Sabtu, 04 Juli 2020

Romantika Aisyah 14



 

Demi sebuah cita-cita, Aisyah harus bisa melalui berbagai rintangan kehidupan. Perlakuan apa pun yang didapatkan dari Tante Meyda, Aisyah jalani dengan penuh kesabaran. Namun, sekeji apapun perlakuan perempuan keturunan cina itu, Aisyah tak berani menyampaikan kepada bapaknya.

Waktu demi waktu kian merayap, hingga sang waktu itu pun menghantarkan Aisyah ke dunia remaja. Aisyah sekarang bukan lagi sebagai gadis kecil ingusan yang kampungan. Aisyah sekarang tumbuh menjadi sosok remaja yang tangguh mandiri dan tidak mudah menyerah.

Tiga tahun sudah dilalui hidup di kota metropolitan. Kehidupan yang dapat menyilaukan mata dan menyesatkan akhlak jika tidak dibentengi keimanan yang kuat. Untungnya, dasar keimanan Aisyah cukup kuat. Nasihat emaknya selalu dijadikan sebagai kompas kehidupannya.

Selepas lulus dari SMP, Aisyah baru berani meminta izin kepada bapaknya untuk menemui emaknya di kampung. Sebelumnya, permohonan izin pulang kampung ini selalu ditolak Dimas.

“Pak, kali ini mohon izinkan Aisyah menemui Emak dan Akbar di kampung, ya. Aisyah sangat rindu mereka. Biar Aisyah pergi sendiri saja, enggak usah diantar. Aisyah khawatir nanti Ibu akan marah kalau Bapak mengantar Aisyah ke kampung.” Aisyah memohon kepada bapaknya dengan rasa cemas, khawatir permintaannya tidak dikabulkan lagi.

“Aisyah, sabarlah dulu, nanti kalau sudah waktunya, Kamu pun akan bertemu dengan emak dan adikmu. Sekarang belum waktunya. Kamu enggak usah khawatir keadaan emak sama adikmu, mereka baik-baik saja,” ucap Dimas.

“Tapi Aisyah ingin ketemu Emak sama Akbar, Pak. Sebentar saja.” Aisyah memaksa bapaknya supaya diberi izin pulang kampung.

“Ehm ehm ada yang mau pulang kampung, nih, kayaknya. Joni! Ingat ya, perjanjian kita.” Suara Tante Meyda mengagetkan Aisyah dan Dimas. Rupanya, Tante Meyda mendengar percakapan mereka.

“Eh, siapa yang mau pulang kampung? Enggak ada.” Dimas mengelak.

“Jangan berkelit, Joni. Aku tahu anakmu sangat ingin pulang ke kampung. Terus, kamu antar dia. Itu kesempatan kamu bertemu dengan mantan istrimu. Iya, kan? tanya Tante Meyda.

“Mey, a-aku sama sekali tidak bermaksud untuk ” ucap Dimas terputus.

“Ah, sudahlah! Aku tidak mau berdebat. Kamu harus ingat perjanjian kita sebelum nikah. Kamu boleh membawa anakmu, dengan syarat, setelah itu kamu tidak akan lagi menemui istrimu.”

Melihat situasi seperti itu, Aisyah pun langsung menyela percakapan mereka. “Maaf, Bu, semua ini salah Aisyah. Bapak sama Ibu jadi bertengkar gara-gara Aisyah minta pulang ke kampung.”

“Hmm … Aisyah, memang kamu itu anak yang cerdas, ya. Pinternya … kamu langsung mengerti. Jadi, mulai sekarang, kamu enggak usah punya keinginan pulang kampung lagi, ya, Sayang Bukannya hidup kamu di sini sudah cukup senang?” ucap Tante Meyda.

“I-iya, Bu, Aisyah tahu itu. Sebenarnya Aisyah bisa pergi sendiri, Bu, tapi Bapak tidak mengizinkan. Aisyah hanya ingin memperlihatkan ijazah pada Emak. Aisyah juga kangen sama Akbar. Mungkin Emak akan merasa senang kalau Aisyah bisa menemui Emak barang sejenak saja, Bu,” ucap Aisyah tertunduk, dia berharap Tante Meyda bisa mengerti.

“Sudahlah, Aisyah. Lulus SMP itu belum bisa apa-apa. Kamu harus belajar lagi sampai SMA, atau mungkin sampai sarjana. Jadi, jangan cari-cari alasan buat pulang kampung,” ucap perempuan pencemburu itu.

Tante Meyda sama sekali tidak mau mengerti keinginan Aisyah. Dia merasa khawatir kalau Aisyah pulang kampung, Dimas pun pasti menyusul ke kampung. Pasti ada pertemuan dengan Sutinah. Dia tidak mau Dimas terbawa kenangan masa lalunya.



***



Masa perjuangan Aisyah masih terbentang panjang. Ia harus terus bergelut dengan berbagai rintangan untuk mencapai cita-citanya. Menjadi sosok wanita karier, itulah yang diharapkan Aisyah. Dia tidak mau hidup dalam kemiskinan terus. Teramat perih jika hidup selalu dibelenggu kemiskinan.

Pahit getir kehidupan semasa kecilnya menjadi cerminan untuk merajut masa depannya. Yang selalu menjadi penyemangat hidup adalah sosok emak dan adiknya. Aisyah ingin membahagiakan kedua orang tua dan adiknya.

Tantangan terbesar adalah menghadapi fenomena kehidupan remaja di kota metropolitan. Hampir setiap hari Aisyah menyaksikan teman-temanya sepulang dari sekolah nongkrong di mal, keluyuran yang tak jelas tujuannya, merokok, minum minuman keras, perundungan, bahkan ada di antara mereka yang sudah berani mencoba narkoba dan melakukan seks bebas.

Aisyah selalu menolak ajakan temannya yang menjurus ke arah yang negatif. Karena dasar keimanan Aisyah yang kuat, Aisyah tidak pernah terlibat dalam fenomena itu. Kini, Aisyah sudah berseragam putih abu. Ia tumbuh menjadi sosok gadis yang santun, cerdas, agamis, dan bersahaja. Namun, satu hal yang tidak bisa dihindarinya, yaitu perundungan.

Hingga pada suatu saat, ketika Aisyah sedang melintas di antara teman-temannya, jilbab yang dipakainya dijambak oleh seseorang yang merasa keki dan iri kepada Aisyah.

“Aww! Astagfirullah! Kenapa kalian tega berbuat ini padaku?” Aisyah berteriak kesakitan. Hijabnya terlepas, dia panik dan meringis kesakitan. Rambutnya yang hitam legam terurai membuat orang-orang terpesona.

Mendengar teriakan Aisyah, teman-teman di sekitarnya tertawa terpingkal-pingkal, seolah melihat dagelan gratis siap untuk disoraki.

“Wow, coba lihat ini, kawan. Ternyata, cantik sekali dia,” ucap Thomas menggoda. Diambilnya jilbab yang terlepas dari kepala Aisyah, lalu diciumnya. “Hmm … wangi nian. Jilbabnya aja sudah wangi, apalagi orangnya,” goda ketua geng siswa itu.

“Thomas! Kembalikan jilbabku!” teriak Aisyah sambil menjulurkan tangannya. Aisyah berusaha merebut jilbabnya dari tangan Thomas. Namun, usahanya meleset, karena Thomas tubuhnya lebih tinggi dan perkasa.

“Ayo, ambil sini!” kata Thomas sambil mengacung-ngacungkan jilbab Aisyah. Aisyah berusaha terus untuk meraihnya. Thomas melemparkan jilbab Aisyah ke teman yang lain. Begitu seterusnya sampai akhirnya Aisyah merasa kelelahan dan berlutut.

Aisyah tidak lagi bisa meronta. Tak ada satu orang pun yang menolong Aisyah dari perundungan teman-temannya. Ia hanya bisa menangis dan berdoa.

 “Ya Allah, ampuni hamba-Mu ini. Aku tak berniat membuka aurat, tapi mereka begitu tega mempermainkanku seperti ini. Ampuni mereka, ya Allah. Beri hidayah pada mereka, supaya aku terlepas dari perundungan ini,doa Aisyah dalam hati sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Tiba-tiba, Thomas melemparkan jilbab Aisyah kemudian lari terbirit-birit bersama teman-temannya. “Ada Pak Irwan, ayo cabut teman-teman!” seru Thomas. Pak Irwan adalah sosok guru yang takuti oleh siswa. Aisyah pun selamat dari perundungan teman-temannya dan segera mengambil dan memakai kembali jilbanya.

“Aisyah, kamu tidak apa-apa?” tanya Pak Irwan.

“Oh, enggak, Pak. Enggak apa-apa. Terima kasih, Bapak sudah mau menolong saya,” ucap Aisyah sambil terisak.

“Siapa mereka?” tanya Pak Irwan.

“Mereka … mereka Thomas dan kawan-kawannya. Aku enggak tahu, mengapa mereka selalu berbuat begitu padaku. Apa salahku pada mereka, sampai sampai mereka gak bosan-bosannya terus mem-bully-ku? Kalau hanya sekadar dibilang aku gadis norak, kampungan, aku masih bisa bersabar. Tapi, kalau sudah menjahili jilbabku, aku sangat tidak terima, Pak,” ucap Aisyah sambil mengepalkan tangannya.

“Ya, Bapak sangat paham itu. Kamu harus sabar, ya, Aisyah. Sekarang kamu masuk kelas, biar semuanya Bapak yang menangani.” Pak Irwan menenangkan Aisyah.  



***



Saat perjalanan pulang sekolah, Thomas bersama komplotannya sudah berdiri berjejer menghalangi jalanan yang biasa dilewati Aisyah. Aisyah terperanjat. Ia kemudian berbalik arah. Aisyah berpikir, pasti mereka akan memperdayainya lagi, karena Aisyah tahu, Thomas dan komplotannya mendapat hukuman dari Pak Irwan, mereka berdiri tegak di depan tiang bendera sambil menghormat.

“Kejaaar!” teriak Thomas.

Mendengar teriakan Thomas, Aisyah pun berlari sekencang-kencangnya. Rasa takut yang terus mendera perasaan Aisyah, memberikan kekuatan yang tidak diduga. Akhirnya, Aisyah bisa lolos dari kejaran komplotan Thomas.

Tanpa disadari, pelarian Aisyah sampai di sebuah tempat kosong. Tempat ini seperti bekas kedai yang tak terurus. Aisyah merasa asing dengan tempat ini. Karena sudah kelelahan, akhirnya Aisyah memutuskan untuk bersembunyi di tempat ini. Berkali-kali dia menengok ke arah belakang. Komplotan Thomas sudah tidak terlihat. “Huh … aman, selamat. Alhamdulillah,” ucap Aisyah terengah-engah.

Eh, ini di mana? Tidak ada orang. Rasanya aku belum pernah ke tempat ini. Tapi, lumayanlah untuk bersembunyi,” ucap Aisyah.

Terdengar ada gertakan suara langkah orang-orang. Spontan Aisyah pun mencari tempat perlindungan. Dia berjongkok, bersembunyi di tempat yang tidak bisa dilihat orang. Matanya dipicingkan untuk melihat. Ternyata, komplotan Thomas sedang mencari-cari Aisyah.

“Sial! Cepat benar cewek kampungan itu larinya,” gerutu Thomas.

“Iya, Thom. Tapi aku yakin, dia larinya ke sini. Sekarang kita menyebar, pasti dia bersembunyi di sekitar ini.” ucap salah seorang dari komplotan Thomas.

“Ayo! Cari sampai dapat! Masa kita kalah sama cewek? Kita harus buat perhitungan dengan dia! Berani-beraninya dia mengadu sama Pak Irwan. Ayo cari!” perintah Thomas semakin penasaran.

Mendengar percakapan mereka, Aisyah semakin ketakutan. Keringat mengucur deras membasahi sekujur tubuhnya. Tiba-tiba ada seseorang yang menemukan tempat persembunyian Aisyah. Aisyah panik, bergetar seluruh tubuhnya. Dipeluknya lutut untuk menahan rasa takut.

“Ssst!” Rama, salah seorang dari komplotan Thomas memberikan isyarat kepada Aisyah agar tidak berteriak. Aisyah heran, mengapa Rama tidak segera menangkapnya, tapi malah memberikan isyarat agar dirinya diam? Yang lebih mengherankan Aisyah, Rama meninggalkan Aisyah begitu saja seolah tidak melihat apa-apa.

“Di sini tidak ada! Ayo kita cari di tempat yang lain saja.” seru Rama.

“Tidak! Kita tidak boleh menyerah begitu saja. Aku mau kalian semuanya cari perempuan itu sampai dapat!” kata Thomas.

“Tapi Thom, aku pikir tidak mungkin perempuan itu berani sembunyi di tempat ini. Kita cari di tempat lain saja. Tempat ini kotor, dan … ih, seram.” Rama menimpali perintah Thomas.

“Hey! Kau, Rama! Diam! Elu jangan sok ngatur. Gue yang berkuasa di komplotan ini. Oh, ternyata elu pengecut, ya? Nyesel gue punya anak buah kayak lu!” bentak Thomas.

Di tengah keributan mencari Aisyah, datanglah seorang pria menyeramkan. Tubuhnya tinggi besar, berotot, seperti preman. “Woy, siapa kalian? Ngapain di situ, hah?” tanya pria bertato itu.

“Cabut!” Thomas memberi komando agar meninggalkan tempat itu sambil lari terbirit-birit. Semua komplotan Thomas berlarian. Aisyah menyaksikan kejadian itu antara lega dan takut.

Lepas dari mulut buaya masuk ke mulut harimau. Inilah peribahasa yang menggambarkan situasi Aisyah saat itu. dia merasa lega karena terlepas dari ancaman komplotan Thomas, tapi sekarang dia harus berhadapan dengan preman yang lebih menakutkan dari sosok Thomas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jumat Berkah di SDN Karanganyar

  Masya Allah Tabarakallah, rezeki buat anak-anak soleh dan solehan siswa SDN Karanganyar. Hari ini, Jumat, 01 September 2023 ada seorang ha...