang,” jerit Sutinah sambal menangis.
Kata-kata itu sangat menyayat hati
Aisyah. Dia sudah tak tahan lagi mendengar jeritan emaknya setiap kali disiksa bapaknya.
Rasanya, Aisyah pun ingin menjerit, meronta,
berlari. Tapi, harus ke mana dia berlari? Satu-satunya orang yang biasa
dimintai pertolongan adalah Abah Maksum. Namun, Abah Maksum sudah berada di alam baka.
“Bu Berta, Hah! Dasar wanita jahat! Tega-teganya
merebut Bapak dari Emak!” geram Aisyah dalam hati. “Selama ini dia hanya berpura-pura
saja berbuat baik padaku, padahal dia ada maunya. Dia mau merebut Bapak dari Emak. Aku benci si Berta! Awas ya, Berta, kalau aku sudah besar, kubalas
kamu!” kata hati Aisyah bertambah geram.
“Heh! Kebiasaan, kamu! Selalu saja menguping kalau orang tua sedang ngobrol!” bentak Dimas.
Aisyah sangat kaget mendengar
bentakan bapaknya. Dia tidak mengira kalau bapaknya keluar dari kamar, sementara Aisyah
masih menempelkan kupingnya di dinding luar kamar. Aisyah hanya tertunduk
ketakutan. Teringat pesan emaknya, tidak boleh berkata kasar pada orang tua.
“Ah, seandainya saja aku diperbolehkan melawan, ingin rasanya aku mencakar muka Bapak. Aku ingin membalas perlakuan Bapak pada Emak. Tapi, aku takut Bapak malah nanti memukulku. Kalau aku sakit, siapa yang jaga Emak dan adik bayiku?” Begitu perasaan Aisyah saat
dibentak bapaknya.
“Ya, maaf, Pak. Aisyah … Aisyah …
tadi dengar Emak sepertinya menangis. Aisyah
khawatir Emak sakit.” Hanya itu yang terucap dari mulut Aisyah ketika dibentak bapaknya.
Aisyah pun langsung menghambur ke arah emaknya yang
masih terisak di dalam kamar.
“Maak … Emak enggak apa-apa, kan?” tanya Aisyah ikut terisak.
“Eh … kamu, Aisyah … kamu dengar tadi Emak sama bapakmu ngobrol? Tadi, Emak kira kamu sedang bermain sama
adikmu. Mana adikmu?” kata Sutinah sambil menghapus air matanya.
“Ya, Mak. Bapak marah-marah lagi, kan? Bapak pukul Emak lagi, kan? Emak sakit, ya, Mak?” tanya Aisyah sambil membantu mengusap air mata emaknya.
Aisyah tak tega terus terusaan melihat emaknya selalu disiksa dan disiksa bapaknya.
Aisyah semakin penasaran, kenapa bapaknya setega itu memperlakukan emaknya.
“Mak, kalau boleh tahu, kenapa Bapak
setega itu sama Emak? Bukannya Emak sudah bersabar? Aisyah lihat, Emak enggak
pernah melawan Bapak, bahkan Emak selalu membolehkan Bapak pergi ke mana pun,”
tanya Aisyah.
Sutinah tidak langsung menjawab
pertanyaan Aisyah. Dia hanya memandangi Aisyah. Tatapannya begitu tajam. Bibirnya bergetar, air matanya kembali
menetes. Aisyah pun jadi ikut menangis lagi.
“Nak, maafkan Emak, ya, Nak. Tak seharusnya kamu tahu semua masalah orang tua.
Harusnya ini tidak terjadi seandainya Emak sehat. Wajar saja kalau bapakmu
berbuat seperti itu. ini memang salah Emak. Emak yang enggak becus menjadi
istri yang baik. Emak enggak becus menjadi ibu yang baik,” ucap Emak sambil menangis.
Kali ini Sutinah tidak hanya
menangis, tapi Sutinah memukul-mukul dada sendiri. Tangisannya semakin keras.
Rambutnya acak-acakan, tangisannya ditambah dengan jeritan-jeritan. Terkadang,
kepalanya dibentur-benturkan ke dinding bambu. Melihat gelagat seperti itu,
Aisyah bingung. Dia tidak tahu harus berbuat apa.
Aisyah tidak mengerti apa yang terjadi pada diri Emak.
“Mak, sudah, Mak … Nanti Emak
semakin sakit. Jangan pukul diri Emak!” seru Aisyah
sambil menahan gerakan emaknya. Sutinah pun berhenti menjerit dan memukul
dirinya. Ditatapnya wajah Aisyah, diciumi berkali-kali, lalu dipeluk erat.
“Aisyah, bapakmu memaksa Emak menandatangani surat cerai. Emak enggak mau. Emak rela bapakmu kawin lagi, tapi
emak enggak mau dicerai. Tidak mengapa Emak dikhianati dan disiksa, asalkan emak tidak dicerai. Emak rela, Nak. Ema relaaa … hiks hiks,” jawab Sutinah sambil terisak.
“Oaa … oa … oa ….” Suara tangisan bayi menghentikan
percakapn Aisyah dan Sutinah. Aisyah pun terperanjat kaget. Dia lupa, di luar
dia tinggalkan adiknya. Aisyah pun segera meninggalkan Emak dan berlari
menghampiri adiknya.
“Ush ush ush, kenapa, dek? Maaf, ya, kakak tinggal sebentar tadi,” ucap Aisyah sambil mengendong bayinya. Namun, bayi itu terus saja
menangis. Aisyah tahu kalau adiknya jam segini harus minum susu.
“Sebentar ya, sayang, kakak buatkan susu dulu,” ucap Aisyah panik, karena adik bayi tak mau juga berhenti
menangis.
Aisyah pun pergi ke dapur hendak
membuatkan susu untuk adik bayi. Aisyah baru ingat, kalau
persediaan susu bayi sudah habis sejak tiga hari yang lalu. “Aduh, bagaimana
ini? Susunya habis. Emak enggak bisa ngasih ASI. Mau beli, enggak punya uang. Bapak
malah pergi,” gumam Aisyah dalam hati.
“Maak … susu dedenya habis, dedenya
nangis terus. Gimana ini,
Mak?” tanya Aisyah kepada emaknya yang dari tadi masih duduk di dalam kamar
dalam keadaan kusut masai. ”Maak … Emak kenapa, kok diam aja? Ini dedenya
nangis terus … Maak?”
Aisyah melihat emaknya tersenyum,
tapi tidak memberikan jawaban. Ditatapnya wajah emak dalam-dalam. Emak kembali tersenyum. Aisyah semakin tidak mengerti
senyuman emak. Kenapa Emak tersenyum terus dari tadi? Pakaiannya masih acak-acakan. Rambutnya dibiarkan terurai kusut
berantakan. “Ada apa dengan Emak?” tanya Aisyah dalam hati.
“Mak,” suara Aisyah pelan. “Emak tidak apa-apa, kan?” semakin pelan suara Aisyah. Sutinah lalu tertawa kecil. Aisyah pun kaget. “Maak … Emak kenapa?” tanya Aisyah dengan suara
keras kali ini.
Tangisan bayi semakin keras, seiring
dengan suara tawa emaknya. Aisyah dilanda kebingungan yang maha hebat. Lemas
sekujur tubuhnya, melihat keadaan seperti ini. Aisyah duduk terkulai, tidak
tahu harus berbuat apa. Air matanya mengalir tak terasa. Dia hanya mampu
memandangi kedua orang yang teramat disayanginya. Emak dan adiknya.
***
Setelah sekian lama Aisyah duduk terkulai lemas, akhirnya dia
disadarkan dengan suara perutnya yang sejak pagi tadi belum diisi. “Aku lapar
sekali. Emak juga pasti lapar. Astagfirullah! Dede, pasti dede juga lapar, dari tadi
aku belum buatkan susu,” ucap Aisyah sambil terpaksa bangkit.
Perutnya yang melilit perih minta
diisi, tak dihiraukannya. Segera ia pergi ke dapur mengisi botol dot dengan air putih. Hanya
itu yang terlintas dalam benaknya untuk memeberi makan adiknya sementara.
“Syalala lala … la la la. Hmm … hmm … hi hi hi.” Terdengar suara Emak bersenandung dari dalam kamar. Aisyah merasa aneh, tak biasanya
Emak seperti itu. Aisyah semakin
cemas dengan kondisi emaknya. Lalu dihampirinya Emak perlahan. “Mak, Emak mau makan?” tanya Aisyah dengan hati-hati.
“Makan, makan sendiri, hi hi hi,” jawab Emak sambil tertawa.
“Mak, emak mau minum?” tanya Aisyah
memastikan.
“Minum, minun sendiri, hi hi hi,” jawab Emak lagi sambil tertawa.
“Berta lagi, Berta lagi, lagi-lagi
Berta, Berta Berta Bertaaa! Kamu itu yah, kok gitu? Dimas kan suamiku, kenapa
kamu mau jadi istrinya? Eh, uangmu kan banyak, ya? Buanyaaak sekali. Aku, aku
tak punya uang, tapi aku punya anak. Anakku namanya Aisyah. Aisyah itu anakku yang
paliiing rajin, suka mengaji, pandai masak aku sayaang banget sama Aisyah, aku
juga sekarang punya dede bayi, lucuuu sekali, hmm … hmm …” Sutinah bicara
nyerocos, entah dengan siapa dia berbicara. Dalam omongannya sesekali disertai
tawa.
Suara Emak sangat menusuk telinga Aisyah. Aisyah sadar kalau Emak sedang kacau pikirannya. Dia bicara sendiri. Kadang ia menangis. Tak tahu penyebabnya apa. Kadang dia
juga tertawa sendiri. Emak tak mau beranjak dari tempat duduknya.
“Emaaak … Emak kenapa?” seru Aisyah.
Batin Aisyah sangat terpukul melihat
kondisi Emak yang sudah tidak waras.
Berbicara dengan Emak sudah tidak nyambung. Aisyah
hanya bisa pasrah. Dia berharap bapaknya segera pulang.
***
Hari pun berganti. Aisyah menjalani hari-hari seperti biasanya.
Mengurus cucian, mengurus adiknya, dan yang paling utama mengurus emaknya.
Belum ada perubahan pada diri Sutinah. Tubuhnya yang semakin hari semakin
kurus, tak dapat lagi berbuat apa-apa selain makan, tidur, mandi. Itu pun harus dibantu Aisyah.
Keseharian Sutinah hanya duduk dan terbaring
di kamar kecil berdindingkan anyaman yang sudah koyak. Sesekali dia tertawa
sendiri atau menangis histeris. Kalau situasi sudah begini, Aisyah hanya bisa
tertunduk pilu, tak tega melihat emaknya seperti itu.
“Emak sudah tidak bisa diajak
bicara. Kasihan dede bayi, ia enggak pernah mendapatkan dekapan kasih
sayang Emak, air susu Emak, bahkan tatapan batin Emak. Biarlah aku yang menjadikan pengganti Emak. Sabar ya, Dek, kakak sayang sama kamu. Mudah-mudahan Emak segera pulih, dan kita bisa
bermain bersama Emak lagi,” begitu kata batin Aisyah.
Dimas hanya sesekali saja pulang ke
rumah, sekadar mengantarkan makanan atau uang seadanya untuk keperluan rumah
tangga sehari-hari. Dimas sudah tak pedulikan lagi
kondisi anak dan istrinya. Hari-hari Dimas disibukkan dengan Bu Berta. Bahkan
sebagian orang sudah mengira, kalau Dimas menjalin kasih dengan Bu Berta.
Warga kampung pun sudah mengetahui
kondisi Sutinah. Mereka mengganggap Sutinah sudah tidak waras. Sebagian warga
kampung merasa gemas dengan kelakuan Dimas. Mereka menganggap Dimaslah penyebab
ketidakwarasan Sutinah. Tapi sebagian warga kampung menganggap, Bu Bertalah
penyebab ketidakwarasan Sutinah.
Gosip kehidupan keluarga Aisyah
sudah membuat geger warga kampung. Bahkan, warga kampung sudah menganggap
Sutinah gila. Gosip ini sudah sampai ke telinga
aparat desa, sehingga kepala desa setempat memutuskan untuk memberi bantuan
medis kepada Sutinah.
Sutinah dibawa ke rumah sakit jiwa.
Tinggallah Aisyah dengan adik bayinya berdua di gubuk itu. Dimas tidak di
tinggal bersama kedua anaknya,.Dimas lebih memilih tinggal bersama
istri mudanya, Berta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar