Jumat, 03 Juli 2020

Romantika Aisyah 5





Tiga bulan kemudian.

“Plak, plak!” Terdengar suara tamparan keras. “Blug!” Suara tendangan menghantam benda terdengar jelas. Begitulah suara-suara yang terengar oleh Aisyah setiap kali bapaknya pulang. Selalu saja ada keributan di rumah. Tidak ada perlawanan dari Emak. Emak hanya menjerit, mengaduh, dan merintih kesakitan.

Aisyah sudah terlalu sering melihat kekerasan bapaknya yang dilakukan terhadap emaknya. Aisyah tak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menutup telinga rapat-rapat agar keajdian itu tidak terdengar. Satu hal yang selalu dilakukan Aisyah pada saat bapaknya melakukan kekerasan adalah memeluk adiknya erat-arat. Setumpuk doa dia panjatkan untuk keselamatan emaknya.

“Ampun ampun, Kang,” jerit Sutinah sambal menangis.

Kata-kata itu sangat menyayat hati Aisyah. Dia sudah tak tahan lagi mendengar jeritan emaknya setiap kali disiksa bapaknya. Rasanya, Aisyah pun ingin menjerit, meronta, berlari. Tapi, harus ke mana dia berlari? Satu-satunya orang yang biasa dimintai pertolongan adalah Abah Maksum. Namun, Abah Maksum sudah berada di alam baka.

“Bu Berta, Hah! Dasar wanita jahat! Tega-teganya merebut Bapak dari Emak!” geram Aisyah dalam hati. “Selama ini dia hanya berpura-pura saja berbuat baik padaku, padahal dia ada maunya. Dia mau merebut Bapak dari Emak. Aku benci si Berta! Awas ya, Berta, kalau aku sudah besar, kubalas kamu!” kata hati Aisyah bertambah geram.

“Heh! Kebiasaan, kamu! Selalu saja menguping kalau orang tua sedang ngobrol!” bentak Dimas.

Aisyah sangat kaget mendengar bentakan bapaknya. Dia tidak mengira kalau bapaknya keluar dari kamar, sementara Aisyah masih menempelkan kupingnya di dinding luar kamar. Aisyah hanya tertunduk ketakutan. Teringat pesan emaknya, tidak boleh berkata kasar pada orang tua.

“Ah, seandainya saja aku diperbolehkan melawan, ingin rasanya aku mencakar muka Bapak. Aku ingin membalas perlakuan Bapak pada Emak. Tapi, aku takut Bapak malah nanti memukulku. Kalau aku sakit, siapa yang jaga Emak dan adik bayiku?” Begitu perasaan Aisyah saat dibentak bapaknya.

“Ya, maaf, Pak. Aisyah … Aisyah … tadi dengar Emak sepertinya menangis. Aisyah khawatir Emak sakit.” Hanya itu yang terucap dari mulut Aisyah ketika dibentak bapaknya. Aisyah pun langsung menghambur ke arah emaknya yang masih terisak di dalam kamar.

“Maak … Emak enggak apa-apa, kan?” tanya Aisyah ikut terisak.

“Ehkamu, Aisyah … kamu dengar tadi Emak sama bapakmu ngobrol? Tadi, Emak kira kamu sedang bermain sama adikmu. Mana adikmu?” kata Sutinah sambil menghapus air matanya.

“Ya, Mak. Bapak marah-marah lagi, kan? Bapak pukul Emak lagi, kan? Emak sakit, ya, Mak?” tanya Aisyah sambil membantu mengusap air mata emaknya. Aisyah tak tega terus terusaan melihat emaknya selalu disiksa dan disiksa bapaknya. Aisyah semakin penasaran, kenapa bapaknya setega itu memperlakukan emaknya.

“Mak, kalau boleh tahu, kenapa Bapak setega itu sama Emak? Bukannya Emak sudah bersabar? Aisyah lihat, Emak enggak pernah melawan Bapak, bahkan Emak selalu membolehkan Bapak pergi ke mana pun,” tanya Aisyah.

Sutinah tidak langsung menjawab pertanyaan Aisyah. Dia hanya memandangi Aisyah. Tatapannya begitu tajam. Bibirnya bergetar, air matanya kembali menetes. Aisyah pun jadi ikut menangis lagi.

“Nak, maafkan Emak, ya, Nak. Tak seharusnya kamu tahu semua masalah orang tua. Harusnya ini tidak terjadi seandainya Emak sehat. Wajar saja kalau bapakmu berbuat seperti itu. ini memang salah Emak. Emak yang enggak becus menjadi istri yang baik. Emak enggak becus menjadi ibu yang baik,” ucap Emak sambil menangis.

Kali ini Sutinah tidak hanya menangis, tapi Sutinah memukul-mukul dada sendiri. Tangisannya semakin keras. Rambutnya acak-acakan, tangisannya ditambah dengan jeritan-jeritan. Terkadang, kepalanya dibentur-benturkan ke dinding bambu. Melihat gelagat seperti itu, Aisyah bingung. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Aisyah tidak mengerti apa yang terjadi pada diri Emak.

“Mak, sudah, Mak … Nanti Emak semakin sakit. Jangan pukul diri Emak!” seru Aisyah sambil menahan gerakan emaknya. Sutinah pun berhenti menjerit dan memukul dirinya. Ditatapnya wajah Aisyah, diciumi berkali-kali, lalu dipeluk erat.

“Aisyah, bapakmu memaksa Emak menandatangani surat cerai. Emak enggak mau. Emak rela bapakmu kawin lagi, tapi emak enggak mau dicerai. Tidak mengapa Emak dikhianati dan disiksa, asalkan emak tidak dicerai. Emak rela, Nak. Ema relaaa … hiks hiks,” jawab Sutinah sambil terisak.

“Oaa … oa … oa ….Suara tangisan bayi menghentikan percakapn Aisyah dan Sutinah. Aisyah pun terperanjat kaget. Dia lupa, di luar dia tinggalkan adiknya. Aisyah pun segera meninggalkan Emak dan berlari menghampiri adiknya.

“Ush ush ush, kenapa, dek? Maaf, ya, kakak tinggal sebentar tadi,” ucap Aisyah sambil mengendong bayinya. Namun, bayi itu terus saja menangis. Aisyah tahu kalau adiknya jam segini harus minum susu.

Sebentar ya, sayang, kakak buatkan susu dulu,” ucap Aisyah panik, karena adik bayi tak mau juga berhenti menangis.

Aisyah pun pergi ke dapur hendak membuatkan susu untuk adik bayi. Aisyah baru ingat, kalau persediaan susu bayi sudah habis sejak tiga hari yang lalu. “Aduh, bagaimana ini? Susunya habis. Emak enggak bisa ngasih ASI. Mau beli, enggak punya uang. Bapak malah pergi,” gumam Aisyah dalam hati.

“Maak … susu dedenya habis, dedenya nangis terus. Gimana ini, Mak?” tanya Aisyah kepada emaknya yang dari tadi masih duduk di dalam kamar dalam keadaan kusut masai. ”Maak … Emak kenapa, kok diam aja? Ini dedenya nangis terus … Maak?”

Aisyah melihat emaknya tersenyum, tapi tidak memberikan jawaban. Ditatapnya wajah emak dalam-dalam. Emak kembali tersenyum. Aisyah semakin tidak mengerti senyuman emak. Kenapa Emak tersenyum terus dari tadi? Pakaiannya masih acak-acakan. Rambutnya dibiarkan terurai kusut berantakan. “Ada apa dengan Emak?” tanya Aisyah dalam hati.

“Mak,” suara Aisyah pelan. “Emak tidak apa-apa, kan?” semakin pelan suara Aisyah. Sutinah lalu tertawa kecil. Aisyah pun kaget. “Maak … Emak kenapa?” tanya Aisyah dengan suara keras kali ini.

Tangisan bayi semakin keras, seiring dengan suara tawa emaknya. Aisyah dilanda kebingungan yang maha hebat. Lemas sekujur tubuhnya, melihat keadaan seperti ini. Aisyah duduk terkulai, tidak tahu harus berbuat apa. Air matanya mengalir tak terasa. Dia hanya mampu memandangi kedua orang yang teramat disayanginya. Emak dan adiknya.  



***



Setelah sekian lama Aisyah duduk terkulai lemas, akhirnya dia disadarkan dengan suara perutnya yang sejak pagi tadi belum diisi. “Aku lapar sekali. Emak juga pasti lapar. Astagfirullah! Dede, pasti dede juga lapar, dari tadi aku belum buatkan susu,” ucap Aisyah sambil terpaksa bangkit.

Perutnya yang melilit perih minta diisi, tak dihiraukannya. Segera ia pergi ke dapur mengisi botol dot dengan air putih. Hanya itu yang terlintas dalam benaknya untuk memeberi makan adiknya sementara.

“Syalala lala la la la. Hmm … hmm … hi hi hi.Terdengar suara Emak bersenandung dari dalam kamar. Aisyah merasa aneh, tak biasanya Emak seperti itu. Aisyah semakin cemas dengan kondisi emaknya. Lalu dihampirinya Emak perlahan. “Mak, Emak mau makan?” tanya Aisyah dengan hati-hati.

“Makan, makan sendiri, hi hi hi,” jawab Emak sambil tertawa.

“Mak, emak mau minum?” tanya Aisyah memastikan.

“Minum, minun sendiri, hi hi hi,” jawab Emak lagi sambil tertawa.

“Berta lagi, Berta lagi, lagi-lagi Berta, Berta Berta Bertaaa! Kamu itu yah, kok gitu? Dimas kan suamiku, kenapa kamu mau jadi istrinya? Eh, uangmu kan banyak, ya? Buanyaaak sekali. Aku, aku tak punya uang, tapi aku punya anak. Anakku namanya Aisyah. Aisyah itu anakku yang paliiing rajin, suka mengaji, pandai masak aku sayaang banget sama Aisyah, aku juga sekarang punya dede bayi, lucuuu sekali, hmm … hmm …” Sutinah bicara nyerocos, entah dengan siapa dia berbicara. Dalam omongannya sesekali disertai tawa.

Suara Emak sangat menusuk telinga Aisyah. Aisyah sadar kalau Emak sedang kacau pikirannya. Dia bicara sendiri. Kadang ia menangis. Tak tahu penyebabnya apa. Kadang dia juga tertawa sendiri. Emak tak mau beranjak dari tempat duduknya.

“Emaaak … Emak kenapa?” seru Aisyah.

Batin Aisyah sangat terpukul melihat kondisi Emak yang sudah tidak waras. Berbicara dengan Emak sudah tidak nyambung. Aisyah hanya bisa pasrah. Dia berharap bapaknya segera pulang.



***



Hari pun berganti. Aisyah menjalani hari-hari seperti biasanya. Mengurus cucian, mengurus adiknya, dan yang paling utama mengurus emaknya. Belum ada perubahan pada diri Sutinah. Tubuhnya yang semakin hari semakin kurus, tak dapat lagi berbuat apa-apa selain makan, tidur, mandi. Itu pun harus dibantu Aisyah.

Keseharian Sutinah hanya duduk dan terbaring di kamar kecil berdindingkan anyaman yang sudah koyak. Sesekali dia tertawa sendiri atau menangis histeris. Kalau situasi sudah begini, Aisyah hanya bisa tertunduk pilu, tak tega melihat emaknya seperti itu.

“Emak sudah tidak bisa diajak bicara. Kasihan dede bayi, ia enggak pernah mendapatkan dekapan kasih sayang Emak, air susu Emak, bahkan tatapan batin Emak. Biarlah aku yang menjadikan pengganti Emak. Sabar ya, Dek, kakak sayang sama kamu. Mudah-mudahan Emak segera pulih, dan kita bisa bermain bersama Emak lagi,” begitu kata batin Aisyah.

Dimas hanya sesekali saja pulang ke rumah, sekadar mengantarkan makanan atau uang seadanya untuk keperluan rumah tangga sehari-hari. Dimas sudah tak pedulikan lagi kondisi anak dan istrinya. Hari-hari Dimas disibukkan dengan Bu Berta. Bahkan sebagian orang sudah mengira, kalau Dimas menjalin kasih dengan Bu Berta.

Warga kampung pun sudah mengetahui kondisi Sutinah. Mereka mengganggap Sutinah sudah tidak waras. Sebagian warga kampung merasa gemas dengan kelakuan Dimas. Mereka menganggap Dimaslah penyebab ketidakwarasan Sutinah. Tapi sebagian warga kampung menganggap, Bu Bertalah penyebab ketidakwarasan Sutinah.

Gosip kehidupan keluarga Aisyah sudah membuat geger warga kampung. Bahkan, warga kampung sudah menganggap Sutinah gila. Gosip ini sudah sampai ke telinga aparat desa, sehingga kepala desa setempat memutuskan untuk memberi bantuan medis kepada Sutinah.

Sutinah dibawa ke rumah sakit jiwa. Tinggallah Aisyah dengan adik bayinya berdua di gubuk itu. Dimas tidak di tinggal bersama kedua anaknya,.Dimas lebih memilih tinggal bersama istri mudanya, Berta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat Berkah di SDN Karanganyar

  Masya Allah Tabarakallah, rezeki buat anak-anak soleh dan solehan siswa SDN Karanganyar. Hari ini, Jumat, 01 September 2023 ada seorang ha...