Demi sebuah cita-cita, Aisyah harus bisa melalui berbagai rintangan
kehidupan. Perlakuan apa pun yang didapatkan dari Tante Meyda, Aisyah jalani dengan penuh kesabaran. Namun, sekeji
apapun perlakuan perempuan keturunan cina itu, Aisyah tak berani menyampaikan
kepada bapaknya.
Waktu demi waktu kian merayap,
hingga sang waktu itu pun menghantarkan Aisyah ke dunia remaja. Aisyah sekarang
bukan lagi sebagai gadis kecil ingusan yang kampungan. Aisyah sekarang tumbuh
menjadi sosok remaja yang tangguh mandiri dan tidak mudah menyerah.
Tiga tahun sudah dilalui hidup di
kota metropolitan. Kehidupan yang dapat menyilaukan mata dan menyesatkan akhlak jika tidak dibentengi keimanan yang kuat. Untungnya, dasar
keimanan Aisyah cukup kuat. Nasihat emaknya selalu dijadikan sebagai kompas
kehidupannya.
Selepas lulus dari SMP, Aisyah baru
berani meminta izin kepada bapaknya untuk menemui emaknya di kampung.
Sebelumnya, permohonan izin pulang kampung ini selalu ditolak Dimas.
“Pak, kali ini mohon izinkan Aisyah menemui
Emak dan Akbar di kampung, ya. Aisyah sangat rindu mereka. Biar Aisyah pergi
sendiri saja, enggak usah diantar. Aisyah khawatir
nanti Ibu akan marah kalau Bapak mengantar Aisyah ke kampung.” Aisyah
memohon kepada bapaknya dengan rasa cemas, khawatir permintaannya tidak
dikabulkan lagi.
“Aisyah, sabarlah dulu, nanti kalau
sudah waktunya, Kamu pun akan bertemu dengan emak dan adikmu. Sekarang belum
waktunya. Kamu enggak usah khawatir keadaan emak sama adikmu, mereka baik-baik
saja,” ucap Dimas.
“Tapi Aisyah ingin ketemu Emak sama Akbar, Pak. Sebentar saja.” Aisyah memaksa
bapaknya supaya diberi izin pulang kampung.
“Ehm ehm … ada yang mau pulang kampung, nih, kayaknya. Joni! Ingat ya, perjanjian kita.” Suara Tante Meyda mengagetkan Aisyah dan Dimas.
Rupanya, Tante Meyda mendengar percakapan
mereka.
“Eh, siapa yang mau pulang kampung? Enggak ada.” Dimas mengelak.
“Jangan berkelit, Joni. Aku tahu anakmu sangat ingin pulang ke kampung. Terus, kamu antar dia. Itu kesempatan kamu bertemu dengan mantan istrimu. Iya, kan?” tanya Tante Meyda.
“Mey, a-aku sama sekali tidak bermaksud untuk …” ucap Dimas terputus.
“Ah, sudahlah! Aku tidak mau berdebat. Kamu harus ingat perjanjian kita sebelum
nikah. Kamu boleh membawa anakmu, dengan syarat, setelah itu kamu tidak akan
lagi menemui istrimu.”
Melihat situasi seperti itu, Aisyah
pun langsung menyela percakapan mereka. “Maaf, Bu, semua ini salah Aisyah. Bapak sama Ibu jadi bertengkar gara-gara Aisyah
minta pulang ke kampung.”
“Hmm … Aisyah, memang kamu itu anak yang cerdas, ya. Pinternya … kamu
langsung mengerti. Jadi, mulai sekarang, kamu enggak usah punya keinginan
pulang kampung lagi, ya, Sayang … Bukannya hidup
kamu di sini sudah cukup senang?”
ucap Tante Meyda.
“I-iya, Bu, Aisyah tahu itu. Sebenarnya Aisyah bisa pergi sendiri, Bu, tapi Bapak tidak mengizinkan. Aisyah hanya ingin memperlihatkan
ijazah pada Emak. Aisyah juga kangen sama Akbar. Mungkin Emak akan merasa senang kalau Aisyah bisa menemui Emak barang sejenak saja, Bu,” ucap Aisyah tertunduk, dia berharap Tante Meyda bisa mengerti.
“Sudahlah, Aisyah. Lulus SMP itu belum bisa apa-apa. Kamu harus belajar lagi sampai
SMA, atau mungkin sampai sarjana. Jadi, jangan cari-cari alasan buat pulang
kampung,” ucap perempuan pencemburu itu.
Tante Meyda sama sekali tidak mau
mengerti keinginan Aisyah. Dia merasa khawatir kalau Aisyah pulang kampung,
Dimas pun pasti menyusul ke kampung. Pasti ada pertemuan dengan Sutinah. Dia
tidak mau Dimas terbawa kenangan masa lalunya.
***
Masa perjuangan Aisyah masih terbentang panjang. Ia harus terus
bergelut dengan berbagai rintangan untuk mencapai cita-citanya. Menjadi sosok
wanita karier, itulah yang diharapkan Aisyah. Dia
tidak mau hidup dalam kemiskinan terus. Teramat perih jika hidup selalu
dibelenggu kemiskinan.
Pahit getir kehidupan semasa
kecilnya menjadi cerminan untuk merajut masa depannya. Yang selalu menjadi
penyemangat hidup adalah sosok emak dan adiknya. Aisyah ingin membahagiakan
kedua orang tua dan adiknya.
Tantangan terbesar adalah menghadapi
fenomena kehidupan remaja di kota metropolitan. Hampir setiap hari Aisyah
menyaksikan teman-temanya sepulang dari sekolah nongkrong di mal, keluyuran
yang tak jelas tujuannya, merokok, minum minuman keras, perundungan, bahkan ada
di antara mereka yang sudah berani mencoba narkoba dan melakukan seks bebas.
Aisyah selalu menolak ajakan temannya
yang menjurus ke arah yang negatif. Karena dasar keimanan Aisyah yang kuat,
Aisyah tidak pernah terlibat dalam fenomena itu. Kini, Aisyah sudah berseragam putih abu. Ia tumbuh menjadi sosok gadis
yang santun, cerdas, agamis, dan bersahaja. Namun, satu hal yang tidak bisa
dihindarinya, yaitu perundungan.
Hingga pada suatu saat, ketika
Aisyah sedang melintas di antara teman-temannya, jilbab yang dipakainya
dijambak oleh seseorang yang merasa keki dan iri kepada Aisyah.
“Aww! Astagfirullah! Kenapa kalian tega berbuat ini padaku?” Aisyah
berteriak kesakitan. Hijabnya terlepas, dia panik dan meringis kesakitan.
Rambutnya yang hitam legam terurai membuat orang-orang terpesona.
Mendengar teriakan Aisyah,
teman-teman di sekitarnya tertawa terpingkal-pingkal, seolah melihat dagelan gratis
siap untuk disoraki.
“Wow, coba lihat ini, kawan. Ternyata, cantik sekali dia,” ucap Thomas menggoda. Diambilnya jilbab yang terlepas dari kepala
Aisyah, lalu diciumnya. “Hmm … wangi nian. Jilbabnya aja sudah wangi, apalagi orangnya,” goda ketua geng siswa itu.
“Thomas! Kembalikan jilbabku!” teriak Aisyah sambil menjulurkan tangannya. Aisyah berusaha merebut
jilbabnya dari tangan Thomas. Namun, usahanya meleset, karena Thomas tubuhnya
lebih tinggi dan perkasa.
“Ayo, ambil sini!” kata Thomas sambil mengacung-ngacungkan jilbab
Aisyah. Aisyah berusaha terus untuk meraihnya. Thomas melemparkan jilbab Aisyah
ke teman yang lain. Begitu seterusnya sampai akhirnya Aisyah merasa kelelahan
dan berlutut.
Aisyah tidak lagi bisa meronta. Tak
ada satu orang pun yang menolong Aisyah dari perundungan teman-temannya. Ia hanya bisa menangis dan berdoa.
“Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini. Aku tak berniat membuka aurat, tapi
mereka begitu tega mempermainkanku seperti ini. Ampuni mereka, ya Allah. Beri hidayah
pada mereka, supaya aku terlepas dari perundungan ini,” doa Aisyah dalam hati sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Tiba-tiba, Thomas melemparkan jilbab Aisyah kemudian lari terbirit-birit
bersama teman-temannya. “Ada Pak Irwan, ayo cabut
teman-teman!” seru Thomas. Pak Irwan adalah sosok guru yang takuti
oleh siswa. Aisyah pun selamat dari perundungan teman-temannya
dan segera mengambil dan memakai kembali jilbanya.
“Aisyah, kamu tidak apa-apa?” tanya Pak Irwan.
“Oh, enggak, Pak. Enggak apa-apa. Terima kasih, Bapak
sudah mau menolong saya,” ucap Aisyah sambil terisak.
“Siapa mereka?” tanya Pak Irwan.
“Mereka … mereka Thomas dan
kawan-kawannya. Aku enggak tahu, mengapa mereka selalu
berbuat begitu padaku. Apa salahku
pada mereka, sampai sampai mereka gak bosan-bosannya terus mem-bully-ku? Kalau hanya sekadar dibilang aku gadis norak, kampungan, aku masih
bisa bersabar. Tapi, kalau sudah menjahili jilbabku, aku sangat tidak terima, Pak,” ucap Aisyah sambil mengepalkan
tangannya.
“Ya, Bapak sangat paham itu. Kamu
harus sabar, ya, Aisyah. Sekarang kamu masuk kelas, biar semuanya Bapak yang menangani.” Pak Irwan menenangkan Aisyah.
***
Saat perjalanan pulang sekolah, Thomas bersama komplotannya sudah berdiri berjejer menghalangi jalanan yang biasa dilewati
Aisyah. Aisyah terperanjat. Ia kemudian berbalik arah. Aisyah berpikir, pasti
mereka akan memperdayainya lagi, karena Aisyah tahu, Thomas dan komplotannya
mendapat hukuman dari Pak Irwan, mereka berdiri tegak di depan tiang bendera
sambil menghormat.
“Kejaaar!” teriak Thomas.
Mendengar teriakan Thomas, Aisyah
pun berlari sekencang-kencangnya. Rasa takut yang terus mendera perasaan
Aisyah, memberikan kekuatan yang tidak diduga. Akhirnya, Aisyah bisa lolos dari kejaran komplotan Thomas.
Tanpa disadari, pelarian Aisyah
sampai di sebuah tempat kosong. Tempat ini seperti bekas kedai yang tak
terurus. Aisyah merasa asing dengan tempat ini. Karena sudah kelelahan,
akhirnya Aisyah memutuskan untuk bersembunyi di tempat ini. Berkali-kali dia menengok ke arah belakang. Komplotan Thomas sudah
tidak terlihat. “Huh … aman, selamat. Alhamdulillah,” ucap Aisyah terengah-engah.
“Eh, ini di mana? Tidak ada orang. Rasanya aku
belum pernah ke tempat ini. Tapi, lumayanlah untuk bersembunyi,” ucap Aisyah.
Terdengar ada gertakan suara langkah
orang-orang. Spontan Aisyah pun mencari tempat perlindungan. Dia berjongkok, bersembunyi di tempat yang tidak
bisa dilihat orang. Matanya dipicingkan untuk melihat. Ternyata, komplotan Thomas sedang mencari-cari Aisyah.
“Sial! Cepat benar cewek kampungan
itu larinya,” gerutu Thomas.
“Iya, Thom. Tapi aku yakin, dia larinya ke sini. Sekarang kita menyebar, pasti dia
bersembunyi di sekitar ini.” ucap salah seorang dari komplotan Thomas.
“Ayo! Cari sampai dapat! Masa kita kalah sama cewek? Kita harus buat perhitungan dengan dia! Berani-beraninya dia mengadu sama Pak Irwan. Ayo cari!” perintah
Thomas semakin penasaran.
Mendengar percakapan mereka, Aisyah semakin ketakutan. Keringat mengucur deras membasahi
sekujur tubuhnya. Tiba-tiba ada seseorang yang menemukan tempat persembunyian
Aisyah. Aisyah panik, bergetar seluruh tubuhnya. Dipeluknya lutut untuk menahan
rasa takut.
“Ssst!” Rama, salah seorang dari
komplotan Thomas memberikan isyarat kepada Aisyah agar tidak berteriak. Aisyah
heran, mengapa Rama tidak segera menangkapnya, tapi malah memberikan isyarat
agar dirinya diam? Yang lebih mengherankan Aisyah,
Rama meninggalkan Aisyah begitu saja seolah tidak melihat apa-apa.
“Di sini tidak ada! Ayo kita cari di
tempat yang lain saja.” seru Rama.
“Tidak! Kita tidak boleh menyerah begitu saja. Aku mau kalian semuanya cari
perempuan itu sampai dapat!” kata Thomas.
“Tapi Thom, aku pikir tidak mungkin perempuan itu berani sembunyi di tempat
ini. Kita cari di tempat lain saja. Tempat
ini kotor, dan … ih, seram.” Rama menimpali perintah Thomas.
“Hey! Kau, Rama! Diam! Elu jangan sok ngatur. Gue yang berkuasa di komplotan ini. Oh, ternyata elu pengecut, ya? Nyesel gue punya anak buah kayak lu!” bentak
Thomas.
Di tengah keributan mencari Aisyah,
datanglah seorang pria menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar, berotot, seperti
preman. “Woy, siapa kalian? Ngapain di situ, hah?” tanya pria bertato itu.
“Cabut!” Thomas memberi komando agar
meninggalkan tempat itu sambil lari terbirit-birit. Semua komplotan Thomas
berlarian. Aisyah menyaksikan kejadian itu antara lega dan takut.
Lepas dari mulut buaya masuk ke
mulut harimau. Inilah peribahasa yang menggambarkan situasi Aisyah saat itu.
dia merasa lega karena terlepas dari ancaman komplotan Thomas, tapi sekarang
dia harus berhadapan dengan preman yang lebih menakutkan dari sosok Thomas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar